Ekspresi-ekspresi
Dalam Penyembahan
Pada umumnya, kegiatan penyembahan diekspresikan dengan berbagai-bagai
cara. Ada orang yang dengan sungguh-sungguh tersungkur dari tempat ia berdiri
untuk memohon ampun atas dosa-dasanya. Ada orang yang dengan sukacita melonjak
kegirangan untuk menikmati hadirat Tuhan. Bahkan ada orang yang tertawa,
berteriak, dan sebagainya untuk mengekspresikan penyembahannya. Pada dasarnya
ekspresi-ekspresi ini dapat dilihat dalam batas-batas kewajaran dan juga dapat
dipandang sebagai kegiatan yang berlebihan. Pembahasan berkut ini akan membawa
kita pada pemahaman yang benar akan ekspresi seseorang dalam penyembahan.
Dengan demikian, maka sesama anggota jemaat tidak dengan tergesa-gesa mencela
cara seseorang mengekspresikan penyembahnnya, juga tidak dengan gampang
menerima cara mengekspresikan penyembahan yang kelihatannya luar biasa,
sepertinya dilawat Allah.
1. Ekspresi-ekspresi Primer
Di
awal telah dibahas pengertian penyembahan baik dari sisi terminologis (peristilahan)
maupun dari sisi konsepsi. Pada prinsipnya, penyembahan dilakukan dengan segala
kerendahan hati untuk memberikan pemujaan kepada pihak yang disembah. Dari
pemujaan itu, tercermin berbagai ekspresi-eskpresi yang patut dan layak di
hadapan Allah. Inilah yang disebut sebagai ekspresi primer atau sikap-sikap
utama yang patut dipertunjukkan dalam penyembahan.
Tokoh-tokoh
Alkitab memberikan teladan dalam mengekspresikan penyembahan yang benar. Setiap
kali mempersembahkan korban kepada Allah, mereka sujud dengan muka sampai ke
tanah (band. Kej. 24:26; Kel. 4:31; Neh. 8:7; Mat. 8:2; Why. 15:4, dst).
Gerakan tubuh yang sujud saat menyembah mengandung makna ketaatan kerendahan
hati. Orang Kristen yang sungguh-sungguh menyembah Allah harus memiliki sikap rendah
hati. Apabila ia datang menyembah kepada Tuhan dalam kebaktian, ia dengan sopan
dan tertib mengikuti semua liturgi ibadah. Kemudian dalam kesehariannya, orang
yang rendah hati bersedia memberikan penghormatan kepada orang lain sebagai
wujud penghormatan kepada Tuhan. Kata utama penyembahan dalam Perjanjian Baru
diterjemahkan dari kata Yunani proskuneo,
yang memiliki arti dasar, membungkuk; mencium ke arah, yang dalam pengertian rohani sangat erat
dengan kerendahan hati.
Dalam
Mazmur 100, pemazmur mengajak kita untuk bersorak-sorai saat memuji-muji Tuhan.
Unsur rohani yang terpenting dalam hal ini adalah kesukaan. Ekspresi wajah yang
bersukacita, tanpa dendam atau sakit hati, juga tanpa membeda-bedakan orang
merupakan ekspresi yang patut dipertunjukkan oleh seorang penyembah Allah.
Alkitab memang memberikan informasi orang-orang yang hancur hati, berpuasa atau
menangis untuk mengekspresikan penyesalan dan pengakuan dosanya, tetapi Alkitab
tidak sekalipun memberikan kesempatan untuk berlaku murung. Seorang penyembah
Allah harus mempertunjukkan sikap yang ramah terhadap semua orang. Itu adalah
bagian dari kesukaan dalam penyembahan.
Ada
banyak ekspresi maupun manifestasi yang terjadi pada saat seorang menyembah
Allah, tetapi semuanya berlangsung secara normal, sesuai dengan gaya hidup
anak-anak Allah. Pada prinsipnya, bernyanyi atau bermazmur, mengucapkan
kata-kata pujian terhadap Allah, berdoa dan mengucap syukur, dan sebagainya
merupakan ekspresi primer bagi para penyembah Allah.
2. Ekspresi-ekspresi Sekunder
Ekspresi-ekspresi sekunder adalah manifestasi yang bisa
saja muncul pada seseorang yang menyembah Allah, namun hal itu bukan merupakan
kemutlakan, karena bisa saja terjadi pada seseorang tetapi tidak pada orang
lain. Ada kalanya seseorang menyembah Allah sambil menangis karena penyesalan
dan pengakuan dosanya. Atau seseorang bisa saja kelihatan seperti tertawa
karena menikmati hadirat Allah yang begitu nikmat. Semuanya itu berlangsung
berdasarkan pengalaman seseorang secara pribadi, bukan suatu keharusan.
Menangis
Ada sebagian denominasi Gereja yang menganggap tangisan
sebagai bukti penyembahan dan kerohanian yang baik. Dalam pandangan ini, jika
seseorang belum sampai menangis, maka ia dianggap belum menyembah Allah secara
intim. Dengan kata lain jika seseorang tidak menangis pada saat ibadah, maka orang itu dianggap
kurang rohani, tidak sungguh-sungguh beribadah.
Ketika masih berstatus sebagai mahasiswa praktek, penulis
pernah mengikuti suatu ibadah yang dilakukan oleh salah satu kelompok atau denominasi
Gereja. Sama seperti biasanya, ada semacam acara atau liturgi penyembahan yang
dilakukan setelah selesai melantunkan lagu-lagu melankolis. Seperti kebiasaan
mereka, pada saat inilah mereka mulai berseru-seru, mengucapkan kata-kata
“tidak beraturan” yang mereka sebut sebagai “penyembahan” dan puncaknya
diakhiri dengan menangis.
Pada kesempatan yang sama, penulis berdoa, mengucapkan
puji-pujian dan ucapan syukur, tetapi tidak sampai menangis. Kemudian seorang
pelayan mendekat, lalu marah sambil berkata: “Kamu tidak sungguh-sungguh
menyembah, itu terbukti dengan wajahmu yang sampai saat ini belum
menangis!” Perkataan itu membuat penulis
bersedih karena diklaim tidak sungguh-sungguh. Akhirnya penulis pun menangis,
bukan karena penyembahan, tetapi karena klaim mereka bahwa penulis belum
menyembah. Setelah mereka melihat penulis menangis, mereka kemudian menganggap
bahwa penulis sudah sungguh-sungguh menyembah.
Sesungguhnya menangis atau tidak menangis bukanlah tanda
kerohanian yang baik, bukan juga bukti bahwa seseorang sudah bersekutu lebih
intim dengan Tuhan. Ada orang yang memang menangis pada saat ibadah, tetapi
tangisannya tidak berhubungan dengan ibadahnya. Apakah itu bisa dikatakan
penyembahan yang sudah mencapai puncaknya? Tentu saja tidak. Jadi menagis atau
tidak menangis tidak dapat dijadikan patokan kerohanian atau bukti penyembahan
seseorang. Ini hanyalah ekspresi sekunder, dan memang tidak dapat dijadikan
sebagai tanda penyembahan yang benar.
Berkata-kata
dalam Bahasa Roh
Persoalan
lain yang terjadi sebagai kesalahpahaman adalah bahasa lidah atau bahasa roh.
Bagi kelompok atau denominasi Gereja tertentu, bahasa roh dijadikan sebagai
bukti kepenuhan Roh Kudus. Dalam pandangan ini, seseorang yang dipenuhi Roh
Kudus mutlak harus berkata-kata dalam bahasa roh. Jika belum sampai
berkata-kata dalam bahasa roh, maka seseorang dianggap belum dipenuhi dengan
Roh Kudus. Bagi kelompok ini, alasan utama pemutlakkan bahasa roh adalah supaya
iblis tidak mengetahui apa yang diperbincangkan dengan Allah. Alasan lainnya
adalah karena Allah adalah Roh, maka untuk berkomunikasi dengan-Nya harus
dengan bahasa roh.
Bagi
mereka, penyembahan hanya akan mencapai puncaknya apabila seluruh jemaat sudah
mengucapkan kata-kata dalam bahasa roh. Mereka memaksa jemaat dan semua yang
mengikuti kebaktian untuk berbicara dalam bahasa roh. Orang-orang yang tidak
memiliki karunia bahasa roh terpaksa mengucapkan kata-kata tanpa arti supaya
mereka juga kelihatan berbicara dalam bahasa roh. Akibatnya, banyak
kepura-puraan yang dilakukan dalam ibadah, termasuk pura-pura berbahasa roh
itu. Kepura-puraan itulah yang disebut kepalsuan, dan kepalsuan tidak berkenan
kepada Allah. Jadi, penyembahan dengan kepalsuan tidak berkenan kepada Allah,
dan justru kegiatan yang semacam ini adalah penyembahn kepada Setan.
Pada
sisi lain, ada sebagian kelompok atau denominasi Gereja yang terlalu ekstrim
menolak penggunaan karunia bahasa roh. Bagi kelompok ini, penggunaan bahasa roh
tidak lagi relevan pada zaman ini dan karunia itu tidak lagi diberikan kepada
orang percaya. Akibatnya, jika ada orang yang mendapat karunia berkata-kata
dalam bahasa roh dan mempergunakannya, mereka merasa tidak nyaman dan segera
meminta orang itu berhenti berbicara. Dipastikan dalam kelompok itu tidak
satupun yang berkata-kata dalam bahasa roh, dan demikian juga dengan
karunia-karunia yang lain. Ini juga bukan penyembahan yang berkenan kepada
Allah.
Alkitab
memang tidak melarang seseorang berbicara dalam bahasa roh. Tetapi Alkitab juga
tidak pernah mengintruksikan bahwa penyembahan yang benar harus ditandai dengan
bahasa roh. Kedua persoalan ini harus dilihat berdasarkan terang firman Allah.
Jika seseorang tidak menggunakan bahasa roh saat ibadah atau penyembahan karena
memang tidak memiliki karunia itu, itu bukan berarti bahwa ia belum menyembah
Allah dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya apabila seseorang menggunakan karunia
bahasa roh dalam ibadah atau penyembahannya, maka itu adalah sesuatu yang baik,
tidak boleh dilarang. Yang dilarang adalah berkata-kata tanpa arti, alias bahasa
roh palsu.
Bahasa
roh adalah salah satu karunia Roh Kudus. Itu diberikan kepada orang-orang yang
dikehendaki oleh Roh Kudus, tetapi tidak untuk semua orang. Jamaat di Korintus
telah salah paham tentang kebenaran ini. Maka Paulus memberikan penjelasan yang
memadai, bahwa kepada masing-masing orang diberikan karunia yang berbeda-beda,
supaya anggota jemaat saling membangun, saling menguatkan dan bertumbuh secara
bersama-sama. Hendaknya kita perlu memperhatikan apa yang dikatakan dalam Kitab
Suci ini:
“Kamu semua
adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya. Dan Allah telah
menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai
nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk
mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan
untuk berkata-kata dalam bahasa roh. Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau
pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, atau
untuk menyembuhkan, atau untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk
menafsirkan bahasa roh?” (1 Kor. 12:27-30).
Pertanyaan
ini merupakan pertanyaan retorik, yang tidak memerlukan jawaban. Kebenarannya
adalah bahwa tidak semua jemaat melakukan fungsi yang sama. Masing-masing
menjalankan tugas dan pelayanannya sesuai dengan karunia yang diberikan oleh
Roh Kudus. Jadi tidaklah benar pemutlakan bahasa roh sebagai tanda penyembahan
yang sungguh-sungguh, atau sebagai tanda lawatan Roh Kudus sebagaimana yang
banyak dipahami oleh gereja-gereja beraliran Pentakosta atau Kharismatik.
Mengingat
bahwa bahasa roh adalah karunia, maka tidak selayaknya gereja-gereja beraliran
Protestan alergi terhadapnya. Mereka mengakui bahwa Roh Kudus masih terus
memberikan karunia-karunia rohani kepada jemaat, tetapi mengapa untuk bahasa
roh tidak diberikan? Inilah cara pandang yang lebih bersifat doktrin dari pada
keterbukaan menerima kebenaran firman Allah. Sampai akhir zaman, Allah akan
terus mengruniakan karunia-karunia rohani kepada jemaat untuk pelayanan, maka karunia
bahasa roh pun harus diakui bahwa masih diberikan kepada jamaat pada masa kini.
Dalam
penyembahan, ada kalanya seseorang berkata-kata dalam bahasa roh sesuai dengan
karunia yang diberikan Roh Kudus kepadanya. Maka bahasa roh itu berguna untuk
membangun diri orang yang bersangkutan, dan jikalau ada orang yang diberi
karunia untuk menafsirkannya, maka jemaat yang lain akan dibangun. Berdasarkan
kebenaran firman, maka gereja maupun kelompok orang-orang yang anti bahasa roh
tidak berhak melarang seseorang mempergunakan karunia bahasa roh. Tetapi jika
memang tidak ada yang memiliki karunia itu, maka tidak boleh dipaksakan dengan
mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat. Kalau hal itu terjadi maka
penyembahan tidak lebih dari sebuah sandiwara.
Bernubuat
Satu
lagi ekspresi yang biasa dimanifestasikan pada saat penyembahan yaitu nubuat.
Pada umumnnya, manifestasi ini berlangsung pada saat ibadah sedang berlangsung,
yaitu saat berdoa, atau saat menyanyikan puji-pujian. Pada saat penyembahan,
tiba-tiba ada seorang atau lebih mulai mengucapkan kata-kata “nubuat” baik
tentang seseorang, tentang gereja, tentang dunia atau tentang hal yang lain.
Dalam aliran Gereja tertentu ini dianggap sebagai “nubuatan” dan orang gang
melakukannya disebut sebagai “nabi,” akan tetapi bagi gereja lainnya, ini
disebut sebagai “kata-kata profetik” yang biasanya dilakukan oleh para pendoa,
atau yang menyatakan diri sebagai pasukan doa. Maka tidak heran bahwa bagi
beberapa gereja ada yang dianggap sebagai nabi, pendoa garis depan, atau
orang-orang yang paling rohani.
Jika
kita perhatikan kebenaran Alkitab secara menyeluruh, nubuat adalah salah satu
karunia Roh Kudus, sama seperti karunia bahasa roh. Maka prinsipnya pun sama,
tidak harus semua orang bernubuat, dan juga tidak memaksakan seolah-olah
menubuatkan sesuatu padahal bukan gerakan Roh Kudus.
Dalam
teologi Injili Konservatif, nubuatan ada dua macam. Nubuatan yang pertama
adalah nubuat yang bersifat pewahyuan,
yaitu pengungkapan hal-hal yang akan datang berdasarkan kehendak Allah.
Nubuatan ini terjadi pada masa Perjanjian Lama, sebelum Yesus lahir ke dunia.
Allah memakai sarana pewahyuan ini karena Tuhan Yesus belum datang ke dunia,
dan Alkitab belum selesai ditulis. Maka Allah mengkomunikasikan kehendak-Nya
kepada manusia melalui nubuatan para Nabi. Setelah Yesus datang ke dunia, maka
Allah berbicara kepada manusia melalui Yesus Kristus (Ibr. 1:1-2). Melalui
Yesus Kristus, Allah menyatakan kehendak-Nya kepada manusia secara sempurna.
Tidak ada lagi yang tidak disingkapkan. Semua kehendak Allah itu ditulis dalam
Kitab Suci. Maka dengan demikian tidak ada lagi wahyu baru. Tuhan Yesus
memperingatkan kita: “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar
perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: ‘Jika seorang menambahkan sesuatu kepada
perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya
malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini” (Why. 22:18).
Dengan
tidak adanya wahyu baru, maka nubuatan dalam karunia nubuatan lebih bersifat
pencerahan atau penjelasan.
Inilah nubuatan yang kedua, bukan wahyu baru, melainkan menjelaskan maksud
Allah dalam Kitab Suci, di mana tidak semua orang dapat memahaminya. Dengan
ditiadakannya nubuat yang bersifat pewahyuan, maka tidak ada lagi nabi. Yang
dimaksud dalam Efesus 4:11 maupun 1 Korintus 12:28 bahwa Allah yang memberi
baik Nabi-nabi maupun Rasul-rasul tidak tepat jika dianggap sebagai jabatan,
melainkan karunia. Terjemahan yang tepat bukanlah “memberikan” melainkan
“mengaruniakan” Nabi-nabi.
Berdasarkan
prinsipnya, nabi adalah penyambung lidah Allah dalam masa Perjanjian Lama dan
Rasul adalah penyambung lidah Allah pada masa Perjanjian Baru di mana Alkitab
belum selesai ditulis. Rasul Paulus
mengungkapkan kebenaran bahwa Gereja didirikan di atas dasar para Rasul
dan para nabi dengan Yesus Kristus sebagai batu penjurunya (Ef. 2:20). Nabi dan
Rasul adalah fondasi Gereja yang telah didirikan, maka tidak ada tempat lagi
bagi nabi-nabi maupun rasul-rasul modern pada masa kini. Yang ada adalah
karunia jabatan kenabian dan karunia jabatan kerasulan. Tugas mereka bukan
menubuatkan wahyu baru, melainkan menjelaskan makna nubuat dalam Kitab Suci.
Harus diingat bahwa karunia jabatan ini berhubungan dengan pendiriaan dan
perkembangan Gereja.
Karena
ini adalah karunia, maka tidaklah benar apabila nubuatan dijadikan patokan
utama penyembahan yang benar-benar dilawat Tuhan. Tanpa manifestasi karunia
inipun penyembahan dapat berlangsung dengan baik dan benar. Ini hanya salah
satu manifestasi yang bisa saja terjadi pada saat penyembahan. Jadi, eskpresi
penyembahan berupa manifestasi karunia nubuatan bersifat relatif, tidak
menentukan kualitas penyembahan kita kepada Allah.
Selain
menangis dan demontrasi karunia-karunia Roh Kudus, banyak ekspresi yang dapat
dipertunjukkan dalam penyembahan. Pada saat ibadah, bisa saja ada yang orang
yang mengucapkan kata-kata pujian kepada Allah dengan suara keras, atau
menyanyikan puji-pujian dengan gerakan badan seperti bertepuk tangan, menari,
melompat dan sebaginya. Itu pun sah-sah saja asalkan tidak melewati batas-batas
kewajaran, dan tidak menjadi sandungan bagi orang lain.
Karena
ekspresi ini sifatnya sekunder atau relatif, maka mungkin saja cara itu
diterima dalam suatu Gereja tetapi bagi Gereja lain tidak. Pada umumnya,
Gereja-gereja beraliran Protestan lebih menyukai ekspresi penyembahan dengan
khidmat, duduk diam dan melantunkan puji-pujian yang diatur sedemikian rupa.
Sebaliknya Gereja-gereja beraliran kharismatik lebih menyukai ekspresi
penyembahan dengan berbagai manifestasi karunia Roh Kudus. Kedua hal ini
sah-sah saja dan dapat diterima.
Pemazmur memberikan informasi ekspresi penyembahan yang
bervariasi. Terkadang pemazmur mengajak jemaat untuk bernyanyi
bersahut-sahutan, bersorak-sorak, menangis, atau berdiam diri. Demikian juga
orang-orang percaya dapat mengekspresikan penyembahannya dengan berbagai-bagai
cara, dapat disesuaikan dengan waktu maupun keadaan tertentu. Yang dituntut
adalah kemurnian hati para penyembahnya.
Inilah
ekspresi penyembahan yang bersifat sekunder, artinya bukan merupakan keharusan.
Ekspresi yang diharuskan adalah hal-hal yang primer, yaitu gaya hidup yang
benar, dan cara ibadah yang pantas. Setiap ekspresi atau manifestasi
penyembahan harus diuji berdasarkan kebenaran Alkitab. Karunia bahasa roh,
nubuat, maupun gerakan-gerakan tubuh yang aneh bukanlah tanda utama kerohanian
yang baik, sebab tidak sedikit orang yang begitu luar biasa berkata-kata
berbahasa roh atau bernubuat atau bernyanyi begitu semangat saat ibadah
berlangsung tetapi kehidupan kesehariannya menjadi sandungan.
Peristiwa
sejarah memberikan pelajaran penting bahwa pemutlakan dan salah paham terhadap
manifestasi-manifestasi karunia roh Kudus menjadi sumber perpecahan dan
perselisihan dalam jemaat Korintus. Fenomena masa kini juga menunjukkan bahwa
dalam Gereja-gereja yang paling ekstrim memutlakkan manifestasi karunia Roh
kudus terjadi banyak perpecahan. Roh yang benar menuntun jemaat pada kesatuan,
bukan pada perpecahan. Maka ekspresi-ekspresi yang dipaksakan bukan berasal
dari Roh Allah. Yang terpenting adalah esensi penyebahan itu, dilakukan dalam
roh dan kebenaran, dan berhiaskan kekudusan.
3.
Ekspresi-ekspresi Fenomenal
Ketika
penulis menelusuri apa yang terjadi dalam kekristenan pada masa kini, maka ada
gejala atau fenomena ibadah yang begitu ekspresif, seperti halnya yang terjadi
di Toronto – Kanada, yang dikenal dengan istilah “Toronto Blessing.”[1] Dikatakan
sebagai ekspresi fenomenal karena memang merupakan fenomena baru, yang diklaim
sebagai kegerakan Roh Allah untuk masa kini, yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Selain itu, ada formula-formula baru yang dianggap sebagai cara
penyembahan terbaru seperti kejang-kejang, terjatuh-jatuh, berteriak histeris,
tertawa dalam roh dan sebagainya. Bagi pengikutnya ini dianggap sebagai
manifestasi kegerakan Roh Kudus.
Dengan
tidak bermaksud menghakimi maupun membenarkan, penulis mengakui bahwa kegerakan
ini menimbulkan kontraversi baik di antara orang-orang Kristen sendiri dan
terlebih bagi orang-orang yang tidak percaya. Orang-orang yang mengikuti
kebaktian itu, mengalami kejadian fenomenal. Awalnya mereka mengikuti ibadah
secara normal, kemudian beberapa orang terjatuh, terbaring lalu menjerit-jerit,
berteriak-teriak histeris selama kurang lebih dua jam, bahkan sampai keesokan
harinya. Orang-orang lain mengalami tertawa tidak henti-henti selama beberapa
jam. Beberapa orang yang jatuh ke belakang dipercaya oleh pengikutnya sebagai
lawatan Roh Kudus, dan dikenal dalam bahasa Kharismatik sebagai “Tumbang dalam
Roh.”
Ekspresi-ekspresi
fenomenal ini tidak dapat dipastikan dengan tepat kapan terjadinya. Tetapi
gejalanya mulai muncul bersamaan dengan lahirnya Gerakan Pentakosta dan Gereja
Kharismatik (maksudnya bukan peristiwa Pentakosta yang dicatat dalam Kisah Para
Rasul 2).[2] Gejala ini
menjalar ke seluruh dunia, dan juga sampai ke di Indonesia sejak beberapa tahun
yang lalu. Maka tidak heran jika beberapa gereja di Indonesia menerapkan cara
ini sebagai wujud penyembahan kepada Tuhan.
Sebenarnya,
manifestasi ini tidak dapat dihakimi sebagai cara yang tidak benar, akan tetapi
tidak boleh juga langsung diterima tanpa mengujinya terlebih dahulu.
Bagaimanapun juga, ekspresi-ekspresi semacam ini bukan ekspresi primer, tanpa
mengalami manifestasi semacam ini, seseorang dapat menjadi penyembah Allah yang
benar. Alkitab memerintahkan supaya kita menguji setiap roh supaya kita jangan
dengan mudah menerimanya dan pada akhirnya mempengaruhi hidup kita. ” Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan
setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab
banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yoh.
4:1).
[1] Toronto
Blessing bermula di gereja Toronto Airport Vineyard,
Kanada pada tahun 1994.
Bermula dari keinginan rohani, John Arnott berkunjung ke Argentnina pada
bulan November 1993 untuk mendapatkan penyegaran baru. Di sanalah ia
mendapatkan lawatan Roh Kudus yang luar biasa. Sementara itu ia mendengar
tentang seorang Gembala bernamaRandy
Clark yang juga telah mengalami Roh
Kudus. Singkat cerita, Arnott mengundang Clark untuk berkhotbah di Toronto.
Maka Clark menjadi pengkhotbah dalam kebangunan rohani selama berhari-hari
tanggal 20-24 Januari 1994. Orang-orang yang hadir dalam KKR itu (kira-kira 120
orang) memperlihatkan manifestasi yang mengejutkan. Sejaki saat itu, setiap
malam, kecuali hari Senin, diadakan pertemuan-pertemuan kebangunan rohani, dan
orang-orang yang hadir mendapatkan
pengalaman yang mengejutkan. Gerakan ini kemudian menyebar luar ke seluruh
daerah Toronto, Kanada, dan sampai ke seluruh dunia. Dilaporkan jutaan orang
telah mengunjungi Gerakan kebangunan Rohani ini. Manifestasi-manifestasi luar
biasa itu di antaranya adalah Holly laugther (tertawa-tawa karena urapan Roh
Kudus); Slain in the Spirit (Terjatuh karena lawatan Roh Kudus); Dancing in
Spirit (menari-nari karena kuasa Roh Kudus) dan manifestasi keluarnya
suara-suara aneh seperti binatang tertentu dari mulut beberapa orang. Gerakan
ini terjadi di Gereja Toronto Airport Vineyard (dekat bandara Toronto), yang
mana orang-orang yang terlibat dalam Gerakan ini lebih senang menyebutnya
sebagai Father’s Blessing. Akan tetapi kalangan luas mengenalnya sebagai
Toronto Blessing. Sumber: Dhesi Ramadhani, Mungkinkan
Karismatik Sungguh Katolik? (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 111-113.
[2] Gerakan Pentakosta
Modern dimulai di Amerika, tepatnya di Sekolah Alkitab Bethel di Topeka,
Kansas. Siswi bernama Agnes Ozman dibaptis dengan Roh Kudus dan berbahasa roh
pada tanggal 1 Januari 1901. Gerakan ini berlanjut ke Azusa
Street, Los Angeles Amerika Serikat pada tahun 1906, dibawa oleh William J.
Seymour (murid Parham), Pengkhotbah kulit hitam bermata satu. Dari kamar hotel
di jalan Azusa, gerakan ini melanda seluruh Amerika, bahkan ke seluruh dunia.
Gerakan ini sampai ke Indonesai tahun 1921. Sumber: Badan Pekerja Harian Gereja
Bethel Indonesia, Pengajaran Dasar Gereja
Bethel Indonesia (Jakarta: Departemen Teologia Gereja Bethel Indonesia,
2008), 13.
Oleh: Hasrat P Nazzara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar