Senin, 05 September 2022

PENYEMBAHAN DAN KEKUDUSAN

Penyembahan dan Kekudusan

 

Penyembahan haruslah berhiaskan kekudusan. Tanpa kekudusan, penyembahan tidak mencapai standar kehendak Allah. Penyembahan memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dari kekudusan. Kata-kata yang paling sering diucapkan dalam penyembahan adalah “Kudus, kudus, kudus” (band. Yes. 6:3; Why. 4:8). Konsep kekudusan ini dimulai dengan kekudusan Allah, kemudian kekudusan umat yang menyembah-Nya, barulah tercipta penyembahan yang berhiaskan kekudusan.

Untuk memahami penyembahan yang berhiaskan kekudusan, maka terlebih dahulu harus diungkapkan makna dari kekudusan itu sendiri. Kata Ibrani utama yang dipakai untuk kata ini adalah qadosy atau qodesy. Qados merupakan kata sifat yang berarti kudus, Pribadi yang kudus, atau orang kudus.[1] Kata Yunani untuk “kudus” dalam Perjanjian Baru adalah hagios, yang dipakai dalam beberapa hal yaitu:

1.      Untuk menyatakan keberadaan Allah yang tak tertandingi (Yes. 6:3; Why. 4:8). Ia yang duduk di atas tahta disebut Kudus, maka Ia pun layak disembah oleh semua umat tebusan-Nya.

2.      Dalam hal-hal yang dikhususkan untuk Tuhan, yaitu bahwa orang-orang yang telah menjadi milik Allah tidak boleh lagi menyerahkan diri mereka untuk kepentingan yang lain (band. Ef. 5:3).

3.      Pengorbanan dan Persembahan yang murni, tidak bercacat, dan yang terbaik, yang dikhususkan untuk Allah.

4.      Dalam hal-hal moral yaitu murni, tanpa dosa, suci, (Im. 19:2; 11:44 ; 1 Kor. 7:34; 1 Ptr . 1:16) yang juga berarti tidak ada perbantahan .

Dari etimologi baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dapat diketahui bahwa konsep kekudusan menentukan mutu penyembahan. Berdasarkan sifat kudus-Nya, Allah menuntut kekudusan dari pihak penyembah. Allah menghendaki para penyembah mengkhususkan diri dan segala yang mereka miliki untuk dipersembahkan kepada-Nya. Mengenal kekudusan Allah, mempertahankan hidup kudus, dan menyembah Allah dalam kekudusan merupakan perintah yang tidak dapat dikompromikan. Oleh sebab itu kita harus menyembah Allah dalam kekudusan-Nya.

 

1.      Kekudusan Allah

Kekudusan adalah sifat hakiki Allah. Ada banyak atribut Allah yang melekat pada diri-Nya sendiri, seperti keadilan, kasih, kebaikan, dan seterusnya, akan tetapi kekudusan merupakan bagian yang berhubungan langsung dengan penyembahan. Umat Tuhan yang menyembah harus mengetahui bahwa Allah adalah kudus, bukan hanya pada sisi moral, namun sampai pada pemahaman akan ontologi/Pribadi-Nya. Pada tingkatan yang substasial, sifat kudus ini mengacu pada sifat Allah yang tidak tercemar dan tidak terhampiri oleh makluk manapun. Istilah itu juga menunjuk kepada hubungan, dan mengandung arti ketentuan Allah untuk memelihara kedudukan-Nya sendiri terhadap makhluk-makhluk bebas lainnya. Itu adalah pengesahan Allah sendiri, sifat dalam mana Yahweh menjadikan diri-Nya sendiri ukuran mutlak bagi diri-Nya sendiri. Istilah itu tidak hanya menjelaskan perbedaan Allah dan manusia (Hos. 11:9), itu adalah sama artinya dengan “Allah yang tertinggi,” dan terutama menekankan sifat Allah yang sangat menakutkan (Maz. 99:3).[2]

Pada bagian akhir Mazmur 111:9, pemazmur menyatakan bahwa Allah itu “kudus dan dahsyat.” Seluruh perikop Mazmur 111 mengungkapkan tentang kebajikan dan perbuatan-pernuatan ajaib dari Allah.  Di antara banyak kebajikan Allah itu, dikatakan bahwa Ia benar dan adil; penuh kasih dan maha penyayang; dan terakhir disebut kudus dan ajaib. Struktur frase itu menunjukkan bahwa kekudusan Allah adalah sama dengan kedahsyatan-Nya. Oleh karenannya kekudusan Allah harus dipahami dalam persepsi yang sama dengan kedahsyatan-Nya. Kekududsan dan kedahsyatan Allah ini yang selayaknya membawa umat Allah untuk memunji-muji-Nya sebagaimana yang diutarakan pada bagian terakhir perikop itu. Kekudusan Allah adalah landasan pemujaan orang-orang percaya.

Dalam hal yang bersifat moralitas, Allah adalah standar kekudusan tertinggi. Dalam diri Allah, tidak ada dosa, tidak ada kesalahan, juga tidak ada ketidak-adilan. Semua tindakan-Nya adalah benar dan adil. Allah senang akan kebaikan dan kebenaran (Yer. 9:24). Sebaliknya Allah membenci dosa, Allah menentang kecurangan dan menghukum setiap perbuatan yang tidak benar.

Dalam Perjanjian Lama, benda-benda dan tempat-tempat dikhususkan sedemikian rupa untuk penyembahan.  Benda-benda atau tempat-tampat itu dianggap kudus bukan karena sesuatu yang dikeramatkan, melainkan karena kehadiran Allah yang dihubungkan dengan benda-benada atau temapt-tempat tersebut. Kepada Musa diberitahukan bahwa ia berdiri di tanah yang kudus karena Allah berada di sana (Kel. 3:5). Tabut Tuhan menjadi kudus dan tidak dapat didekati karena kehadiran Allah dikaitkan dengannya (1 Sam. 6:19-20; Kel. 29:43).[3] Dengan mengetahui bahwa kehadiran Allah berhubungan dengan benda-benda yang dikhususkan itu, maka umat Allah tidak boleh dengan sembarangan menghampiri atau memperlakukannya. Konsepnya adalah sama yaitu tidak boleh dengan sembarangan datang ke hadirat Allah.

Dalam Perjanjian Baru, Kristus dalam hidup dan sifat-sifat-Nya adalah teladan tertinggi kekudusan Allah. Dalam Dia keadaan kudus bahkan lebih daripada hanya tidak berdosa: itu adalah penyerahan-Nya yang seutuhnya kepada kehendak dan maksud Allah, dan untuk itu Yesus menguduskan diri-Nya sendiri (Yoh 17:19). Kekudusan Kristus adalah ukuran bagi sifat orang Kristen dan jaminannya, Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu (Ibr 2:11).[4] Jadi Yesus Krsitus adalah pancaran kekudusan Allah yang dapat kita terima. Tanpa dikuduskan oleh Kristus, kita tidak mungkin dapat menghampiri tahkata Allah yang kudus itu.

Rasul Paulus menyebut bahwa kita adalah bait Roh Kudus (1 Kor. 3:16,17; 6:19) karena Allah berdiam di dalam kita. Ini adalah suatu anugerah yang seharusnya membuat kita mengucap syukur tiada hentinya, karena Allah yang Mahakudus itu berdiam di dalam kita. Oleh karena itu, seperti nasihat Rasul Paulus, kita harus menjaga kehidupan kita sehingga tidak mencemarkannya. Kita harus senantiasa mengingat bahwa hidup kita harus dijaga seperti barang-barang kudus dalam Perjanjian Lama, yang dikhusukan untuk menyembah Allah.

Sungguh, Allah adalah kudus, dan kita sebagai umat-Nya harus memandang-Nya dengan penuh rasa hormat dan pemujaan sembari kita menjalankan kehidupan keseharian kita. Demikian juga dalam kebaktian-kebaktian yang kita ikuti, kita harus menghadap Tuhan dengan penuh rasa hormat. Seseorang yang datang beribadah dalam sebuah kebaktian, tidak boleh meremehkan kehadirat Allah, karena Allah adalah Kudus. Seseorang yang datang beribadah harus mempunyai konsep sebagai hamba yang datang ke hadapan Tuhan. Dengan demikian ia harus benar-benar menunjukkan sikap hormat sebagaimana layaknya diberikan kepada tuan, apalagi sebagai Tuhan dan Allah kita. Allah harus ditaati karena ia Kudus dan dahsyat.

 

 

2.      Kekudusan Umat Allah

Allah adalah kudus, maka umat yang menyembah-Nya pun harus kudus. Hidup dalam kekudusan merupakan syarat mutlak bagi setiap orang yang datang menghadap Allah. Allah tidak boleh dipermainkan dengan kecemaran dalam kehidupan dan penyembahan umat-Nya. Allah sungguh-sungguh murka terhadap orang yang mencemari kekudusan-Nya dengan perbuatan yang tidak benar. Maka dalam Perjanjian Lama, Allah memberitahukan cara yang benar untuk dapat bertahan di hadirat-Nya yaitu dengan mengadakan korban-korban terlebih dahulu.

Dalam Perjanjian Lama, Alkitab menunjukkan bagaimana Allah memerintahkan umat Israel supaya mempertahankan hidup kudus. Dalam Kitab Imamat, Allah menguraikan bagaimana harus hidup kudus baik dalam cara hidup, dalam berinteraksi dengan sesama dan terutama dalam tata cara beribadah. Demi kekudusan-Nya, Allah memperingatkan supaya mereka jangan melalaikan sedikitpun dari perintah-perintah itu (Im. 19:30; 20:23; 22:31-33). Orang yang melanggarnya akan menerima hukuman/murka TUHAN pada saat itu juga.

Sesungguhnya Allah menuntut umat-Nya untuk menyembah-Nya dengan cara hidup kudus. Allah tidak memperkenankan umat datang di hadapan-Nya dengan pola hidup yang masih cemar. Ada berbagai-bagai aturan untuk pentahiran dan pengudusan. Salah satunya adalah dengan mempersembahkan korban penghapus dosa dan korban penebus salah. Tanpa hal itu, seseorang tidak pantas menghadap ke hadirat Allah.

Hidup kudus merupakan tujuan dan panggilan bagi orang-orang percaya. Dalam Perjanjian Baru, berulang-ulang disebutkan bahwa kita dipilih dan ditebus supaya kita hidup kudus di hadapan Allah (band. Ef. 1:4; Kol. 1:22; 1 Tes. 4:7). Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus. Kita bukan hanya dipanggil tetapi juga dipilih, dikhususkan, disucikan, dan dipisahkan untuk menjadi suatu umat yang kudus bagi Allah (Kel. 19:6, Im. 20:26, 1 Pet. 2:9). Para penyembah Allah adalah umat yang kudus bagi Allah. oleh karena itu seorang penyembah harus mempertahankan hidup kudus.

Hidup kudus pertama-tama harus diterapkan dalam gaya hidup sehari-hari, kemudian juga harus diterapkan dalam kebaktian, ibadah dan pelayanan. Seseorang yang datang ke Gereja atau kebaktian lain, seperti persekutuan doa, atau pendalaman Alkitab harus memperhatikan kemurnian hatinya. Tanpa kemurnian hati, dalam pengertian pemberesan dosa, penyembahan seseorang menjadi tidak bermutu. Allah tidak mungkin berkenan kepada seseorang yang bernyanyi memuji-muji Tuhan atau berdoa berlama-lama sementara hatinya masih belum beres. Tidak ada tempat iri hati, dendam, atau sakit hati bagi umat Allah yang menyembah. Seorang penyembah harus membuka hati untuk mengampuni orang lain saat hendak datang ke hadirat Allah. Itulah sebabnya Tuhan Yesus menyatakan hal terpenting ini: “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu”(Mat. 5:23-24).

Pelayanan adalah penyembahan, maka seorang pelayan harus memperhatikan kemurniannya pada saat pelayanan. Pelayanan bukanlah arena untuk menampilkan kemegahan kita, melainkan mempersembahkan yang terbaik untuk kemuliaan Allah. Pelayanan juga tidak boleh diremehkan dengan begitu gampang mencemarkannya. Ada beberapa pelayan seperti pemain musik, penyanyi, atau pelayan lainnya yang bermain-main pada saat ibadah/pelayanan. Bahkan ada kesaksian yang membuktikan bahwa pada saat melayani ada beberapa pelayanan yang berpacaran, bercumbuan, bahkan berpelukan pada saat kebaktian sedang berlangsung. Pada saat yang sama juga mereka sedang melayani. Ini adalah pencemaran kekudusan umat Tuhan. Belakangan diketahui bahwa para pelayan-pelayan itu telah mengalami disiplin dari Tuhan.

Dengan memperhatikan arti kekudusan, bahwa Allah yang disembah adalah Allah Yang Kudus, dan bahwa umat yang menyembah-Nya pun harus kudus, maka seseorang yang sungguh-sungguh menyembah Tuhan harus mengkhususkan diri untuk menyenangkan dan memuliakan Allah. Dengan demikian orang percaya tidak lagi mencemarkan diri dengan memberi perhatian lebih kepada hal-hal lain (termasuk kesenangan pribadi, kepuasan dengan penampilan atau ketenaran). Tujuan utama mengikuti ibadah atau kebaktian bukan untuk mencari kepuasan, bukan untuk mendapatkan kesenangan, melainkan untuk menyenangkan Allah. Dikatakan umat kudus berarti orang-orang yang khusus bagi Allah, yaitu yang mengkhususkan diri untuk memuji-muji Allah. Inilah konsep kekudusan umat Allah dalam penyembahan.

 

3.      Penyembahan yang Berhiaskan Kekudusan

Penyembahan yang berhiaskan kekudusan merupakan hasil penyembahan dari orang-orang yang mengenal dan menghormati kekudusan Allah, dan menjaga kekudusan itu saat menghadap ke hadirat Allah. Konsep ini telah dikemukakan dalam Perjanjian Lama, “Sujudlah menyembah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan, gemetarlah di hadapan-Nya, hai segenap bumi!” (1 Taw. 16:29; Maz. 96:9). Berhiaskan kekudusan berbicara mengenai aksesoris rohani yang diperlukan dalam penyembahan. Dengan memperhatikan frasa berikutnya, maka menyembah dengan berhiaskan kekudusan berhubungan dengan sikap gemetar atau kegentaran umat yang menyembah karena Allah yang dahsyat itu.

Menurut Mac Arthur, penyembahan yang berhiaskan kekudusan yang dihubungkan dengan kegentaran di hadapan Allah merupakan konsep alkitabiah antara gagasan kekudusan Allah dengan ketakutan di pihak penyembah. Ini adalah ketakutan yang tumbuh dari pengertian ketidakberartian yang melimpah  di hadapan kekudusan yang murni.[5] Seorang penyembah yang benar datang ke hadirat Allah dalam ketakutan yang sehat, yaitu dengan sikap hormat dan takut.

Konsep ini meluas dalam Perjanjian Baru ketika penulis Ibrani mengatakan: “Jadi, karena kita menerima Kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut” (Ibr. 12:8). Rasa hormat menjelaskan kekaguman kita terhadap Pribadi Allah, dan takut menunjukkan reaksi kita atas kedahsyatan Allah yang tidak terhampiri oleh kecemaran. Dua hal ini harus menjadi aksesoris penyembahan kita sehingga layak disebut sebagai penyembahan yang berhiaskan kekudusan.

Penyembahan yang berhiaskan kekudusan membawa seseorang pada kesadaran bahwa Allah kudus dan dirinya adalah manusia yang membutuhkan penyucian Allah. Ada berbagai-bagai ekspresi untuk hal ini, seseorang bisa saja datang sujud dan menangis di hadapan Allah untuk memohon pengampunan dosa. Akan tetapi ada juga penyembahan yang diekspresikan dengan sukacita yang melimpah karena menikmati keindahan persekutuan dengan Allah dan kekudusan-Nya.

Ketika penyembahan semacam ini diterapkan di Gereja, dan dalam kebaktian-kebaktian lain, maka hadirat Allah akan menjamah setiap orang yang mengikutinya. Harus diingat bahwa penyembahan yang berhiaskan kekudusan dimulai dengan cara hidup kudus dari umat Tuhan itu yang dilandasi dengan rasa kagum dan hormat Akan Allah. Penyembahan semacam ini akan menyentuh setiap dimensi kehidupan umat Allah untuk menaikkan rasa syukur dan memuliakan Allah. Dengan demikian setiap orang akan mengalami kenikmatan tiada tara dalam penyembahan yang berhiaskan kekudusan itu.

Ada banyak orang yang mengaku tidak dapat mengalami hadirat Allah atau tidak mendapatkan apa-apa saat mengikuti kebaktian. Bahkan para pelayan juga tidak mengalaminya. Kenyataan ini perlu dikoreksi, mungkin kebaktian itu tidak menerapkan konsep kekudusan. Mungkin beberapa pelayan atau anggota jemaat yang beribadah tidak mempersiapkan diri untuk melakukan penyembahan dengan sungguh-sungguh. Bisa juga karena motivasi yang tidak murni saat datang dalam kebaktian dan penyambahan. Sesungguhnya, penyembahan yang berhiaskan kekudusan memberikan kenikmatan kepada jemaat yang dalam hal ini disertai pengorbanan dan sikap hormat akan Allah.



[1] Bible Works, ver. 7.0. Software Alkitab, Lexicon Bible, Theological Workbook of the Old Testament, 1990. [CD ROM].

[2] RAF/P dalam J.D.Douglas (ed.) Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, JIlid I, A-L (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2008), 617.

[3] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2004),  36.

[4] RAF/P dalam J.D.Douglas (ed.) Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, JIlid I, A-L (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2008), 617.

[5] John Mac Arthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung: Kalam Hidup, 2001), 102


Oleh: Hasrat P Nazara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar