Senin, 05 September 2022

Penyembahan yang Berkenan Kepada Allah

 Penyembahan yang Berkenan Kepada Allah

 

Telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa setiap manusia memiliki naluri untuk melakukan penyembahan. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, ada kecenderungan bahwa penyembahan itu tidak diperkenan Allah. Ada penyembahan yang berkenan kepada Allah dan ada yang tidak diindahkan-Nya. Kisah penyembahan yang dilakukan oleh Kain dan Habel merupakan representasi yang menunjukkan bahwa tidak semua penyembahan diperkenan Allah. Sepanjang Perjanjian Lama, kita mendapati berkali-kali Allah menegaskan tidak berkenan terhadap penyembahan yang dilakukan oleh beberapa orang maupun kelompok besar orang-orang Israel, meskipun pada bagian-bagian yang lain Allah sedemikian mengindahkan penyembahan dari beberapa orang atau kelompok. Dengan demikian maka akan timbul pertanyaan mengapa Allah pada satu sisi mengindahkan persembahan seseorang dan pada sisi yang lain tidak dikenan-Nya. Dengan memperhatikan konsep Alkitab, maka setidaknya ada beberapa pertimbangan yang patut diperhatikan agar penyembahan itu berkenan kepada Allah yaitu obyeknya (kepada siapa penyembahan itu ditujukan), landasannya (mengapa menyembah) dan cara penyembahan itu sendiri (bagaimana cara yang berkenan kepada Allah).

 

1.      Obyek Penyembahan yang Benar

Dalam Keluaran 20:1-2 Allah berfirman "Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya. Pernyataan ini menegaskan bahwa Allah telah menyatakan diri kepada umat-Nya dan tidak menginginkan manusia menyembah ilah, patung atau kuasa lain selain kepada Dia. Dalam kesusastraan bahasa Ibrani, ada dua kata yang dipakai sebagai larangan yaitu “al” dan “lo,” dan biasanya diterjemahkan “jangan” atau “tidak.” Larangan “al” merupakan larangan yang bersifat sementara, untuk kepentingan tertentu atau dalam situasi tertentu, misalnya ketika TUHAN melarang Musa supaya “Jangan” mendekat (Kel. 3:5) ketika ia (Musa) hendak mendekati semak duri yang menyala. Artinya larangan itu hanya berlaku untuk kasus itu. Akan tetapi larangan “Lo” merupakan larangan yang bersifat tetap, artinya masih berlaku sampai hari ini. Kata larangan “Lo” inilah yang dipakai ketika Tuhan melarang umat-Nya untuk tidak menyembah kepada Allah lain. Artinya, penyembahan yang berkenan adalah penyembahan yang ditujukan hanya kepada Allah. Ini adalah obyek penyembahan yang benar.

Berlajar dari kejatuhan Adam dan Hawa, kita mengetahui bahwa Allah menghendaki penyembahan dan kesetiaan hanya kepada-Nya. Akan tetapi ternyata manusia pertama gagal menyembah Allah, dengan memberontak dan lebih memilih untuk taat pada pengaruh Iblis. Seiring dengan kejatuhan itu, perkembangan manusia menjadi pesat, maka penyembahan ditujukan bukan kepada Allah, melainkan kepada ilah lain, atau penyembahan dan pemuliaan diri sendiri (band. Kej. 11:4). Hampir sepanjang Perjanjian Lama, Allah terus memperingatkan agar umat-Nya jangan menyembah kepada Allah lain. Tatakala mereka perpaling dari Allah lalu menyembah kepada ilah lain, maka Tuhan menghukum bahkan membuang mereka. Allah murka terhadap penyembahan yang tidak ditujukan kepada-Nya. Jadi obyek penyembahan yang benar merupakan bagian yang sangat penting dalam Alkitab.

Dalam Perjanjian Baru, Paulus menjelaskan bahwa Allah menghukum orang-orang fasik karena mereka menggantikan kemuliaan Allah dengan berbagai-bagai gambaran yang fana, lalu menyembah ilah-ilah tersebut (band. Rm. 1:21, 25). Orang-orang Athena menyembah kepada Allah yang tidak dikenal (Kis 17:23). Itu berarti obyek penyembahan yang tidak jelas, dan penyembahan itu pun tidak mungkin sampai kepada Allah.

Apa yang telah dikisahkan dalam Alkitab, merupakan pelajaran penting bagi orang-orang pada masa kini. Dalam kehidupan yang serba modern, kecenderungan untuk mengagungkan benda-benda duniawi, harta dan kekayaan (materialisme), juga kesenangan dan kemegahan diri sendiri (hedonisme) juga merupakan penyembahan ala modernisme. Seseungguhnya ketika pengagungan tertinggi tidak lagi ditujukan kepada Allah, dan perhatian dialihkan pada trend modernisme, maka itu adalah obyek penyembahan yang salah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar orang-orang Kristen telah terperangkap dalam arus modernisme. Beberapa anggota jemaat secara tidak sengaja terlalu mengagungkan kemegahan dunia. Maka tidak heran bila beberapa jemaat saling adu gengsi dengan barang-barang mewah, juga saling berlomba memberi kontribusi bagi Gereja dengan tujuan mendapatkan pengagungan. Pada kasus lain, beberapa ibadah/penyembahan di Gereja terpakasa diliburkan atau digeser karena ada kegiatan sekuler lain yang dianggap lebih mengagumkan seperti Piala Dunia, atau konser-konser artis berkaliber dunia.

Anehnya, pada zaman modern ini, masih banyak juga orang yang pergi ke tempat-tempat yang dianggap keramat untuk melakukan penyembahan, semisal pergi ke Gunung Kawi bagi orang-orang di sekitar Jawa Timur. Padahal pada zaman-Nya, Tuhan Yesus telah memberitahukan bahwa penyembahan tidak berkiblat pada tempat tertentu, melainkan penyembahan hanya ditujukan kepada Allah yang adalah Roh. Tidak peduli apapun tujuannya, penyembahan dengan cara ini tidak diperkenan oleh Allah, apalagi jika dengan terang-terangan penyembahan itu ditujukan kepada Setan.

Ada juga kelompok kepercayaan tertentu dalam kekristenan yang mencoba membuat gambar dan rupa Allah dalam wujud gambar atau patung. Kemudian gambar atau patung itu dikeramatkan yang ujung-ujungnya disembah secara terang-tarangan. Beberapa patung “Yesus” atau patung “Maria” dikeramatkan dan disembah lebih dari Allah sendiri. Sesungguhnya Allah tidak pernah mengizinkan Pribadi-Nya digambarkan dalam bentuk apapun. Demikian juga “pengagungan” dan “perhatian yang lebih” terhadap semua yang berhubungan dengan trend modernisme merupakan cara penghinaan terhadap Allah, karena tidak menyembah dan mengutamakan Allah.

Modus penyembahan yang salah sasaran juga semakin marak muncul dari berbagai kalangan gereja, terutama golongan orang-orang Kristen yang mengedepankan penggunaan-penggunaan karunia, seperti karunia nubuatan, penglihatan, dan berbagai-bagai manifestasi. Sesungguhnya penggunaan karunia-karunia itu diberikan oleh Roh Kudus untuk pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus yang sasarannya adalah penyembahan kepada Allah yang benar. Akan tetapi kecenderungan untuk mengedepankan manifestasi dari karunia-karunia itu sendiri merupakan kesalahan yang sangat besar, karena kemegahan dari karunia-karunia itu sendiri lebih dipentingkan dari pada penyembahan. Seolah-olah karunia itu sendiri lebih besar dari pada Allah yang telah mengaruniakannya. Pada akhirnya yang dilakukan bukan lagi penyembahan kepada Allah melainkan pengagungan pada kemegahan dan ketenaran dari menifestasi karunia-karunia itu. Jelas Allah tidak berkenan dengan ibadah semacam itu.

Di tengah-tengah kemeriahan dan kemegahan duniawi, juga gelombang dan arus kebanyakan orang-orang yang mengedepankan kemegahan manifestasi karunia Roh Kudus, suara Allah datang kepada kita dengan lembut: “Return to Me” (kembalilah kepada-Ku). Allah menghendaki umat-Nya tetap bertahan menyembah Allah di tengah-tengah kesibukan kebanyakan orang untuk mencari ketenaran. Dalam situasi sulit atau berbagai-bagai persoalan, orang-orang percaya tertantang untuk tetap meprioritaskan penyembahan kepada Allah. Bukan tidak mungkin, beberapa orang Kristen pada akhirnya bersedia meninggalkan Tuhan Yesus dan menyembah kepada yang lain dengan alasan cinta, harta dan kemegahan. Godaan, hambatan selalu datang silih berganti, tetapi orang-orang percaya harus menyembah dan mengutamakan kemuliaan Allah dan pengagungan kepada-Nya.

Fenomena di atas tentu menimbulkan pertanyaan baru: “Bagaimana meyakinkan seseorang bahwa Ia menyembah Allah yang benar?” Memang tidak sedikit orang yang mengklain diri menyembah kepada Allah, namun bukan kepada Allah yang benar, melainkan kepada ilah-ilah lain. Alkitab menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengenal Allah jikalau ia tidak mengenal Kristus (band. Yoh. 1:18; 14:6). Artinya untuk mengenal dan bisa datang menyembah kepada Allah yang benar, seseorang harus mengenal Kristus terlebih dahulu. Dan untuk mengenal Kristus seseorang harus menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi. Dalam banyak kasus, banyak berita yang diselewengkan dan dianggap sebagai injil. Sesungguhnya Injil yang dimaksud adalah berita pengampunan dosa melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Pribadi Yesus Kristus yang diberitakan haruslah berdasarkan berita Kitab Suci. Dengan demikian, maka seseorang dapat mengenal Allah yang benar. Hanya Allah yang telah menyatakan diri dalam Yesus Kristus yang layak disembah.

 

2.      Landasan Penyembahan yang Benar

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa penyembahan yang benar keluar dari hati yang paling dalam, yang menanggapi Pribadi dan segala karya Allah. Dalam kehidupan percayanya, orang Kristen harus memahami segala karya penebusan Kristus sebagaimana yang disingkapkan oleh Kitab Suci. Allah dengan kasih-Nya yang besar telah mengutus Anak-Nya, Tuhan kita Yesus Kristus untuk menjadi jalan pendamaian dengan mengorbankan diri-Nya di atas kayu salib. Hal itu dilakukan Allah sebagai jalan satu-satunya untuk menyelamatkan kita kembali dalam hadirat-Nya.  Dengan konsep ini, seseorang datang menyembah Allah sebagai tanggapan aktif dan rasa tanggung jawab sebagai umat tebusan Allah.

Jikalau diteliti dengan seksama, tujuan tertinggi dari semua karya Allah, mulai dari penciptaan, penebusan, dan kehidupan dalam kekekalan adalah untuk menghasilkan penyembahan kepada Allah. Orang-orang pilihan ditebus dengan darah Kristus yang mahal untuk melakukan penyembahan kepada Allah. Injil mengemukakan suatu gagasan yang jelas: “Bapa menghendaki (mencari) para penyembah-Nya, dan untuk inilah Tuhan Yesus datang ke dunia. Allah Bapa mengutus anak-Nya ke dalam dunia untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang sehingga menghasilkan puji-pujian kepada Allah. Dengan demikian maka manusia diselamatkan dengan satu tujuan tertinggi yaitu menyembah Allah. Inilah landasan penyembahan yang benar.

Tidak sedikit orang yang mengira bahwa keselamatan itu diberikan kepada manusia supaya mereka terhindar dari hukuman kekal dan tidak masuk neraka. Selanjutnya keselamatan dianggap sebagai kesempatan untuk menikmati semua berkat-berkat Allah. Itu memang salah satu hasil dari penebusan, namun itu bukan tujuan yang tertinggi. Kitab Wahyu mendeskripsikan kegiatan umat tebusan dalam masa kekekalan sebagai penyembahan sampai selama-lamanya. Dalam Wahyu 9-12 disebutkan bahwa semua umat tebusan, juga para malaikat melantunkan puji-pujian dan penyembahan, dan terus tersungkur di hadapan tahta Anak Domba. Ini dilakukan sampai selama-lamanya. Itulah maksud Allah dalam keselamatan kita.

Kata kunci landasan untuk landasan penyembahan bukan “supaya” melainkan “karena.” Penyembahan yang kita lakukan bukan supaya tercapai segala keinginan kita, apalagi keinginan manusiawi, bukan juga supaya kita menikmati kehidupan sebagai orang yang sudah terlepas dari ancaman hukuman maut, bukan supaya kita menikmati berbagai berkat Allah yang abadi. Kita menyembah Allah karena kita telah ditebus dari cengkraman Iblis, dan kita menyembah-Nya karena kita telah menjadi umat-Nya. Pada prinsipnya, kehidupan kita bersama Allah bukanlah supaya menerima sesuatu dari Allah, melainkan supaya kita dapat memberikan penyembahan kepada-Nya.

Dalam dunia yang serba hedonis, di mana kebanyakan orang berlomba-lomba mencari kesenangan dan kepuasan diri, juga tidak sedikit orang Kristen yang terjerumus ke dalam konsep ini dan menerapkannya dalam penyembahan. Pada kenyataannya orang-orang Kristen semacam ini mulai melakukan penyembahan kepada Allah dengan tujuan supaya diberkati. Banyak juga penginjilan dengan iming-iming kehidupan sukses jika orang yang diinjili mau datang ke Gereja. Ini adalah konsep yang salah. Tuhan Yesus mengoreksi orang-orang sezamannya yang hanya mengutamakan keuntungan material melalui penyembahan: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat. 6:33).  Perkataan ini juga mengoreksi motivasi yang dikejar oleh kebanyakan orang-orang Kristen, yaitu pemenuhan kebutuhan. Tuhan Yesus menyatakan kehendak Allah yang utama yaitu mencari-Nya dan menyembah-Nya.

Gereja harus sesegera mungkin menyadari bahwa aktifitas utamanya adalah menyembah Allah, bukan menjanjikan berkat-berkat Allah semata kepada seluruh jemaat. Gereja menyembah Allah bukan supaya orang-orang percaya memenangkan perkara duniawi. Jemaat tidak hanya datang ke Gereja untuk menerima janji-janji berkat, juga para pelayan dan aktifis Gereja berlelah-lelah melayani hanya dengan tujuan supaya menerima sesuatu yang bersifat temporal. Allah menghendaki pelayan, aktifis, dan seluruh jemaat datang ke Gereja untuk menyembah-Nya.

Kebenaran ini patut dijelaskan kepada seluruh anggota Gereja, supaya kegiatan-kegiatan ibadah itu bertujuan untuk menyembah Allah. Jemaat harus mempersembahkan seluruh kehidupannya kepada Allah sebagai rasa tanggung jawab atas penebusan dan pengenalan akan Pribadi Allah. Jadi jemaat bersedia mengorbankan segalannya sebagai wujud penyembahannya, bukan supaya memperoleh keuntungan berkali lipat ganda. Penyembahan dengan tingkat tinggi melibatkan pengorbanan tanpa batas sebagai tanggapan atas penebusan Allah. Inilah landasan penyembahan yang benar.

 

3.      Cara Penyembahan yang Benar

Dalam dunia yang serba canggih sekarang ini, mungkin cara penyembahan tidak lagi menjadi perhatian utama. Akan tetapi jikalau diperhatikan dengan seksama, cara penyembahan merupakan bagian yang terpenting dalam Perjanjian Lama. Pengaturan tempat, waktu, prosesi dan orang-orang yang bertugas untuk melayani harus dilakukan sesuai dengan petunjuk TUHAN, dan tidak boleh dilanggar sedikitpun. Pelanggaran sekecil apapun harus dibayar dengan murka TUHAN yang berarti petaka/bencana bagi seluruh umat Israel, sekalipun hal itu dilakukan dengan maksud yang baik. Dengan demikian, maka cara penyembahan tidak boleh dipandang remeh.

Dalam Kitab Imamat, sistem korban diatur sedemikian rupa dan tidak boleh dirubah atau dilalaikan sedikitpun dari cara yang telah ditentukan oleh Allah. Itulah sebabnya berkali-kali TUHAN mengingatkan supaya umat Israel jangan melanggar kekudusan Allah dengan menerapkan cara yang tidak diperintahkan oleh-Nya. Sebaliknya mereka harus mempersembahkan korban sesuai dengan cara yang ditetapkan oleh TUHAN sendiri. Dalam hal ini TUHAN mengingatkan Musa: “Dan ingatlah, bahwa engkau membuat semuanya itu menurut contoh yang telah ditunjukkan kepadamu di atas gunung itu" (Kel. 25:40).

Beberapa orang dalam Perjanjian Lama telah menerima hukuman Allah secara langsung akibat melakukan penyembahan dengan cara yang salah. Nadab dan Abihu melakukan suatu cara penyembahan yang salah: “Kemudian anak-anak Harun, Nadab dan Abihu, masing-masing mengambil perbaraannya, membubuh api ke dalamnya serta menaruh ukupan di atas api itu. Dengan demikian mereka mempersembahkan ke hadapan TUHAN api yang asing yang tidak diperintahkan-Nya kepada mereka. Maka keluarlah api dari hadapan TUHAN, lalu menghanguskan keduanya, sehingga mati di hadapan TUHAN (Im. 10:1). Uza telah memberanikan diri melangkahi larangan TUHAN dengan memegang barang-barang kudus Allah dengan maksud supaya barang-barang itu tidak tergelincir (2 Sam. 6:6-7). Padahal TUHAN telah memerintahkan supaya barang-barang kudus itu tidak boleh disentuh (band. Bil. 4:15). Keputusan Uza untuk menyentuh barang-barang kudus itu mendatangkan murka TUHAN atasnya, dan akhirnya ia pun meninggal seketika itu. Dalam hal ini Allah sangat murka terhadap penyembahan dengan cara yang salah.

Pengalaman-pengalaman ini memberikan pelajaran kepada umat Tuhan pada masa kini, supaya jangan dengan sembarangan mempersembahkan korban atau melakukan penyembahan dengan cara sendiri. Salah satu kenyataan yang tidak dapat disangkali adalah banyak orang-orang Kristen melakukan ibadah dengan cara mereka sendiri. Banyak orang-orang Kristen datang beribadah di Gereja dengan sikap dan cara yang salah. Mereka menganggap tempat ibadah seperti tempat hiburan atau tempat untuk unjuk kemampuan bernyanyi atau untuk kebolehan lainnya. Tidak sedikit juga yang datang beribadah dengan gaya hidup yang penuh dengan segala macam perbuatan dosa. Sekali lagi cara penyembahan dengan gaya hidup  yang semacam ini jelas tidak berkenan kepada Allah.

Sekalipun seseorang melakukan penyembahan kepada Allah yang benar yaitu kepada Allah yang dikenal dalam Kristus Yesus, juga dengan landasan penyembahan yang benar, namun jika caranya salah, penyembahan itupun tidak berkenan kepada Allah. Orang-orang Farisi dan Ahli Taurat dikecam oleh Tuhan Yesus karena sekalipun mereka menyembah kepada Allah yang benar, namun mereka melakukannya dengan cara yang salah: mulai dari motivasi mereka untuk mencari pujian, juga gaya hidup mereka yang masih tercemar dengan dosa. Mereka menekankan perintah yang satu tetapi mereka melalaikan perintah yang lain (band. Mat. 15:3).

Untuk mencapai kehendak Allah dalam penyembahan, maka ada beberapa cara penyembahan yang perlu diperhatikan.

Pertama, gaya hidup kudus.

Mengingat bahwa penyembahan bukan hanya sekedar kegiatan ibadah yang dilakukan dalam satu wadah tertentu, misalnya di Gereja, maka penyembahan harus dicerminkan melalui tindakan keseharian, yaitu cara hidup yang baik dan benar kapanpun dan di manapun kita berada. Penyembahan orang yang hidupnya benar sangat diperkenan oleh Allah. Sebaliknya Allah tidak berkenan kepada penyembahan orang yang hidup kesehariannya tidak benar. Sekalipun kelihatannya bergitu ekspresif menyembah Tuhan di dalam Gereja, juga dengan persembahan dan sumbangan yang sedemikian besar, tetapi jika tidak disertai dengan kemurnian hidup, orang yang semacam ini akan mendapat kecaman dari Allah.

Pelajaran penting pernah diungkapkan oleh nabi Amos kepada umat Israel: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos. 5:21-14). Di sini terungkap bahwa sekalipun mereka mempersembahkan korban kepada Allah, namun Allah tidak berkenan akan penyembahan itu karena mereka senantiasa memutar-balikkan kebenaran. Jadi Allah tidak berkenan akan penyembahan orang Kristen yang masih hidup dalam dosa, termasuk korupsi, selingkuh, sakit hati, iri hati, dll. Allah menghendaki kita memiliki kehidupan yang suci tatkala kita menghadap ke hadirat-Nya.

Kedua, sikap hati yang benar.

Masalah sikap hati harus menjadi perhatian umat Allah ketika menghadap Allah, sebab jika seseorang datang ke hadirat Tuhan dengan cara yang sembarangan, justru mendatangkan murka Allah. Menyembah Allah harus disertai dengan rasa penghormatan sebagai Allah yang layak disembah. Dengan demikian seorang penyembah harus menunjukkan kerendahan hati, ketulusan dan perhatian yang tertuju kepada Allah. Bukan tidak mungkin bahwa banyak orang Kristen datang beribadah tetapi tidak dengan suasana hati yang tertuju kepada Allah. Sementara mereka ada di dalam Gereja atau ibadah lainnya, hati mereka tidak terfokus pada ibadah yang sedang dilakukan, tetapi mereka meikirkan hal-hal lain yang mungkin berhubungan dengan bisnis, pekerjaan, atau karir. Maka tidak sedikit jemaat yang asyik bermain hand phone atau barang elektronik lainnya ketika ibadah sedang berlangsung.

Banyak juga orang-orang dengan latar belakang sebagai pemimpin datang ke hadirat Tuhan dengan perasaan sebagai “bos.” Dalam  doa-doanya mereka meminta Tuhan melakukan hal-hal yang mereka inginkan sebagaimana mereka biasa menyuruh karyawan melakukan berbagai hal. Dan yang lebih ekstrim lagi, ada beberapa orang pelayan-pelayan Tuhan yang menyepelekan pelayanan, misalnya pelayanan sambil pacaran dan sejenisnya. Jelas ini adalah cara penyembahan yang salah.

Allah menghendaki penyembahan dengan sikap hati yang penuh dengan rasa hormat. Jadi pada saat menghadap Allah, hati kita harus terfokus kepada-Nya. Kita harus menjunjung tinggi Pribadi-Nya dengan mengesampingkan segala urusan bisnis atau pekerjaan, pada saat kita menghadap Dia. Kita harus memperlakukan Dia sebagai yang Superior atas kita, sehingga dengan demikian kita harus menghadap-Nya dengan sikap yang benar. Dalam hal ini seseorang dapat mengekspresikan rasa hormat kepada Allah dengan suasana hati yang bersukacita, juga kadang-kadang diekspresikan dengan penuh khidmat dan bahkan dengan perasaan hancur hati sampai menagis. Prinsip utamanya adalah sikap hormat terhadap Allah.

Ketiga, tata ibadah yang baik.

Tata cara atau liturgika yang baik akan memberikan dampak positif bagi cara penyembahan yang benar. Dalam hal ini Allah tentu tidak menghendaki ibadah yang tidak teratur dan tidak sopan. Allah menginginkan umat-Nya berlaku sopan pada saat ibadah, mulai dari cara berbicara, cara berpakaian dan persembahan yang terbaik. Tata ibadah atau etika beribadah yang benar memang tidak diatur secara eksplisit dalam Alkitab, namun Paulus memberikan berbagai-bagai nasihat kepada jemaat di Korintus terhadap kebiasan-kebiasaan yang salah dalam ibadah. Salah satu cara yang hendak diperbaiki oleh Paulus adalah penggunaan-penggunaan karunai Roh Kudus yang harus berlangsung secara sopan dan teratur (1 Kor. 14:40). Sekalipun itu adalah karunia Roh Kudus, namun harus dipergunakan secara sopan dan teratur. Pekerjaan Roh Kudus tidak kacau balau.

Cara penyembahan yang benar dapat dianalogikan seperti seseorang yang menghadap Presiden. Tentunya orang tersebut harus mempertunjukkan sikap dan tata krama yang benar, tata busana yang rapi, dan mungkin pemberian-pemberian yang terbaik. Dalam hal ini sangat tidak sopan apabila seseorang sedang bercakap-cakap dengan Presiden lalu memberanikan diri memainkan hand phone, iphad, gadget atau alat-alat informasi lainnya.

Sayangnya, dalam sistem ibadah masa kini, beberapa Gereja mengadopsi cara ibadah ala diskotik, dengan lampu remang-remang, cara berpakaian seksi, dan juga cara bernyanyi para pemabuk di bar-bar, serta permainan-permainan musik Rock yang duniawi. Ini tentunya harus dikaji kembali, apakah cara ini adalah cara yang diperkenan oleh Tuhan. Tata cara ibadah yang tidak benar tidak mendatangkan hadirat Tuhan, dan justru cenderung mengundang Setan.

Adalah lebih baik apabila tata cara ibadah itu berlangsung dengan khidmat (walaupun kelihatannya sederhana) tetapi dengan kualitas penyembahan yang memuaskan hati Tuhan. Hal itu jauh lebih baik dari pada  kegiatan ibadah yang kelihatannya fenomenal tetapi tidak memuaskan hati Allah. Demikian juga halnya dengan korban atau persembahan. Persembahan yang layak di hadapan Allah adalah persembahan yang terbaik. Jika memperhatikan perintah dalam Perjanjian Lama, maka korban persembahan itu tidak boleh yang bercacat, artinya fisiknya harus yang terbaik (band. Kel. 29:1; Im. 1:3, 10; 3:1; 6; 4:3, 23, dst). Maka persembahkan ataupun yang hendak dipersembahkan kepada Tuhan juga harus dari penghasilan murni, bukan dari hasil kejahatan.  Fisiknya juga harus yang terbaik, bukan uang pecahan yang rusak. Keteraturan dalam beribadah, sikap yang baik, cara berpakaian dan perkataan yang benar sangat  berhubungan dengan cara penyembahan yang berkenan kepada Tuhan.

Oleh; Hasrat P. Nazara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar