Penyembahan
dan Kekudusan
Penyembahan haruslah berhiaskan kekudusan. Tanpa
kekudusan, penyembahan tidak mencapai standar kehendak Allah. Penyembahan
memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dari kekudusan. Kata-kata yang
paling sering diucapkan dalam penyembahan adalah “Kudus, kudus, kudus” (band.
Yes. 6:3; Why. 4:8). Konsep kekudusan ini dimulai dengan kekudusan Allah,
kemudian kekudusan umat yang menyembah-Nya, barulah tercipta penyembahan yang berhiaskan
kekudusan.
Untuk memahami penyembahan yang berhiaskan kekudusan,
maka terlebih dahulu harus diungkapkan makna dari kekudusan itu sendiri. Kata
Ibrani utama yang dipakai untuk kata ini adalah qadosy atau qodesy. Qados merupakan kata sifat yang berarti
kudus, Pribadi yang kudus, atau orang kudus.[1] Kata Yunani
untuk “kudus” dalam Perjanjian Baru adalah hagios,
yang dipakai dalam beberapa hal yaitu:
1. Untuk
menyatakan keberadaan Allah yang tak tertandingi (Yes. 6:3; Why. 4:8). Ia yang
duduk di atas tahta disebut Kudus, maka Ia pun layak disembah oleh semua umat
tebusan-Nya.
2. Dalam
hal-hal yang dikhususkan untuk Tuhan, yaitu bahwa orang-orang yang telah
menjadi milik Allah tidak boleh lagi menyerahkan diri mereka untuk kepentingan
yang lain (band. Ef. 5:3).
3. Pengorbanan
dan Persembahan yang murni, tidak bercacat, dan yang terbaik, yang dikhususkan
untuk Allah.
4. Dalam
hal-hal moral yaitu murni, tanpa dosa, suci, (Im. 19:2; 11:44 ; 1 Kor. 7:34; 1 Ptr . 1:16) yang juga berarti tidak ada perbantahan .
Dari etimologi baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dapat diketahui
bahwa konsep kekudusan menentukan mutu penyembahan. Berdasarkan sifat
kudus-Nya, Allah menuntut kekudusan dari pihak penyembah. Allah menghendaki
para penyembah mengkhususkan diri dan segala yang mereka miliki untuk
dipersembahkan kepada-Nya. Mengenal kekudusan Allah, mempertahankan hidup
kudus, dan menyembah Allah dalam kekudusan merupakan perintah yang tidak dapat
dikompromikan. Oleh sebab itu kita harus menyembah Allah dalam kekudusan-Nya.
1. Kekudusan Allah
Kekudusan adalah sifat hakiki Allah. Ada banyak atribut
Allah yang melekat pada diri-Nya sendiri, seperti keadilan, kasih, kebaikan,
dan seterusnya, akan tetapi kekudusan merupakan bagian yang berhubungan
langsung dengan penyembahan. Umat Tuhan yang menyembah harus mengetahui bahwa
Allah adalah kudus, bukan hanya pada sisi moral, namun sampai pada pemahaman
akan ontologi/Pribadi-Nya. Pada tingkatan yang substasial, sifat kudus ini
mengacu pada sifat Allah yang tidak tercemar dan tidak terhampiri oleh makluk
manapun. Istilah itu juga menunjuk kepada
hubungan, dan mengandung arti ketentuan Allah untuk memelihara kedudukan-Nya
sendiri terhadap makhluk-makhluk bebas lainnya. Itu adalah pengesahan Allah
sendiri, sifat dalam mana Yahweh menjadikan diri-Nya sendiri ukuran mutlak bagi
diri-Nya sendiri. Istilah itu tidak hanya menjelaskan perbedaan Allah dan
manusia (Hos. 11:9), itu adalah sama artinya dengan “Allah yang tertinggi,”
dan terutama menekankan sifat Allah yang sangat menakutkan (Maz. 99:3).[2]
Pada bagian akhir Mazmur 111:9,
pemazmur menyatakan bahwa Allah itu “kudus dan dahsyat.” Seluruh perikop Mazmur
111 mengungkapkan tentang kebajikan dan perbuatan-pernuatan ajaib dari
Allah. Di antara banyak kebajikan Allah
itu, dikatakan bahwa Ia benar dan adil; penuh kasih dan maha penyayang; dan
terakhir disebut kudus dan ajaib. Struktur frase itu menunjukkan bahwa
kekudusan Allah adalah sama dengan kedahsyatan-Nya. Oleh karenannya kekudusan
Allah harus dipahami dalam persepsi yang sama dengan kedahsyatan-Nya.
Kekududsan dan kedahsyatan Allah ini yang selayaknya membawa umat Allah untuk
memunji-muji-Nya sebagaimana yang diutarakan pada bagian terakhir perikop itu.
Kekudusan Allah adalah landasan pemujaan orang-orang percaya.
Dalam hal yang bersifat moralitas,
Allah adalah standar kekudusan tertinggi. Dalam diri Allah, tidak ada dosa, tidak
ada kesalahan, juga tidak ada ketidak-adilan. Semua tindakan-Nya adalah benar
dan adil. Allah senang akan kebaikan dan kebenaran (Yer. 9:24). Sebaliknya
Allah membenci dosa, Allah menentang kecurangan dan menghukum setiap perbuatan
yang tidak benar.
Dalam Perjanjian Lama, benda-benda
dan tempat-tempat dikhususkan sedemikian rupa untuk penyembahan. Benda-benda atau tempat-tampat itu dianggap
kudus bukan karena sesuatu yang dikeramatkan, melainkan karena kehadiran Allah
yang dihubungkan dengan benda-benada atau temapt-tempat tersebut. Kepada Musa
diberitahukan bahwa ia berdiri di tanah yang kudus karena Allah berada di sana
(Kel. 3:5). Tabut Tuhan menjadi kudus dan tidak dapat didekati karena kehadiran
Allah dikaitkan dengannya (1 Sam. 6:19-20; Kel. 29:43).[3]
Dengan mengetahui bahwa kehadiran Allah berhubungan dengan benda-benda yang
dikhususkan itu, maka umat Allah tidak boleh dengan sembarangan menghampiri
atau memperlakukannya. Konsepnya adalah sama yaitu tidak boleh dengan
sembarangan datang ke hadirat Allah.
Dalam Perjanjian Baru, Kristus dalam
hidup dan sifat-sifat-Nya adalah teladan tertinggi kekudusan Allah. Dalam Dia
keadaan kudus bahkan lebih daripada hanya tidak berdosa: itu adalah
penyerahan-Nya yang seutuhnya kepada kehendak dan maksud Allah, dan untuk itu
Yesus menguduskan diri-Nya sendiri (Yoh 17:19). Kekudusan Kristus adalah ukuran bagi sifat orang Kristen
dan jaminannya, Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka
semua berasal dari Satu (Ibr 2:11).[4]
Jadi Yesus Krsitus adalah pancaran kekudusan Allah yang dapat kita terima.
Tanpa dikuduskan oleh Kristus, kita tidak mungkin dapat menghampiri tahkata
Allah yang kudus itu.
Rasul Paulus menyebut bahwa kita
adalah bait Roh Kudus (1 Kor. 3:16,17; 6:19) karena Allah berdiam di dalam
kita. Ini adalah suatu anugerah yang seharusnya membuat kita mengucap syukur tiada
hentinya, karena Allah yang Mahakudus itu berdiam di dalam kita. Oleh karena
itu, seperti nasihat Rasul Paulus, kita harus menjaga kehidupan kita sehingga
tidak mencemarkannya. Kita harus senantiasa mengingat bahwa hidup kita harus
dijaga seperti barang-barang kudus dalam Perjanjian Lama, yang dikhusukan untuk
menyembah Allah.
Sungguh, Allah adalah kudus, dan
kita sebagai umat-Nya harus memandang-Nya dengan penuh rasa hormat dan pemujaan
sembari kita menjalankan kehidupan keseharian kita. Demikian juga dalam
kebaktian-kebaktian yang kita ikuti, kita harus menghadap Tuhan dengan penuh
rasa hormat. Seseorang yang datang beribadah dalam sebuah kebaktian, tidak
boleh meremehkan kehadirat Allah, karena Allah adalah Kudus. Seseorang yang
datang beribadah harus mempunyai konsep sebagai hamba yang datang ke hadapan
Tuhan. Dengan demikian ia harus benar-benar menunjukkan sikap hormat
sebagaimana layaknya diberikan kepada tuan, apalagi sebagai Tuhan dan Allah
kita. Allah harus ditaati karena ia Kudus dan dahsyat.
2.
Kekudusan
Umat Allah
Allah
adalah kudus, maka umat yang menyembah-Nya pun harus kudus. Hidup dalam
kekudusan merupakan syarat mutlak bagi setiap orang yang datang menghadap
Allah. Allah tidak boleh dipermainkan dengan kecemaran dalam kehidupan dan
penyembahan umat-Nya. Allah sungguh-sungguh murka terhadap orang yang mencemari
kekudusan-Nya dengan perbuatan yang tidak benar. Maka dalam Perjanjian Lama,
Allah memberitahukan cara yang benar untuk dapat bertahan di hadirat-Nya yaitu
dengan mengadakan korban-korban terlebih dahulu.
Dalam
Perjanjian Lama, Alkitab menunjukkan bagaimana Allah memerintahkan umat Israel
supaya mempertahankan hidup kudus. Dalam Kitab Imamat, Allah menguraikan
bagaimana harus hidup kudus baik dalam cara hidup, dalam berinteraksi dengan
sesama dan terutama dalam tata cara beribadah. Demi kekudusan-Nya, Allah
memperingatkan supaya mereka jangan melalaikan sedikitpun dari
perintah-perintah itu (Im. 19:30; 20:23; 22:31-33). Orang yang melanggarnya
akan menerima hukuman/murka TUHAN pada saat itu juga.
Sesungguhnya
Allah menuntut umat-Nya untuk menyembah-Nya dengan cara hidup kudus. Allah
tidak memperkenankan umat datang di hadapan-Nya dengan pola hidup yang masih
cemar. Ada berbagai-bagai aturan untuk pentahiran dan pengudusan. Salah satunya
adalah dengan mempersembahkan korban penghapus dosa dan korban penebus salah.
Tanpa hal itu, seseorang tidak pantas menghadap ke hadirat Allah.
Hidup
kudus merupakan tujuan dan panggilan bagi orang-orang percaya. Dalam Perjanjian
Baru, berulang-ulang disebutkan bahwa kita dipilih dan ditebus supaya kita
hidup kudus di hadapan Allah (band. Ef. 1:4; Kol. 1:22; 1 Tes. 4:7). Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar,
melainkan apa yang kudus. Kita bukan hanya dipanggil tetapi juga dipilih, dikhususkan,
disucikan, dan dipisahkan untuk menjadi suatu umat yang kudus bagi Allah (Kel.
19:6, Im. 20:26, 1 Pet. 2:9). Para penyembah Allah adalah umat yang kudus bagi
Allah. oleh karena itu seorang penyembah harus mempertahankan hidup kudus.
Hidup kudus pertama-tama harus diterapkan dalam gaya hidup
sehari-hari, kemudian juga harus diterapkan dalam kebaktian, ibadah dan
pelayanan. Seseorang yang datang ke Gereja atau kebaktian lain, seperti
persekutuan doa, atau pendalaman Alkitab harus memperhatikan kemurnian hatinya.
Tanpa kemurnian hati, dalam pengertian pemberesan dosa, penyembahan seseorang
menjadi tidak bermutu. Allah tidak mungkin berkenan kepada seseorang yang
bernyanyi memuji-muji Tuhan atau berdoa berlama-lama sementara hatinya masih
belum beres. Tidak ada tempat iri hati, dendam, atau sakit hati bagi umat Allah
yang menyembah. Seorang penyembah harus membuka hati untuk mengampuni orang
lain saat hendak datang ke hadirat Allah. Itulah sebabnya Tuhan Yesus
menyatakan hal terpenting ini: “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan
persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam
hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu
dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan
persembahanmu itu”(Mat. 5:23-24).
Pelayanan adalah penyembahan, maka seorang pelayan harus
memperhatikan kemurniannya pada saat pelayanan. Pelayanan bukanlah arena untuk
menampilkan kemegahan kita, melainkan mempersembahkan yang terbaik untuk kemuliaan
Allah. Pelayanan juga tidak boleh diremehkan dengan begitu gampang
mencemarkannya. Ada beberapa pelayan seperti pemain musik, penyanyi, atau
pelayan lainnya yang bermain-main pada saat ibadah/pelayanan. Bahkan ada
kesaksian yang membuktikan bahwa pada saat melayani ada beberapa pelayanan yang
berpacaran, bercumbuan, bahkan berpelukan pada saat kebaktian sedang
berlangsung. Pada saat yang sama juga mereka sedang melayani. Ini adalah
pencemaran kekudusan umat Tuhan. Belakangan diketahui bahwa para pelayan-pelayan
itu telah mengalami disiplin dari Tuhan.
Dengan memperhatikan arti kekudusan, bahwa Allah yang
disembah adalah Allah Yang Kudus, dan bahwa umat yang menyembah-Nya pun harus
kudus, maka seseorang yang sungguh-sungguh menyembah Tuhan harus mengkhususkan
diri untuk menyenangkan dan memuliakan Allah. Dengan demikian orang percaya
tidak lagi mencemarkan diri dengan memberi perhatian lebih kepada hal-hal lain
(termasuk kesenangan pribadi, kepuasan dengan penampilan atau ketenaran).
Tujuan utama mengikuti ibadah atau kebaktian bukan untuk mencari kepuasan,
bukan untuk mendapatkan kesenangan, melainkan untuk menyenangkan Allah.
Dikatakan umat kudus berarti orang-orang yang khusus bagi Allah, yaitu yang
mengkhususkan diri untuk memuji-muji Allah. Inilah konsep kekudusan umat Allah
dalam penyembahan.
3.
Penyembahan yang Berhiaskan Kekudusan
Penyembahan
yang berhiaskan kekudusan merupakan hasil penyembahan dari orang-orang yang
mengenal dan menghormati kekudusan Allah, dan menjaga kekudusan itu saat
menghadap ke hadirat Allah. Konsep ini telah dikemukakan dalam Perjanjian Lama,
“Sujudlah menyembah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan, gemetarlah di
hadapan-Nya, hai segenap bumi!” (1 Taw. 16:29; Maz. 96:9). Berhiaskan kekudusan
berbicara mengenai aksesoris rohani yang diperlukan dalam penyembahan. Dengan
memperhatikan frasa berikutnya, maka menyembah dengan berhiaskan kekudusan
berhubungan dengan sikap gemetar atau kegentaran umat yang menyembah karena
Allah yang dahsyat itu.
Menurut
Mac Arthur, penyembahan yang berhiaskan kekudusan yang dihubungkan dengan
kegentaran di hadapan Allah merupakan konsep alkitabiah antara gagasan
kekudusan Allah dengan ketakutan di pihak penyembah. Ini adalah ketakutan yang
tumbuh dari pengertian ketidakberartian yang melimpah di hadapan kekudusan yang murni.[5] Seorang
penyembah yang benar datang ke hadirat Allah dalam ketakutan yang sehat, yaitu
dengan sikap hormat dan takut.
Konsep
ini meluas dalam Perjanjian Baru ketika penulis Ibrani mengatakan: “Jadi,
karena kita menerima Kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap
syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan
hormat dan takut” (Ibr. 12:8). Rasa hormat menjelaskan kekaguman kita terhadap
Pribadi Allah, dan takut menunjukkan reaksi kita atas kedahsyatan Allah yang
tidak terhampiri oleh kecemaran. Dua hal ini harus menjadi aksesoris
penyembahan kita sehingga layak disebut sebagai penyembahan yang berhiaskan
kekudusan.
Penyembahan
yang berhiaskan kekudusan membawa seseorang pada kesadaran bahwa Allah kudus
dan dirinya adalah manusia yang membutuhkan penyucian Allah. Ada berbagai-bagai
ekspresi untuk hal ini, seseorang bisa saja datang sujud dan menangis di
hadapan Allah untuk memohon pengampunan dosa. Akan tetapi ada juga penyembahan
yang diekspresikan dengan sukacita yang melimpah karena menikmati keindahan
persekutuan dengan Allah dan kekudusan-Nya.
Ketika
penyembahan semacam ini diterapkan di Gereja, dan dalam kebaktian-kebaktian
lain, maka hadirat Allah akan menjamah setiap orang yang mengikutinya. Harus
diingat bahwa penyembahan yang berhiaskan kekudusan dimulai dengan cara hidup
kudus dari umat Tuhan itu yang dilandasi dengan rasa kagum dan hormat Akan
Allah. Penyembahan semacam ini akan menyentuh setiap dimensi kehidupan umat Allah
untuk menaikkan rasa syukur dan memuliakan Allah. Dengan demikian setiap orang
akan mengalami kenikmatan tiada tara dalam penyembahan yang berhiaskan
kekudusan itu.
Ada banyak orang yang mengaku tidak dapat mengalami hadirat Allah atau tidak mendapatkan apa-apa saat mengikuti kebaktian. Bahkan para pelayan juga tidak mengalaminya. Kenyataan ini perlu dikoreksi, mungkin kebaktian itu tidak menerapkan konsep kekudusan. Mungkin beberapa pelayan atau anggota jemaat yang beribadah tidak mempersiapkan diri untuk melakukan penyembahan dengan sungguh-sungguh. Bisa juga karena motivasi yang tidak murni saat datang dalam kebaktian dan penyambahan. Sesungguhnya, penyembahan yang berhiaskan kekudusan memberikan kenikmatan kepada jemaat yang dalam hal ini disertai pengorbanan dan sikap hormat akan Allah.
[1] Bible Works, ver.
7.0. Software
Alkitab,
Lexicon Bible, Theological Workbook
of the Old Testament, 1990. [CD ROM].
[2] RAF/P dalam
J.D.Douglas (ed.) Ensiklopedi Alkitab
Masa Kini, JIlid I, A-L (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2008),
617.
[3] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama
(Malang: Gandum Mas, 2004), 36.
[4] RAF/P dalam
J.D.Douglas (ed.) Ensiklopedi Alkitab
Masa Kini, JIlid I, A-L (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2008),
617.
[5] John Mac Arthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan
(Bandung: Kalam Hidup, 2001), 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar