Senin, 05 September 2022

Penyembahan dan Nyanyian Pujian

 Penyembahan dan Nyanyian Pujian dalam  Liturgi Ibadah

Nyanyian pujian merupakan salah satu unsur utama dalam liturgi ibadah. Seseorang akan mengekspresikan ucapan bibir yang memuliakan nama Tuhan melalui nyanyian. Oleh karenanya maka lagu-lagu yang dinyanyikan dalam ibadah bukan hanya berdasarkan ketenaran atau keindahannya, melainkan isi dan makna yang terkandung dalam setiap syairnya harus berisikan pengagungan kepada Allah. Nyanyian dalam suatu kebaktian tidak patut ditujukan untuk kemuliaan yang lain, melainkan hanya untuk kemuliaan Tuhan.

Pada bagian ini, saya tidak bermaksud menguraikan berbagai hal yang berhubungan dengan nyanyian dalam suatu ibadah. Saya hanya mengingatkan akan hubungan yang erat antara penyebahan dan nyanyian. Yang saya maksudkan adalah bahwa banyak nyanyian yang populer dalam gereja pada masa kini diciptakan bukan dengan tujuan kemuliaan Tuhan, tetapi lebih bertujuan sebagai penghiburan pribadi, untuk meyakinkan jemaat bahwa Allah akan memberikan pertolongan. Kalau diperhatikan liriknya, maka kebanyakan isi lagu-lagu yang populer itu bukan memuliakan Tuhan, tetapi meminta Tuhan menolong; bukan juga ucapan syukur yang memuliakan nama Tuhan, melainkan mengklaim janji-janji Tuhan; bukan berisi komitmen untuk taat dan setia kepada Tuhan, melainkan mengharap Tuhan melakukan semua yang diinginkan jemaat. Dengan demikian maka nyanyian penyembahan bukan lagi penyembahan melainkan pemaksaan, memaksa Tuhan melakukan apa yang kita inginkan.

Pada hakikatnya, lirik dalam sebuah lagu harus berisikan ucapan syukur, sebuah komitmen dan tujuannya mengagungkan Nama dan Pribadi Allah. Berdasarkan kebenaran ini, maka lagu-lagu yang dipilih dalam ibadah harus berkenaan dengan hal itu. Untuk menyortir lagu-lagu yang dinyanyikan dalam Gereja, maka ada beberapa denominasi Gereja membentuk tim untuk menentukan lagu-lagu yang pantas untuk dinyanyikan dalam Gereja. Maka ada buku-buku nyanyian seperti “Kidung Jemaat” dan sebagainya. Tetapi sayang, banyak Gereja Kharismatik yang tidak memiliki patokan, sehingga tidak sedikit dari lagu-lagu yang dinyanyikan itu pada hakikatnya tidak memuliakan Allah.

Dalam Perjanjian Lama, kita melihat bahwa nyanyian itu sangat sentral dalam penyembahan. Maka Allah memakai beberapa orang untuk menciptakan lagu-lagu “Mazmur” untuk dinyanyikan oleh umat Tuhan dalam ibadah. Pada zaman Raja-raja, kita memperoleh informasi bahwa para penyanyi bersama para pemain musik mendapat tugas untuk memimpin puji-pujian kepada Allah. Lalu para peniup nafiri dan para penyanyi itu serentak memperdengarkan paduan suaranya untuk menyanyikan puji-pujian dan syukur kepada TUHAN. Mereka menyaringkan suara dengan nafiri, ceracap dan alat-alat musik sambil memuji TUHAN dengan ucapan: "Sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya" (2 Taw. 5:12).

Demikian halnya juga dalam Perjanjian Baru, nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan oleh orang-orang percaya dalam sinagoge dipakai sebagai pengungkapan kesukaan dalam Kristus, juga untuk pengajaran (band. Kol. 3:16). Nyanyian dalam ibadah harus bertujuan penyembahan. Jika tidak maka ibadah hanya sebuah kegiatan keagamaan tanpa kehadiran tahta Allah.

Pada prinsipnya lagu-lagu dalam liturgi ibadah tidak dibedakan, namun dalam Gereja-gereja Kharismatik, ada nyanyian yang disebut sebagai nyanyian penyembahan dan ada nyanyian yang dianggap sebagai puji-pujian. Biasanya nyanyian penyembahan memiliki alunan musik dan irama yang lembut atau melankolis, lagu-lagu sedih dan sebagainya. Sedangkan lagu puji-pujian adalah lagu-lagu dengan irama yang cepat dan keras, dan biasanya isinya kesukaan. Pujian biasanya bersifat umum yang tampak ke luar, tetapi penyembahan lebih bersifat khusus, intim dengan Tuhan, dan tidak terlalu tampak dari luar. Bagaimanapun juga isi dari nyanyian baik pujian maupun penyembahan harus memuliakan Allah.

Merajalelanya lagu-lagu baru yang isi dan pesannya tidak dapat dipertanggungjawabkan bisa terjadi karena kesalahan menafsirkan apa yang diungkapkan oleh pemazmur “Nyanyikanlah naynyian baru” (Maz. 33:3; 40:4; 96:1). Maka banyak orang-orang Kristen membeli kaset lagu-lagu rohani baru yang kemudian dinyanyikan dalam Gereja. Tidak peduli entah isinya memuliakan Allah atau tidak, yang penting lagunya enak didengar. Sesungguhnya isu utama yang dimaksudkan oleh pemazmur dalam “Nyanyian baru” adalah hati yang baru dari penyanyinya. Hati penyanyinya haruslah hati yang selalu baru, artinya keadaan hidup yang terus diperbaharui oleh Allah.

Oleh sebab itu, jemaat yang mengikuti sebuah ibadah harus bernnyanyi untuk memuliakan Allah. Nyanyian itu terutama untuk mengungkapkan rasa syukur atas pembaharuan yang telah dilakukan Allah bagi kita. Dengan cara itu maka apapun lagu yang kita nyanyikan menjadi suatu lagu baru dengan susana hati yang baru, terus menerus diperbaharui oleh Allah.

Sedikit menyinggung tentang “penyembahan” dalam pandangan Kharismatik. Dalam liturgi ini, penyembahan biasanya dipahami sebagai nyanyian yang dilantunkan secara spontan oleh masing-masing orang, biasanya diekspresikan dengan menangis, berbahasa roh, dan berbagai manifestasi lainnya. Pada umumnya acara ini berlangsung sesaat setelah menyanyikan “lagu-lagu penyembahan.” Pada kesempatan ini jemaat diberikan kesempatan untuk menguycap sukur dan menyatakan segala isi hati kepada Tuhan. Penyembahan semacam ini tidak terdapat dalam liturgi gereja Protestan. Bagaimanapun juga sejauh jemaat mengekspresikan pemujaan, ucapan syukur, maka hal itu tidaklah bertentangan dengan kebenaran.

Allah tidak berkenan kepada jemaat yang hanya menyanyikan suatu lagu sebagai kesenangan, tanpa memperhatikan maknanya. Allah menghendaki penyembah-Nya menyanyikan kidung puji-pujian dengan penuh kasih, penuh gairah dan roh yang hidup. Kebenaran ini menuntut Gereja untuk memilih petugas-petugas yang memimpin ibadah atau dalam bahasa Gereja tertentu “Worship Leader” (Pemimpin Pujian) yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Worship Leader (Pemimpin Pujian) yang pantas tampil di mimbar adalah orang-orang yang terbukti memiliki kesaksian hidup yang baik.

Oleh: Hasrat P. Nazara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar