Penyembahan dan Nyanyian Pujian dalam Liturgi Ibadah
Nyanyian
pujian merupakan salah satu unsur utama dalam liturgi ibadah. Seseorang akan
mengekspresikan ucapan bibir yang memuliakan nama Tuhan melalui nyanyian. Oleh
karenanya maka lagu-lagu yang dinyanyikan dalam ibadah bukan hanya berdasarkan
ketenaran atau keindahannya, melainkan isi dan makna yang terkandung dalam
setiap syairnya harus berisikan pengagungan kepada Allah. Nyanyian dalam suatu
kebaktian tidak patut ditujukan untuk kemuliaan yang lain, melainkan hanya
untuk kemuliaan Tuhan.
Pada
bagian ini, saya tidak bermaksud menguraikan berbagai hal yang berhubungan
dengan nyanyian dalam suatu ibadah. Saya hanya mengingatkan akan hubungan yang
erat antara penyebahan dan nyanyian. Yang saya maksudkan adalah bahwa banyak
nyanyian yang populer dalam gereja pada masa kini diciptakan bukan dengan
tujuan kemuliaan Tuhan, tetapi lebih bertujuan sebagai penghiburan pribadi,
untuk meyakinkan jemaat bahwa Allah akan memberikan pertolongan. Kalau
diperhatikan liriknya, maka kebanyakan isi lagu-lagu yang populer itu bukan
memuliakan Tuhan, tetapi meminta Tuhan menolong; bukan juga ucapan syukur yang
memuliakan nama Tuhan, melainkan mengklaim janji-janji Tuhan; bukan berisi
komitmen untuk taat dan setia kepada Tuhan, melainkan mengharap Tuhan melakukan
semua yang diinginkan jemaat. Dengan demikian maka nyanyian penyembahan bukan
lagi penyembahan melainkan pemaksaan, memaksa Tuhan melakukan apa yang kita
inginkan.
Pada
hakikatnya, lirik dalam sebuah lagu harus berisikan ucapan syukur, sebuah
komitmen dan tujuannya mengagungkan Nama dan Pribadi Allah. Berdasarkan
kebenaran ini, maka lagu-lagu yang dipilih dalam ibadah harus berkenaan dengan
hal itu. Untuk menyortir lagu-lagu yang dinyanyikan dalam Gereja, maka ada
beberapa denominasi Gereja membentuk tim untuk menentukan lagu-lagu yang pantas
untuk dinyanyikan dalam Gereja. Maka ada buku-buku nyanyian seperti “Kidung
Jemaat” dan sebagainya. Tetapi sayang, banyak Gereja Kharismatik yang tidak
memiliki patokan, sehingga tidak sedikit dari lagu-lagu yang dinyanyikan itu
pada hakikatnya tidak memuliakan Allah.
Dalam
Perjanjian Lama, kita melihat bahwa nyanyian itu sangat sentral dalam
penyembahan. Maka Allah memakai beberapa orang untuk menciptakan lagu-lagu
“Mazmur” untuk dinyanyikan oleh umat Tuhan dalam ibadah. Pada zaman Raja-raja,
kita memperoleh informasi bahwa para penyanyi bersama para pemain musik
mendapat tugas untuk memimpin puji-pujian kepada Allah. Lalu para peniup nafiri
dan para penyanyi itu serentak memperdengarkan paduan suaranya untuk
menyanyikan puji-pujian dan syukur kepada TUHAN. Mereka menyaringkan suara
dengan nafiri, ceracap dan alat-alat musik sambil memuji TUHAN dengan ucapan:
"Sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya" (2
Taw. 5:12).
Demikian
halnya juga dalam Perjanjian Baru, nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan oleh
orang-orang percaya dalam sinagoge dipakai sebagai pengungkapan kesukaan dalam
Kristus, juga untuk pengajaran (band. Kol. 3:16). Nyanyian dalam ibadah harus
bertujuan penyembahan. Jika tidak maka ibadah hanya sebuah kegiatan keagamaan
tanpa kehadiran tahta Allah.
Pada
prinsipnya lagu-lagu dalam liturgi ibadah tidak dibedakan, namun dalam
Gereja-gereja Kharismatik, ada nyanyian yang disebut sebagai nyanyian
penyembahan dan ada nyanyian yang dianggap sebagai puji-pujian. Biasanya
nyanyian penyembahan memiliki alunan musik dan irama yang lembut atau
melankolis, lagu-lagu sedih dan sebagainya. Sedangkan lagu puji-pujian adalah
lagu-lagu dengan irama yang cepat dan keras, dan biasanya isinya kesukaan.
Pujian biasanya bersifat umum yang tampak ke luar, tetapi penyembahan lebih
bersifat khusus, intim dengan Tuhan, dan tidak terlalu tampak dari luar.
Bagaimanapun juga isi dari nyanyian baik pujian maupun penyembahan harus
memuliakan Allah.
Merajalelanya
lagu-lagu baru yang isi dan pesannya tidak dapat dipertanggungjawabkan bisa
terjadi karena kesalahan menafsirkan apa yang diungkapkan oleh pemazmur
“Nyanyikanlah naynyian baru” (Maz. 33:3; 40:4; 96:1). Maka banyak orang-orang
Kristen membeli kaset lagu-lagu rohani baru yang kemudian dinyanyikan dalam
Gereja. Tidak peduli entah isinya memuliakan Allah atau tidak, yang penting
lagunya enak didengar. Sesungguhnya isu utama yang dimaksudkan oleh pemazmur
dalam “Nyanyian baru” adalah hati yang baru dari penyanyinya. Hati penyanyinya
haruslah hati yang selalu baru, artinya keadaan hidup yang terus diperbaharui
oleh Allah.
Oleh
sebab itu, jemaat yang mengikuti sebuah ibadah harus bernnyanyi untuk
memuliakan Allah. Nyanyian itu terutama untuk mengungkapkan rasa syukur atas
pembaharuan yang telah dilakukan Allah bagi kita. Dengan cara itu maka apapun
lagu yang kita nyanyikan menjadi suatu lagu baru dengan susana hati yang baru,
terus menerus diperbaharui oleh Allah.
Sedikit
menyinggung tentang “penyembahan” dalam pandangan Kharismatik. Dalam liturgi
ini, penyembahan biasanya dipahami sebagai nyanyian yang dilantunkan secara
spontan oleh masing-masing orang, biasanya diekspresikan dengan menangis,
berbahasa roh, dan berbagai manifestasi lainnya. Pada umumnya acara ini
berlangsung sesaat setelah menyanyikan “lagu-lagu penyembahan.” Pada kesempatan
ini jemaat diberikan kesempatan untuk menguycap sukur dan menyatakan segala isi
hati kepada Tuhan. Penyembahan semacam ini tidak terdapat dalam liturgi gereja
Protestan. Bagaimanapun juga sejauh jemaat mengekspresikan pemujaan, ucapan
syukur, maka hal itu tidaklah bertentangan dengan kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar