Penyembahan yang Berkenan Kepada Allah
Telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa setiap
manusia memiliki naluri untuk melakukan penyembahan. Setelah manusia jatuh ke
dalam dosa, ada kecenderungan bahwa penyembahan itu tidak diperkenan Allah. Ada
penyembahan yang berkenan kepada Allah dan ada yang tidak diindahkan-Nya. Kisah
penyembahan yang dilakukan oleh Kain dan Habel merupakan representasi yang
menunjukkan bahwa tidak semua penyembahan diperkenan Allah. Sepanjang
Perjanjian Lama, kita mendapati berkali-kali Allah menegaskan tidak berkenan
terhadap penyembahan yang dilakukan oleh beberapa orang maupun kelompok besar
orang-orang Israel, meskipun pada bagian-bagian yang lain Allah sedemikian
mengindahkan penyembahan dari beberapa orang atau kelompok. Dengan demikian
maka akan timbul pertanyaan mengapa Allah pada satu sisi mengindahkan
persembahan seseorang dan pada sisi yang lain tidak dikenan-Nya. Dengan
memperhatikan konsep Alkitab, maka setidaknya ada beberapa pertimbangan yang
patut diperhatikan agar penyembahan itu berkenan kepada Allah yaitu obyeknya
(kepada siapa penyembahan itu ditujukan), landasannya (mengapa menyembah) dan
cara penyembahan itu sendiri (bagaimana cara yang berkenan kepada Allah).
1. Obyek Penyembahan yang Benar
Dalam Keluaran 20:1-2 Allah berfirman "Akulah TUHAN, Allahmu, yang
membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung
yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di
bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah
kepadanya atau beribadah kepadanya.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa Allah telah menyatakan diri kepada umat-Nya dan
tidak menginginkan manusia menyembah ilah, patung atau kuasa lain selain kepada
Dia. Dalam kesusastraan bahasa Ibrani, ada dua kata yang dipakai sebagai
larangan yaitu “al” dan “lo,” dan biasanya diterjemahkan “jangan”
atau “tidak.” Larangan “al” merupakan
larangan yang bersifat sementara, untuk kepentingan tertentu atau dalam situasi
tertentu, misalnya ketika TUHAN melarang Musa supaya “Jangan” mendekat (Kel.
3:5) ketika ia (Musa) hendak mendekati semak duri yang menyala. Artinya larangan
itu hanya berlaku untuk kasus itu. Akan tetapi larangan “Lo” merupakan larangan yang bersifat tetap, artinya masih berlaku
sampai hari ini. Kata larangan “Lo”
inilah yang dipakai ketika Tuhan melarang umat-Nya untuk tidak menyembah kepada
Allah lain. Artinya, penyembahan yang berkenan adalah penyembahan yang
ditujukan hanya kepada Allah. Ini adalah obyek penyembahan yang benar.
Berlajar
dari kejatuhan Adam dan Hawa, kita mengetahui bahwa Allah menghendaki
penyembahan dan kesetiaan hanya kepada-Nya. Akan tetapi ternyata manusia
pertama gagal menyembah Allah, dengan memberontak dan lebih memilih untuk taat
pada pengaruh Iblis. Seiring dengan kejatuhan itu, perkembangan manusia menjadi
pesat, maka penyembahan ditujukan bukan kepada Allah, melainkan kepada ilah
lain, atau penyembahan dan pemuliaan diri sendiri (band. Kej. 11:4). Hampir
sepanjang Perjanjian Lama, Allah terus memperingatkan agar umat-Nya jangan
menyembah kepada Allah lain. Tatakala mereka perpaling dari Allah lalu
menyembah kepada ilah lain, maka Tuhan menghukum bahkan membuang mereka. Allah
murka terhadap penyembahan yang tidak ditujukan kepada-Nya. Jadi obyek
penyembahan yang benar merupakan bagian yang sangat penting dalam Alkitab.
Dalam
Perjanjian Baru, Paulus menjelaskan bahwa Allah menghukum orang-orang fasik
karena mereka menggantikan kemuliaan Allah dengan berbagai-bagai gambaran yang
fana, lalu menyembah ilah-ilah tersebut (band. Rm. 1:21, 25). Orang-orang
Athena menyembah kepada Allah yang tidak dikenal (Kis 17:23). Itu berarti obyek
penyembahan yang tidak jelas, dan penyembahan itu pun tidak mungkin sampai
kepada Allah.
Apa
yang telah dikisahkan dalam Alkitab, merupakan pelajaran penting bagi
orang-orang pada masa kini. Dalam kehidupan yang serba modern, kecenderungan
untuk mengagungkan benda-benda duniawi, harta dan kekayaan (materialisme), juga
kesenangan dan kemegahan diri sendiri (hedonisme) juga merupakan penyembahan
ala modernisme. Seseungguhnya ketika pengagungan tertinggi tidak lagi ditujukan
kepada Allah, dan perhatian dialihkan pada trend modernisme, maka itu adalah
obyek penyembahan yang salah.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa sebagian besar orang-orang Kristen telah terperangkap
dalam arus modernisme. Beberapa anggota jemaat secara tidak sengaja terlalu
mengagungkan kemegahan dunia. Maka tidak heran bila beberapa jemaat saling adu
gengsi dengan barang-barang mewah, juga saling berlomba memberi kontribusi bagi
Gereja dengan tujuan mendapatkan pengagungan. Pada kasus lain, beberapa
ibadah/penyembahan di Gereja terpakasa diliburkan atau digeser karena ada
kegiatan sekuler lain yang dianggap lebih mengagumkan seperti Piala Dunia, atau
konser-konser artis berkaliber dunia.
Anehnya,
pada zaman modern ini, masih banyak juga orang yang pergi ke tempat-tempat yang
dianggap keramat untuk melakukan penyembahan, semisal pergi ke Gunung Kawi bagi
orang-orang di sekitar Jawa Timur. Padahal pada zaman-Nya, Tuhan Yesus telah
memberitahukan bahwa penyembahan tidak berkiblat pada tempat tertentu,
melainkan penyembahan hanya ditujukan kepada Allah yang adalah Roh. Tidak
peduli apapun tujuannya, penyembahan dengan cara ini tidak diperkenan oleh
Allah, apalagi jika dengan terang-terangan penyembahan itu ditujukan kepada
Setan.
Ada
juga kelompok kepercayaan tertentu dalam kekristenan yang mencoba membuat
gambar dan rupa Allah dalam wujud gambar atau patung. Kemudian gambar atau
patung itu dikeramatkan yang ujung-ujungnya disembah secara terang-tarangan.
Beberapa patung “Yesus” atau patung “Maria” dikeramatkan dan disembah lebih
dari Allah sendiri. Sesungguhnya Allah tidak pernah mengizinkan Pribadi-Nya
digambarkan dalam bentuk apapun. Demikian juga “pengagungan” dan “perhatian
yang lebih” terhadap semua yang berhubungan dengan trend modernisme merupakan
cara penghinaan terhadap Allah, karena tidak menyembah dan mengutamakan Allah.
Modus
penyembahan yang salah sasaran juga semakin marak muncul dari berbagai kalangan
gereja, terutama golongan orang-orang Kristen yang mengedepankan
penggunaan-penggunaan karunia, seperti karunia nubuatan, penglihatan, dan
berbagai-bagai manifestasi. Sesungguhnya penggunaan karunia-karunia itu
diberikan oleh Roh Kudus untuk pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus yang
sasarannya adalah penyembahan kepada Allah yang benar. Akan tetapi
kecenderungan untuk mengedepankan manifestasi dari karunia-karunia itu sendiri
merupakan kesalahan yang sangat besar, karena kemegahan dari karunia-karunia
itu sendiri lebih dipentingkan dari pada penyembahan. Seolah-olah karunia itu
sendiri lebih besar dari pada Allah yang telah mengaruniakannya. Pada akhirnya
yang dilakukan bukan lagi penyembahan kepada Allah melainkan pengagungan pada
kemegahan dan ketenaran dari menifestasi karunia-karunia itu. Jelas Allah tidak
berkenan dengan ibadah semacam itu.
Di
tengah-tengah kemeriahan dan kemegahan duniawi, juga gelombang dan arus
kebanyakan orang-orang yang mengedepankan kemegahan manifestasi karunia Roh
Kudus, suara Allah datang kepada kita dengan lembut: “Return to Me” (kembalilah kepada-Ku). Allah menghendaki umat-Nya
tetap bertahan menyembah Allah di tengah-tengah kesibukan kebanyakan orang
untuk mencari ketenaran. Dalam situasi sulit atau berbagai-bagai persoalan,
orang-orang percaya tertantang untuk tetap meprioritaskan penyembahan kepada
Allah. Bukan tidak mungkin, beberapa orang Kristen pada akhirnya bersedia
meninggalkan Tuhan Yesus dan menyembah kepada yang lain dengan alasan cinta,
harta dan kemegahan. Godaan, hambatan selalu datang silih berganti, tetapi
orang-orang percaya harus menyembah dan mengutamakan kemuliaan Allah dan
pengagungan kepada-Nya.
Fenomena
di atas tentu menimbulkan pertanyaan baru: “Bagaimana meyakinkan seseorang
bahwa Ia menyembah Allah yang benar?” Memang tidak sedikit orang yang mengklain
diri menyembah kepada Allah, namun bukan kepada Allah yang benar, melainkan
kepada ilah-ilah lain. Alkitab menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang
dapat mengenal Allah jikalau ia tidak mengenal Kristus (band. Yoh. 1:18; 14:6).
Artinya untuk mengenal dan bisa datang menyembah kepada Allah yang benar,
seseorang harus mengenal Kristus terlebih dahulu. Dan untuk mengenal Kristus
seseorang harus menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi. Dalam
banyak kasus, banyak berita yang diselewengkan dan dianggap sebagai injil.
Sesungguhnya Injil yang dimaksud adalah berita pengampunan dosa melalui
kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Pribadi Yesus Kristus yang diberitakan
haruslah berdasarkan berita Kitab Suci. Dengan demikian, maka seseorang dapat
mengenal Allah yang benar. Hanya Allah yang telah menyatakan diri dalam Yesus
Kristus yang layak disembah.
2.
Landasan Penyembahan yang Benar
Sebelumnya
telah dikemukakan bahwa penyembahan yang benar keluar dari hati yang paling
dalam, yang menanggapi Pribadi dan segala karya Allah. Dalam kehidupan
percayanya, orang Kristen harus memahami segala karya penebusan Kristus
sebagaimana yang disingkapkan oleh Kitab Suci. Allah dengan kasih-Nya yang
besar telah mengutus Anak-Nya, Tuhan kita Yesus Kristus untuk menjadi jalan
pendamaian dengan mengorbankan diri-Nya di atas kayu salib. Hal itu dilakukan
Allah sebagai jalan satu-satunya untuk menyelamatkan kita kembali dalam
hadirat-Nya. Dengan konsep ini,
seseorang datang menyembah Allah sebagai tanggapan aktif dan rasa tanggung
jawab sebagai umat tebusan Allah.
Jikalau
diteliti dengan seksama, tujuan tertinggi dari semua karya Allah, mulai dari
penciptaan, penebusan, dan kehidupan dalam kekekalan adalah untuk menghasilkan
penyembahan kepada Allah. Orang-orang pilihan ditebus dengan darah Kristus yang
mahal untuk melakukan penyembahan kepada Allah. Injil mengemukakan suatu
gagasan yang jelas: “Bapa menghendaki (mencari) para penyembah-Nya, dan untuk
inilah Tuhan Yesus datang ke dunia. Allah Bapa mengutus anak-Nya ke dalam dunia
untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang sehingga menghasilkan puji-pujian
kepada Allah. Dengan demikian maka manusia diselamatkan dengan satu tujuan
tertinggi yaitu menyembah Allah. Inilah landasan penyembahan yang benar.
Tidak
sedikit orang yang mengira bahwa keselamatan itu diberikan kepada manusia
supaya mereka terhindar dari hukuman kekal dan tidak masuk neraka. Selanjutnya
keselamatan dianggap sebagai kesempatan untuk menikmati semua berkat-berkat
Allah. Itu memang salah satu hasil dari penebusan, namun itu bukan tujuan yang
tertinggi. Kitab Wahyu mendeskripsikan kegiatan umat tebusan dalam masa
kekekalan sebagai penyembahan sampai selama-lamanya. Dalam Wahyu 9-12
disebutkan bahwa semua umat tebusan, juga para malaikat melantunkan puji-pujian
dan penyembahan, dan terus tersungkur di hadapan tahta Anak Domba. Ini
dilakukan sampai selama-lamanya. Itulah maksud Allah dalam keselamatan kita.
Kata
kunci landasan untuk landasan penyembahan bukan “supaya” melainkan “karena.”
Penyembahan yang kita lakukan bukan supaya tercapai segala keinginan kita,
apalagi keinginan manusiawi, bukan juga supaya kita menikmati kehidupan sebagai
orang yang sudah terlepas dari ancaman hukuman maut, bukan supaya kita
menikmati berbagai berkat Allah yang abadi. Kita menyembah Allah karena kita
telah ditebus dari cengkraman Iblis, dan kita menyembah-Nya karena kita telah
menjadi umat-Nya. Pada prinsipnya, kehidupan kita bersama Allah bukanlah supaya
menerima sesuatu dari Allah, melainkan supaya kita dapat memberikan penyembahan
kepada-Nya.
Dalam
dunia yang serba hedonis, di mana kebanyakan orang berlomba-lomba mencari
kesenangan dan kepuasan diri, juga tidak sedikit orang Kristen yang terjerumus
ke dalam konsep ini dan menerapkannya dalam penyembahan. Pada kenyataannya
orang-orang Kristen semacam ini mulai melakukan penyembahan kepada Allah dengan
tujuan supaya diberkati. Banyak juga penginjilan dengan iming-iming kehidupan
sukses jika orang yang diinjili mau datang ke Gereja. Ini adalah konsep yang
salah. Tuhan Yesus mengoreksi orang-orang sezamannya yang hanya mengutamakan
keuntungan material melalui penyembahan: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah
dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat.
6:33). Perkataan ini juga mengoreksi
motivasi yang dikejar oleh kebanyakan orang-orang Kristen, yaitu pemenuhan
kebutuhan. Tuhan Yesus menyatakan kehendak Allah yang utama yaitu mencari-Nya
dan menyembah-Nya.
Gereja
harus sesegera mungkin menyadari bahwa aktifitas utamanya adalah menyembah
Allah, bukan menjanjikan berkat-berkat Allah semata kepada seluruh jemaat.
Gereja menyembah Allah bukan supaya orang-orang percaya memenangkan perkara
duniawi. Jemaat tidak hanya datang ke Gereja untuk menerima janji-janji berkat,
juga para pelayan dan aktifis Gereja berlelah-lelah melayani hanya dengan
tujuan supaya menerima sesuatu yang bersifat temporal. Allah menghendaki
pelayan, aktifis, dan seluruh jemaat datang ke Gereja untuk menyembah-Nya.
Kebenaran
ini patut dijelaskan kepada seluruh anggota Gereja, supaya kegiatan-kegiatan
ibadah itu bertujuan untuk menyembah Allah. Jemaat harus mempersembahkan seluruh
kehidupannya kepada Allah sebagai rasa tanggung jawab atas penebusan dan
pengenalan akan Pribadi Allah. Jadi jemaat bersedia mengorbankan segalannya
sebagai wujud penyembahannya, bukan supaya memperoleh keuntungan berkali lipat
ganda. Penyembahan dengan tingkat tinggi melibatkan pengorbanan tanpa batas
sebagai tanggapan atas penebusan Allah. Inilah landasan penyembahan yang benar.
3.
Cara Penyembahan yang Benar
Dalam
dunia yang serba canggih sekarang ini, mungkin cara penyembahan tidak lagi
menjadi perhatian utama. Akan tetapi jikalau diperhatikan dengan seksama, cara
penyembahan merupakan bagian yang terpenting dalam Perjanjian Lama. Pengaturan
tempat, waktu, prosesi dan orang-orang yang bertugas untuk melayani harus
dilakukan sesuai dengan petunjuk TUHAN, dan tidak boleh dilanggar sedikitpun.
Pelanggaran sekecil apapun harus dibayar dengan murka TUHAN yang berarti
petaka/bencana bagi seluruh umat Israel, sekalipun hal itu dilakukan dengan
maksud yang baik. Dengan demikian, maka cara penyembahan tidak boleh dipandang
remeh.
Dalam
Kitab Imamat, sistem korban diatur sedemikian rupa dan tidak boleh dirubah atau
dilalaikan sedikitpun dari cara yang telah ditentukan oleh Allah. Itulah
sebabnya berkali-kali TUHAN mengingatkan supaya umat Israel jangan melanggar
kekudusan Allah dengan menerapkan cara yang tidak diperintahkan oleh-Nya.
Sebaliknya mereka harus mempersembahkan korban sesuai dengan cara yang
ditetapkan oleh TUHAN sendiri. Dalam hal ini TUHAN mengingatkan Musa: “Dan
ingatlah, bahwa engkau membuat semuanya itu menurut contoh yang telah
ditunjukkan kepadamu di atas gunung itu" (Kel. 25:40).
Beberapa
orang dalam Perjanjian Lama telah menerima hukuman Allah secara langsung akibat
melakukan penyembahan dengan cara yang salah. Nadab dan Abihu melakukan suatu
cara penyembahan yang salah: “Kemudian anak-anak Harun, Nadab dan Abihu,
masing-masing mengambil perbaraannya, membubuh api ke dalamnya serta menaruh
ukupan di atas api itu. Dengan demikian mereka mempersembahkan ke hadapan TUHAN
api yang asing yang tidak diperintahkan-Nya kepada mereka. Maka keluarlah api
dari hadapan TUHAN, lalu menghanguskan keduanya, sehingga mati di hadapan TUHAN
(Im. 10:1). Uza telah memberanikan diri melangkahi larangan TUHAN dengan
memegang barang-barang kudus Allah dengan maksud supaya barang-barang itu tidak
tergelincir (2 Sam. 6:6-7). Padahal TUHAN telah memerintahkan supaya
barang-barang kudus itu tidak boleh disentuh (band. Bil. 4:15). Keputusan Uza
untuk menyentuh barang-barang kudus itu mendatangkan murka TUHAN atasnya, dan
akhirnya ia pun meninggal seketika itu. Dalam hal ini Allah sangat murka
terhadap penyembahan dengan cara yang salah.
Pengalaman-pengalaman
ini memberikan pelajaran kepada umat Tuhan pada masa kini, supaya jangan dengan
sembarangan mempersembahkan korban atau melakukan penyembahan dengan cara
sendiri. Salah satu kenyataan yang tidak dapat disangkali adalah banyak
orang-orang Kristen melakukan ibadah dengan cara mereka sendiri. Banyak
orang-orang Kristen datang beribadah di Gereja dengan sikap dan cara yang salah.
Mereka menganggap tempat ibadah seperti tempat hiburan atau tempat untuk unjuk
kemampuan bernyanyi atau untuk kebolehan lainnya. Tidak sedikit juga yang
datang beribadah dengan gaya hidup yang penuh dengan segala macam perbuatan
dosa. Sekali lagi cara penyembahan dengan gaya hidup yang semacam ini jelas tidak berkenan kepada
Allah.
Sekalipun
seseorang melakukan penyembahan kepada Allah yang benar yaitu kepada Allah yang
dikenal dalam Kristus Yesus, juga dengan landasan penyembahan yang benar, namun
jika caranya salah, penyembahan itupun tidak berkenan kepada Allah. Orang-orang
Farisi dan Ahli Taurat dikecam oleh Tuhan Yesus karena sekalipun mereka
menyembah kepada Allah yang benar, namun mereka melakukannya dengan cara yang
salah: mulai dari motivasi mereka untuk mencari pujian, juga gaya hidup mereka
yang masih tercemar dengan dosa. Mereka menekankan perintah yang satu tetapi
mereka melalaikan perintah yang lain (band. Mat. 15:3).
Untuk
mencapai kehendak Allah dalam penyembahan, maka ada beberapa cara penyembahan
yang perlu diperhatikan.
Pertama, gaya hidup kudus.
Mengingat
bahwa penyembahan bukan hanya sekedar kegiatan ibadah yang dilakukan dalam satu
wadah tertentu, misalnya di Gereja, maka penyembahan harus dicerminkan melalui
tindakan keseharian, yaitu cara hidup yang baik dan benar kapanpun dan di
manapun kita berada. Penyembahan orang yang hidupnya benar sangat diperkenan
oleh Allah. Sebaliknya Allah tidak berkenan kepada penyembahan orang yang hidup
kesehariannya tidak benar. Sekalipun kelihatannya bergitu ekspresif menyembah
Tuhan di dalam Gereja, juga dengan persembahan dan sumbangan yang sedemikian
besar, tetapi jika tidak disertai dengan kemurnian hidup, orang yang semacam
ini akan mendapat kecaman dari Allah.
Pelajaran
penting pernah diungkapkan oleh nabi Amos kepada umat Israel: “Aku membenci,
Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu.
Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan
korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak
yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian
nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah
keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu
mengalir” (Amos. 5:21-14). Di sini terungkap bahwa sekalipun mereka
mempersembahkan korban kepada Allah, namun Allah tidak berkenan akan
penyembahan itu karena mereka senantiasa memutar-balikkan kebenaran. Jadi Allah
tidak berkenan akan penyembahan orang Kristen yang masih hidup dalam dosa,
termasuk korupsi, selingkuh, sakit hati, iri hati, dll. Allah menghendaki kita
memiliki kehidupan yang suci tatkala kita menghadap ke hadirat-Nya.
Kedua, sikap hati yang benar.
Masalah
sikap hati harus menjadi perhatian umat Allah ketika menghadap Allah, sebab
jika seseorang datang ke hadirat Tuhan dengan cara yang sembarangan, justru
mendatangkan murka Allah. Menyembah Allah harus disertai dengan rasa
penghormatan sebagai Allah yang layak disembah. Dengan demikian seorang
penyembah harus menunjukkan kerendahan hati, ketulusan dan perhatian yang
tertuju kepada Allah. Bukan tidak mungkin bahwa banyak orang Kristen datang
beribadah tetapi tidak dengan suasana hati yang tertuju kepada Allah. Sementara
mereka ada di dalam Gereja atau ibadah lainnya, hati mereka tidak terfokus pada
ibadah yang sedang dilakukan, tetapi mereka meikirkan hal-hal lain yang mungkin
berhubungan dengan bisnis, pekerjaan, atau karir. Maka tidak sedikit jemaat
yang asyik bermain hand phone atau barang elektronik lainnya ketika ibadah
sedang berlangsung.
Banyak
juga orang-orang dengan latar belakang sebagai pemimpin datang ke hadirat Tuhan
dengan perasaan sebagai “bos.” Dalam
doa-doanya mereka meminta Tuhan melakukan hal-hal yang mereka inginkan
sebagaimana mereka biasa menyuruh karyawan melakukan berbagai hal. Dan yang
lebih ekstrim lagi, ada beberapa orang pelayan-pelayan Tuhan yang menyepelekan
pelayanan, misalnya pelayanan sambil pacaran dan sejenisnya. Jelas ini adalah
cara penyembahan yang salah.
Allah
menghendaki penyembahan dengan sikap hati yang penuh dengan rasa hormat. Jadi
pada saat menghadap Allah, hati kita harus terfokus kepada-Nya. Kita harus
menjunjung tinggi Pribadi-Nya dengan mengesampingkan segala urusan bisnis atau
pekerjaan, pada saat kita menghadap Dia. Kita harus memperlakukan Dia sebagai
yang Superior atas kita, sehingga dengan demikian kita harus menghadap-Nya
dengan sikap yang benar. Dalam hal ini seseorang dapat mengekspresikan rasa
hormat kepada Allah dengan suasana hati yang bersukacita, juga kadang-kadang
diekspresikan dengan penuh khidmat dan bahkan dengan perasaan hancur hati
sampai menagis. Prinsip utamanya adalah sikap hormat terhadap Allah.
Ketiga, tata ibadah yang baik.
Tata
cara atau liturgika yang baik akan memberikan dampak positif bagi cara
penyembahan yang benar. Dalam hal ini Allah tentu tidak menghendaki ibadah yang
tidak teratur dan tidak sopan. Allah menginginkan umat-Nya berlaku sopan pada
saat ibadah, mulai dari cara berbicara, cara berpakaian dan persembahan yang
terbaik. Tata ibadah atau etika beribadah yang benar memang tidak diatur secara
eksplisit dalam Alkitab, namun Paulus memberikan berbagai-bagai nasihat kepada
jemaat di Korintus terhadap kebiasan-kebiasaan yang salah dalam ibadah. Salah
satu cara yang hendak diperbaiki oleh Paulus adalah penggunaan-penggunaan
karunai Roh Kudus yang harus berlangsung secara sopan dan teratur (1 Kor.
14:40). Sekalipun itu adalah karunia Roh Kudus, namun harus dipergunakan secara
sopan dan teratur. Pekerjaan Roh Kudus tidak kacau balau.
Cara
penyembahan yang benar dapat dianalogikan seperti seseorang yang menghadap
Presiden. Tentunya orang tersebut harus mempertunjukkan sikap dan tata krama
yang benar, tata busana yang rapi, dan mungkin pemberian-pemberian yang
terbaik. Dalam hal ini sangat tidak sopan apabila seseorang sedang
bercakap-cakap dengan Presiden lalu memberanikan diri memainkan hand phone,
iphad, gadget atau alat-alat informasi lainnya.
Sayangnya,
dalam sistem ibadah masa kini, beberapa Gereja mengadopsi cara ibadah ala
diskotik, dengan lampu remang-remang, cara berpakaian seksi, dan juga cara
bernyanyi para pemabuk di bar-bar, serta permainan-permainan musik Rock yang
duniawi. Ini tentunya harus dikaji kembali, apakah cara ini adalah cara yang
diperkenan oleh Tuhan. Tata cara ibadah yang tidak benar tidak mendatangkan
hadirat Tuhan, dan justru cenderung mengundang Setan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar