Senin, 05 September 2022

PENYEMBAHAN SEBAGAI CARA HIDUP

 Penyembahan Sebagai Cara Hidup

 

Sudah sepantasnya penyembahan menjadi suatu cara hidup orang percaya. Tetapi sayang kebanyakan orang Kristen bukan hanya tidak menyembah Allah, melainkan tidak juga mengerti konsep yang benar tentang penyembahan kepada Allah. Kebanyakan orang memiliki konsep yang terbatas tentang penyembahan yaitu hanya terbatas pada saat selesai menyanyikan suatu lagu dalam ibadah. Itu memang benar, tetapi konsep penyembahan yang dimaksudkan dalam Alkitab mencakup pengertian yang sangat luas.

Kita telah mempelajari berbagai hal dogmatis maupun praktis berhubungan dengan penyembahan, namun penyembahan bukanlah penyembahan jika kita belum melakukannya. Penyembahan bukan untuk diselidiki, dipahami atau diajarkan kepada orang lain, melainkan untuk dilakukan. Penyembahan tidak dapat dipahami secara tuntas, melainkan harus dialami sendiri. Pada bagian tetakhir ini kita bersiap-siap mengalami keintiman dengan Allah dalam penyembahan. Oleh sebab itu kita harus menjadikan penyembahan sebagai gaya hidup kita.

 

1.      Penyembahan Seluruh Hidup

Telah disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa penyembahan melibatkan semua aspek dalam kehidupan kita, maka pada bagian ini kita akan belajar menyembah Allah dengan seluruh kehidupan kita. Dalam Roma 12:1 Paulus menasihatkan: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Setelah menjelaskan sepanjang 11 pasal tentang karya Allah, maka pada pembukaan pasal 12 Paulus menasihatkan supaya kita mempersembahkan tubuh kita kepada Allah, karena Kristus telah menyelamatkan kita.

Bahasa yang dipakai Paulus pada ayat  ini diambil dari Perjanjian Lama, di mana orang-orang Israel memberikan persembahan kurban kepada Allah. Tetapi bagi kita orang-orang yang telah ditebus tuntutan penyembahan yang terutama adalah mempersembahkan diri kita sendiri dengan tubuh sebagai korban yang hidup, kudus dan pantas. Maksudnya adalah kita melakukan pelayanan rohani yang melibatkan kemampuan nalar kita, yaitu seluruh hidup kita. Dengan kata lain, kita menyadari bahwa kehidupan yang kita jalani sekarang bukanlah kehidupan untuk ego kita sendiri, melainkan kehidupan untuk memuliakan Allah. Maka dengan demikian tiap-tiap segi kehidupan kita harus dijadikan suatu penyembahan yang menyenangkan hati Allah.

Konsep yang sama telah disinggung Paulus pada pasal sebelumnya, “Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran” (Rm. 6:13). Keselamatan yang dianugerahkan Allah menjadikan kita milik-Nya. Dengan demikian, maka kita menjadi hamba Allah, hamba kebenaran, untuk melakukan seluruh kehendak Allah. Tujuan tertinggi dari kehidupan kita adalah memuliakan Allah.

Pada bagian lain kita dinasihatkan oleh Petrus dengan menuliskan: “Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah” (1 Ptr. 2:5). Isu penting dalam pernyataan ini adalah bahwa orang-orang percaya diinstruksikan untuk mempersembahkan persembahan rohani, yaitu kehidupan yang penuh dengan cerminan Kristus. Kita harus hidup dalam kebenaran dan menyatakannya melalui cara hidup kita di dunia ini.

Dalam menjalani kehidupan kita sebagai orang Kristen, kita sering terjebak dengan kemegahan dan semua yang dikejar oleh orang-orang sekuler. Dengan demikian bukan tidak mungkin kita harus berjuang melawan keinginan daging kita untuk kembali kepada Allah. Kita harus mengingat bahwa setiap segi kehidupan kita harus dijadikan alat kemuliaan Allah. Ada nilai yang harus dibayar dalam penyembahan seluruh hidup, sebagaimana harus kita harus mempersembahkan korban, yang memang terkadang menyakitkan.

Setelah menyelesaiakan studi di Sekolah Teologi, saya memasuki ladang pelayanan yang sesungguhnya. Alangkah terkejutnya saya ketika saya harus menghadapi berbagai dilema, antara melakukan yang satu atau menuruti yang lain. Dalam menjalani pelayanan itu, tidak jarang kami mengalami kesulitan, sampai pada kesulitan kebutuhan primer. Persembahan kasih (gaji) saya jauh dari kata cukup.

Jemaat tidak terlalu banyak tahu apa yang kerap kami gumulkan. Yang dituntut dari kami adalah pelayanan yang sesuai dengan tuntutan gereja. Kerap kali dalam pelayanan itu kami menjadi korban perasaan selain telah mengorbankan segala-galanya, seperti tenaga, waktu dan pikiran. Ada kalanya saya harus mengabaikan kebutuhan makanan anak-anak karena tuntutan pelayan. Melalui proses pembelajaran dalam pengalaman dan pergumulan dalam persekutuan dengan Tuhan, kami menemukan kebenaran bahwa memang itulah konsekwensi kehidupan melayani Tuhan. Kami harus bersedia mengorbankan banyak hal sebagai wujud penyembahan kami.

Orang Kristen sejati adalah orang yang sungguh telah mengalami anugerah Allah. Oleh pengalaman itu, maka ia berkomitmen untuk mengikut Tuhan seumur hidup. Kita perlu meninggalkan segala sesuatu dan mengorbankan seluruh hidup kita sebagai penyembahan kepada Allah. Tuhan Yesus telah memberikan teladan sempurna bagi kita bagaimana mengabdikan diri untuk kemuliaan Allah. Oleh karena itu Tuhan menghendaki kita mengabdikan diri dalam kehidupan yang beribadah, melayani, berkorban dan mengabarkan Injil sampai menerima panggilan menjadi martir. Dengan kita mengorbankan segala-galanya dan berusaha mengarahkan tujuan hidup kita untuk memuliakan Allah, maka itulah penyembahan seluruh hidup.

 

2.      Penyembahan Melalui Sikap-sikap

Penyembahan dimulai dari komitmen untuk mengabdikan diri kepada Allah, dan kemudian harus dipertunjukkan melalui tindakan keseharian kita. Pada bab sebelumnya kita telah membahas bagaimana cara hidup sebagai seorang penyembah. Pada bagian ini kita belajar mengabdikan diri kepada Allah secara lebih praktis. Pola atau teladan utama kita adalah Tuhan Yesus Kristus. Kita juga dapat belajar melalui perenungan Kitab Suci supaya kita dapat menyembah Allah melalui sikap-sikap kita.

Sikap utama yang dapat dijadikan sebagai penyembahan yang berkenan kepada Allah adalah kerendahan hati. Mungkin orang dapat mengorbankan banyak hartanya untuk mendukung kegiatan penyembahan, bahkan bersedia mengorbankan banyak dari apa yang ia mampu untuk mengikuti setiap kebaktian maupun persekutuan penyembahan lainnya. Akan tetapi hanya sedikit orang yang mampu mempertunjukkan sikap kerendahan hati. Padahal ini sangat penting dalam kehidupan seorang penyembah Allah.

Kita mungkin telah mencoba menunjukkan kerendahan hati, tetapi mungkin kita gagal mempertahankannya tatkala kita menghadapi orang-orang yang berusaha menekan kita. Pergumulan kebanyakan lulusan Sarjana Teologi dalam pelayanan di Gereja adalah bahwa mereka harus bersedia rendah hati mendengarkan pengajaran Teologi dari orang-orang yang bukan dari jurusan Teologia. Mungkin ada orang yang dikenal setia dan telah memberikan banyak sumbangan di Gereja, kemudian dipromosikan jadi pejabat atau Pendeta. Lalu  mereka mulai berkhotbah dan mengajar. Bisa dibanyangkan kedangkalan pengetahuan mereka akan teologi. Akan tetapi mahasiswa lulusan teologi harus dengan rendah hati mendengarkan bahkan mengiyakan khotbah mirip dongeng yang mereka sampaikan dari mimbar. Kenyataan itulah yang juga sering saya alami di Gereja. Memang hal itu tidak gampang, tetapi kebenaran firman Tuhan mengajarkan supaya kita jangan sombong. Sebaliknya kita harus dengan rendah hati, dan sikap rendah hati itulah yang Allah kehendaki lebih dari memperdebatkan kebenaran.

 Surat Filipi mengungkapkan keteladanan kerendahan hati dan kehambaan: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil. 2:5-8). Banyak pelajaran yang dapat diterapkan dalam keteladanan Kritus sebagai Hamba antara lain:

Pertama, sikap dan semangat kebersamaan. Dalam nasihat itu, Paulus mengajak jemaat supaya hidup bersama dalam kasih Kristus. Tidak mungkin seorang mengklaim seorang hamba yang menyembah Allah jika ia tidak memiliki semangat kebersamaan, atau mencari kepentingan diri sendiri, atau mencari pujian sendiri. Orang yang tidak mau bekerja sama dengan orang lain adalah orang yang sombong. Kebersamaan itu menguatkan kita dan mendatangkan berkat. Juga sebagai wadah di mana kita bisa saling memberi penghormatan. Sikap kebersamaan adalah wujud pengakuan akan keterbatasan kita sehingga kita membutuhkan topangan Allah dan sesama kita. Tuhan mau supaya kita hidup bersama dan bahkan itu doa Tuhan Yesus.

Kedua, rela kehilangan reputasi. Tuhan Yesus memberikan teladan kehambaan yang menyembah dengan tidak mempertahankan hak-hak ilahi-Nya. Reputasi inilah yang menjadi jerat bagi hamba-hamba Tuhan pada masa kini. Mereka mengusung konsep “Hamba Tuhan” sebagai Profesi yang sangat dihormati. Pertaruhan reputasi merupakan pengalaman keseharian kita, tetapi kita harus mampu menguasianya Dalam praktiknya, kita harus menahan emosi, menguasai dan menundukkan diri pada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan Gereja. Sesungguhnya yang dimaksudkan sebagai hamba Tuhan bukanlah dipahami sebagai pemimpin atau bos, melainkan orang yang mengabdikan dirinya untuk melayani Tuhan dan sesama orang percaya.

Ketiga, taat dan setia. Sikap taat dan setia merupakan sikap yang harus mampu dipertunjukkan oleh para penyembah Allah. Tanpa ketaatan dan kesetiaan, kita tidak mungkin dapat menyembah Allah dengan benar. Tuhan Yesus Kristus telah mempersembahkan korban yaitu diri-Nya sendiri melalui kesetiaan dan ketaatan, maka kita perlu meneladani sikap itu. Hal ini dapat diterapkan melalui ketaatan dan kestiaan kita pada semua hukum dan peraturan yang berlaku, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan firman Allah.

Pada bagian lain penulis Ibrani menyatakan suatu panggilan untuk menyembah Allah melalui sikap yang tulus, “Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni” (Ibr. 10:22). Kita harus senantiasa menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas, artinya tidak ada kemunafikan. Allah menghendaki kita menyembah-Nya bukan untuk mencari pujian atau dengan motivasi lain, melainkan dengan ketulusan.

Sikap-sikap yang berpadanan dengan keteladanan Kristus merupakan tindakan yang harus kita pertunjukkan dalam kehidupan penyembahan kita. Pada bab sebelumnya kita telah membicarakan mengenai cara hidup seorang penyembah, termasuk cara berpikir, cara bergaul dengan orang lain, cara dan etika kerja kita dan telebih-lebih cara kita beribadah. Banyak orang bersikukuh melakukan penyembahan tetapi mengabaikan sikap. Akhirnya yang terjadi adalah banyak pertentangan di antara sesama anggota jemaat. Allah tidak menghendaki kekacauan. Allah menginginkan kita mempertunjukkan sikap yang baik dan benar.

Pola pikir kita harus benar, interaksi kita dengan orang lain harus tulus tanpa sakit hati, tanpa dendam dan saling memaafkan. Demikian juga dengan kata-kata dan bicara kita. Kita harus memperkatakan kebenaran. Perkataan kita harus membangun orang lain dan menyenangkan hati Allah. Kita harus memastikan bahwa setiap sikap dan tindakan kita menyenangkan hati Allah. Kita harus menyembah Allah melalui sikap-sikap yang berkenan kepada-Nya.

 

 

 

 

3.      Penyembahan Melalui Kesaksian Injil

Kehidupan orang-orang percaya bukanlah kehidupan yang egois, bukan hanya untuk kenikmatan sendiri. Kehidupan seorang penyembah harus terpancar ke luar dan disaksikan oleh dunia. Penyembahan yang lebih sempurna melibatkan pemberitaan Injil kepada orang lain. Kita tidak mungkin menyembah Allah tanpa memberitakan firman-Nya. Kita harus memperkatakan firman Allah dalam aktifitas penyembahan kita. Tuhan Yesus Kristus memberikan suatu perintah yang harus dilaksanankan, yaitu menjadikan semua bangsa (menjadi) murid-Nya, dengan cara memberitakan Injil. Kita menyembah Allah dengan melakukan perintah ini.

Menyaksikan Kristus secara verbal (yaitu dengan memperkatakannya) adalah suatu pekerjaan mulia yang ditugaskan kepada gereja. Dalam Kisah Para Rasul dilaporkan bahwa Petrus dan Yohanes menjawab larangan-larangan Mahkamah Agama dengan pernyataan “Tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar” (Kis. 4:20). Pernyataan senada juga dinyatakan oleh Paulus “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor. 9:16). Tidak seorangpun dari kita sebagai pengikut Yesus dapat melepaskan diri dari amanat-Nya itu. Hal ini berlaku pada waktu itu, dan tetap berlaku sampai pada hari ini juga.

Penyembahan dengan memberitakan Injil harus menjadi gaya hidup bagi setiap orang yang percaya pada Yesus. Sebelum selesai segala karya-Nya Tuhan Yesus pernah mengatakan kepada semua pengikut-Nya “kamu adalah garam dunia” dan “kamu adalah terang dunia” (Mat. 5:13-16). Dalam hal ini tersirat dengan jelas misi kedatangan Kristus ke dunia dan sekaligus menjadi misi gereja, yaitu memproklamirkan pancaran Kristus dalam kehidupan keseharian orang percaya.

Bersaksi sebagai gaya hidup penyembahan adalah menceritakan kepada orang lain apa yang telah Tuhan Yesus lakukan dalam kehidupannya. Kesempatan untuk bersaksi dapat terjadi kapanpun dan di manapun dalam kehidupan kita. Hal ini dapat dimulai dengan menceritakan Kristus kepada sahabat, keluarga yang belum percaya Yesus, tetangga, masyarakat dan di lingkungan tempat kerja. Hubungan-hubungan yang kita jalin dengan baik dapat menjadi sarana yang tepat untuk  menyaksikan Kristus kepada orang lain. Dangan demikian maka benar-benar penginjilan atau kesaksian menjadi sebuah gaya hidup kita sebagai para penyembah Allah.

Kita menyembah Allah dengan seluruh keberadaan kita. Dari apa yang telah kita pelajari dan telah kita teliti dari seluruh ayat-ayat Kitab Suci, maka kita hidup sebagaimana kita ada sekarang untuk kemuliaan Allah, bukan untuk yang lain, bukan juga untuk diri kita sendiri. Sementara kita mengabdikan diri kita untuk kemuliaan Allah, kita akan menemukan sumber sukacita tiada tara yang asalnya dari Allah. Melalui gaya hidup penyembahan, kita juga akan menemukan arti kehidupan yang melimpah dan indahnya persekutuan dengan Allah dan Tuhan kita Yesus Kristus.

Oleh: Hasrat P, Nazara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar