Penyembahan Sebagai Cara Hidup
Sudah sepantasnya penyembahan menjadi suatu cara hidup
orang percaya. Tetapi sayang kebanyakan orang Kristen bukan hanya tidak
menyembah Allah, melainkan tidak juga mengerti konsep yang benar tentang
penyembahan kepada Allah. Kebanyakan orang memiliki konsep yang terbatas
tentang penyembahan yaitu hanya terbatas
pada saat selesai menyanyikan suatu
lagu dalam ibadah. Itu memang benar, tetapi konsep penyembahan yang dimaksudkan
dalam Alkitab mencakup pengertian
yang sangat luas.
Kita telah mempelajari berbagai hal dogmatis maupun
praktis berhubungan dengan penyembahan, namun penyembahan bukanlah penyembahan
jika kita belum melakukannya. Penyembahan bukan untuk diselidiki, dipahami atau
diajarkan kepada orang lain, melainkan untuk dilakukan. Penyembahan tidak dapat
dipahami secara tuntas, melainkan harus dialami sendiri. Pada bagian tetakhir
ini kita bersiap-siap mengalami keintiman dengan Allah dalam penyembahan. Oleh
sebab itu kita harus menjadikan penyembahan sebagai gaya hidup kita.
1. Penyembahan Seluruh Hidup
Telah
disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa penyembahan melibatkan semua aspek
dalam kehidupan kita, maka pada bagian ini kita akan belajar menyembah Allah
dengan seluruh kehidupan kita. Dalam Roma 12:1 Paulus menasihatkan: “Karena
itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu
mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang
berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Setelah menjelaskan
sepanjang 11 pasal tentang karya Allah, maka pada pembukaan pasal 12 Paulus
menasihatkan supaya kita mempersembahkan tubuh kita kepada Allah, karena
Kristus telah menyelamatkan kita.
Bahasa
yang dipakai Paulus pada ayat ini
diambil dari Perjanjian Lama, di mana orang-orang Israel memberikan persembahan
kurban kepada Allah. Tetapi bagi kita orang-orang yang telah ditebus tuntutan
penyembahan yang terutama adalah mempersembahkan diri kita sendiri dengan tubuh
sebagai korban yang hidup, kudus dan pantas. Maksudnya adalah kita melakukan
pelayanan rohani yang melibatkan kemampuan nalar kita, yaitu seluruh hidup
kita. Dengan kata lain, kita menyadari bahwa kehidupan yang kita jalani
sekarang bukanlah kehidupan untuk ego kita sendiri, melainkan kehidupan untuk
memuliakan Allah. Maka dengan demikian tiap-tiap segi kehidupan kita harus
dijadikan suatu penyembahan yang menyenangkan hati Allah.
Konsep
yang sama telah disinggung Paulus pada pasal sebelumnya, “Dan janganlah kamu
menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata
kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang
dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota
tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran” (Rm. 6:13).
Keselamatan yang dianugerahkan Allah menjadikan kita milik-Nya. Dengan
demikian, maka kita menjadi hamba Allah, hamba kebenaran, untuk melakukan
seluruh kehendak Allah. Tujuan tertinggi dari kehidupan kita adalah memuliakan
Allah.
Pada
bagian lain kita dinasihatkan oleh Petrus dengan menuliskan: “Dan biarlah kamu juga
dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi
suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus
Kristus berkenan kepada Allah” (1 Ptr. 2:5). Isu penting dalam pernyataan ini
adalah bahwa orang-orang percaya diinstruksikan untuk mempersembahkan
persembahan rohani, yaitu kehidupan yang penuh dengan cerminan Kristus. Kita
harus hidup dalam kebenaran dan menyatakannya melalui cara hidup kita di dunia
ini.
Dalam menjalani
kehidupan kita sebagai orang Kristen, kita sering terjebak dengan kemegahan dan
semua yang dikejar oleh orang-orang sekuler. Dengan demikian bukan tidak
mungkin kita harus berjuang melawan keinginan daging kita untuk kembali kepada
Allah. Kita harus mengingat bahwa setiap segi kehidupan kita harus dijadikan
alat kemuliaan Allah. Ada nilai yang harus dibayar dalam penyembahan seluruh
hidup, sebagaimana harus kita harus mempersembahkan korban, yang memang
terkadang menyakitkan.
Setelah menyelesaiakan
studi di Sekolah Teologi, saya memasuki ladang pelayanan yang sesungguhnya.
Alangkah terkejutnya saya ketika saya harus menghadapi berbagai dilema, antara
melakukan yang satu atau menuruti yang lain. Dalam menjalani pelayanan itu,
tidak jarang kami mengalami kesulitan, sampai pada kesulitan kebutuhan primer.
Persembahan kasih (gaji) saya jauh dari kata cukup.
Jemaat tidak terlalu
banyak tahu apa yang kerap kami gumulkan. Yang dituntut dari kami adalah
pelayanan yang sesuai dengan tuntutan gereja. Kerap kali dalam pelayanan itu
kami menjadi korban perasaan selain telah mengorbankan segala-galanya, seperti
tenaga, waktu dan pikiran. Ada kalanya saya harus mengabaikan kebutuhan makanan
anak-anak karena tuntutan pelayan. Melalui proses pembelajaran dalam pengalaman
dan pergumulan dalam persekutuan dengan Tuhan, kami menemukan kebenaran bahwa
memang itulah konsekwensi kehidupan melayani Tuhan. Kami harus bersedia
mengorbankan banyak hal sebagai wujud penyembahan kami.
Orang Kristen sejati
adalah orang yang sungguh telah mengalami anugerah Allah. Oleh pengalaman itu,
maka ia berkomitmen untuk mengikut Tuhan seumur hidup. Kita perlu meninggalkan
segala sesuatu dan mengorbankan seluruh hidup kita sebagai penyembahan kepada
Allah. Tuhan Yesus telah memberikan teladan sempurna bagi kita bagaimana
mengabdikan diri untuk kemuliaan Allah. Oleh karena itu Tuhan menghendaki kita
mengabdikan diri dalam kehidupan yang beribadah, melayani, berkorban dan
mengabarkan Injil sampai menerima panggilan menjadi martir. Dengan kita
mengorbankan segala-galanya dan berusaha mengarahkan tujuan hidup kita untuk
memuliakan Allah, maka itulah penyembahan seluruh hidup.
2.
Penyembahan Melalui Sikap-sikap
Penyembahan
dimulai dari komitmen untuk mengabdikan diri kepada Allah, dan kemudian harus
dipertunjukkan melalui tindakan keseharian kita. Pada bab sebelumnya kita telah
membahas bagaimana cara hidup sebagai seorang penyembah. Pada bagian ini kita
belajar mengabdikan diri kepada Allah secara lebih praktis. Pola atau teladan
utama kita adalah Tuhan Yesus Kristus. Kita juga dapat belajar melalui
perenungan Kitab Suci supaya kita dapat menyembah Allah melalui sikap-sikap
kita.
Sikap
utama yang dapat dijadikan sebagai penyembahan yang berkenan kepada Allah adalah
kerendahan hati. Mungkin orang dapat mengorbankan banyak hartanya untuk
mendukung kegiatan penyembahan, bahkan bersedia mengorbankan banyak dari apa
yang ia mampu untuk mengikuti setiap kebaktian maupun persekutuan penyembahan
lainnya. Akan tetapi hanya sedikit orang yang mampu mempertunjukkan sikap
kerendahan hati. Padahal ini sangat penting dalam kehidupan seorang penyembah
Allah.
Kita
mungkin telah mencoba menunjukkan kerendahan hati, tetapi mungkin kita gagal
mempertahankannya tatkala kita menghadapi orang-orang yang berusaha menekan
kita. Pergumulan kebanyakan lulusan Sarjana Teologi dalam pelayanan di Gereja
adalah bahwa mereka harus bersedia rendah hati mendengarkan pengajaran Teologi
dari orang-orang yang bukan dari jurusan Teologia. Mungkin ada orang yang
dikenal setia dan telah memberikan banyak sumbangan di Gereja, kemudian
dipromosikan jadi pejabat atau Pendeta. Lalu mereka mulai berkhotbah dan mengajar. Bisa
dibanyangkan kedangkalan pengetahuan mereka akan teologi. Akan tetapi mahasiswa
lulusan teologi harus dengan rendah hati mendengarkan bahkan mengiyakan khotbah
mirip dongeng yang mereka sampaikan dari mimbar. Kenyataan itulah yang juga
sering saya alami di Gereja. Memang hal itu tidak gampang, tetapi kebenaran
firman Tuhan mengajarkan supaya kita jangan sombong. Sebaliknya kita harus
dengan rendah hati, dan sikap rendah hati itulah yang Allah kehendaki lebih
dari memperdebatkan kebenaran.
Surat Filipi mengungkapkan keteladanan
kerendahan hati dan kehambaan: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh
pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun
dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik
yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan
mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam
keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil. 2:5-8). Banyak pelajaran yang dapat
diterapkan dalam keteladanan Kritus sebagai Hamba antara lain:
Pertama,
sikap dan semangat kebersamaan. Dalam nasihat itu, Paulus mengajak jemaat
supaya hidup bersama dalam kasih Kristus. Tidak mungkin seorang mengklaim
seorang hamba yang menyembah Allah jika ia tidak memiliki semangat kebersamaan,
atau mencari kepentingan diri sendiri, atau mencari pujian sendiri. Orang yang
tidak mau bekerja sama dengan orang lain adalah orang yang sombong. Kebersamaan
itu menguatkan kita dan mendatangkan berkat. Juga sebagai wadah di mana kita
bisa saling memberi penghormatan. Sikap kebersamaan adalah wujud pengakuan akan
keterbatasan kita sehingga kita membutuhkan topangan Allah dan sesama kita.
Tuhan mau supaya kita hidup bersama dan bahkan itu doa Tuhan Yesus.
Kedua, rela kehilangan reputasi. Tuhan Yesus
memberikan teladan kehambaan yang menyembah dengan tidak mempertahankan hak-hak
ilahi-Nya. Reputasi inilah yang menjadi jerat bagi hamba-hamba Tuhan pada masa
kini. Mereka mengusung konsep “Hamba Tuhan” sebagai Profesi yang sangat
dihormati. Pertaruhan reputasi merupakan pengalaman keseharian kita, tetapi
kita harus mampu menguasianya Dalam praktiknya, kita harus menahan emosi,
menguasai dan menundukkan diri pada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan
Gereja. Sesungguhnya yang dimaksudkan sebagai hamba Tuhan bukanlah dipahami sebagai
pemimpin atau bos, melainkan orang yang mengabdikan dirinya untuk melayani
Tuhan dan sesama orang percaya.
Ketiga, taat dan setia. Sikap taat dan setia
merupakan sikap yang harus mampu dipertunjukkan oleh para penyembah Allah. Tanpa
ketaatan dan kesetiaan, kita tidak mungkin dapat menyembah Allah dengan benar.
Tuhan Yesus Kristus telah mempersembahkan korban yaitu diri-Nya sendiri melalui
kesetiaan dan ketaatan, maka kita perlu meneladani sikap itu. Hal ini dapat
diterapkan melalui ketaatan dan kestiaan kita pada semua hukum dan peraturan
yang berlaku, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan firman Allah.
Pada bagian lain penulis Ibrani menyatakan suatu
panggilan untuk menyembah Allah melalui sikap yang tulus, “Karena itu marilah
kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang
teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan
tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni” (Ibr. 10:22). Kita harus
senantiasa menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas, artinya tidak ada
kemunafikan. Allah menghendaki kita menyembah-Nya bukan untuk mencari pujian
atau dengan motivasi lain, melainkan dengan ketulusan.
Sikap-sikap yang berpadanan dengan keteladanan
Kristus merupakan tindakan yang harus kita pertunjukkan dalam kehidupan
penyembahan kita. Pada bab sebelumnya kita telah membicarakan mengenai cara
hidup seorang penyembah, termasuk cara berpikir, cara bergaul dengan orang
lain, cara dan etika kerja kita dan telebih-lebih cara kita beribadah. Banyak
orang bersikukuh melakukan penyembahan tetapi mengabaikan sikap. Akhirnya yang
terjadi adalah banyak pertentangan di antara sesama anggota jemaat. Allah tidak
menghendaki kekacauan. Allah menginginkan kita mempertunjukkan sikap yang baik
dan benar.
Pola pikir kita harus
benar, interaksi kita dengan orang lain harus tulus tanpa sakit hati, tanpa
dendam dan saling memaafkan. Demikian juga dengan kata-kata dan bicara kita.
Kita harus memperkatakan kebenaran. Perkataan kita harus membangun orang lain
dan menyenangkan hati Allah. Kita harus memastikan bahwa setiap sikap dan
tindakan kita menyenangkan hati Allah. Kita harus menyembah Allah melalui
sikap-sikap yang berkenan kepada-Nya.
3.
Penyembahan Melalui Kesaksian Injil
Kehidupan
orang-orang percaya bukanlah kehidupan yang egois, bukan hanya untuk kenikmatan
sendiri. Kehidupan seorang penyembah harus terpancar ke luar dan disaksikan
oleh dunia. Penyembahan yang lebih sempurna melibatkan pemberitaan Injil kepada
orang lain. Kita tidak mungkin menyembah Allah tanpa memberitakan firman-Nya.
Kita harus memperkatakan firman Allah dalam aktifitas penyembahan kita. Tuhan
Yesus Kristus memberikan suatu perintah yang harus dilaksanankan, yaitu
menjadikan semua bangsa (menjadi) murid-Nya, dengan cara memberitakan Injil.
Kita menyembah Allah dengan melakukan perintah ini.
Menyaksikan
Kristus secara verbal (yaitu dengan memperkatakannya) adalah suatu pekerjaan
mulia yang ditugaskan kepada gereja. Dalam Kisah Para Rasul dilaporkan bahwa
Petrus dan Yohanes menjawab larangan-larangan Mahkamah Agama dengan pernyataan
“Tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami
lihat dan yang telah kami dengar” (Kis. 4:20). Pernyataan senada juga
dinyatakan oleh Paulus “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil” (1
Kor. 9:16). Tidak seorangpun dari kita sebagai pengikut Yesus dapat melepaskan diri dari
amanat-Nya itu. Hal ini berlaku pada waktu itu, dan tetap berlaku sampai pada
hari ini juga.
Penyembahan
dengan memberitakan Injil harus menjadi gaya hidup bagi setiap orang yang
percaya pada Yesus. Sebelum selesai segala karya-Nya Tuhan Yesus pernah
mengatakan kepada semua pengikut-Nya “kamu adalah garam dunia” dan “kamu adalah
terang dunia” (Mat. 5:13-16). Dalam hal ini tersirat dengan jelas misi kedatangan
Kristus ke dunia dan sekaligus menjadi misi gereja, yaitu memproklamirkan
pancaran Kristus dalam kehidupan keseharian orang percaya.
Bersaksi
sebagai gaya hidup penyembahan adalah menceritakan kepada orang lain apa yang
telah Tuhan Yesus lakukan dalam kehidupannya. Kesempatan untuk bersaksi dapat
terjadi kapanpun dan di manapun dalam kehidupan kita. Hal ini dapat dimulai
dengan menceritakan Kristus kepada sahabat, keluarga yang belum percaya Yesus,
tetangga, masyarakat dan di lingkungan tempat kerja. Hubungan-hubungan yang
kita jalin dengan baik dapat menjadi sarana yang tepat untuk menyaksikan Kristus kepada orang lain. Dangan
demikian maka benar-benar penginjilan atau kesaksian menjadi sebuah gaya hidup
kita sebagai para penyembah Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar