Rabu, 09 September 2015

Syarat-syarat Menjadi Penyembah Allah

Syarat-syarat Menjadi Penyembah Allah

Penulis Mazmur mengemukakan gambaran tentang seseorang yang boleh datang kepada Tuhan untuk menyembah-Nya. “Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus? Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari TUHAN dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan dia. Itulah angkatan orang-orang yang menanyakan Dia, yang mencari wajah-Mu, ya Allah Yakub” (Maz. 24:3-6). Disebutkan bahwa orang yang boleh naik ke Gunung Tuhan (artinya menghadap hadirat Tuhan) adalah mereka yang hidupnya tidak melakukan kejahatan, tetapi sebaliknya melakukan kebenaran. Akan tetapi standar apakah yang dapat dipakai untuk menetukan seseorang tidak melakukan kejahatan, lalu hidupnya benar? Bukankan setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan atau dosa? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka beberapa hal akan dikemukakan sekaligus menjabarkan syarat-syarat menjadi seorang penyembah Allah yang benar.

1.      Telah lahir baru/Diselamatkan
Dalam Yohanes 14:6, Tuhan Yesus mengemukakan “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Berdasarkan konteksnya, ayat ini sedang mengungkapkan sebuah kebenaran esensial tentang ketidakmungkinan seseorang mencapai tujuan yang dikehendaki oleh Allah jikalau tidak mengenal Tuhan Yesus. Itulah sebabnya dalam ayat-ayat sebelumnya Tuhan Yesus pernah mengemukakan “Akulah pintu” (Yoh. 10:9). Pengenalan akan Tuhan Yesus tidak lain dari menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi. Dengan mengenal Tuhan Yesus, maka seseorang memiliki kepastian mengenal Allah yang benar.
Pengenalan akan Allah yang benar berimplikasi pada kegiatan penyembahan yang dilakukan oleh manusia. Dengan mengacu pada ketentuan jalan kepada Bapa, maka penyembahan seseorang hanya akan sampai kepada Allah jika seseorang telah dengan sungguh-sungguh diselamatkan. Jadi penyembah yang benar adalah penyembah yang telah lahir baru. Sekalipun penyembahan itu ditujukan kepada Allah yang benar, dengan motivasi yang benar dan dengan cara yang benar pula tidak memiliki kemungkinan untuk naik ke hadirat Allah jika orang-orang yang melakukannya belum menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi.
Dalam Perjanjian Baru, orang-orang Farisi mengaku menyembah Allah dan memang mereka melakukannya, akan tetapi mereka menolak Tuhan Yesus. Akibatnya, penyembahan mereka tidak diperkenan Allah, dan bahkan ancaman hukuman maut telah tersedia (band. Mat. 12:31-32). Para Rasul dan penulis Perjanjian Baru sebelum mengajak orang lain menyembah Tuhan, mereka selalu mendahuluinya dengan memberitakan Injil. Setelah orang-orang itu bertobat, barulah diajak untuk menyembah Allah.
Dalam kehidupan kekristenan pada masa kini, pada satu sisi mungkin mengalami kejenuhan, sementara pada sisi lain beberapa kelompok mencoba menghidupkannya kembali. Tetapi sangat disayangkan persyaratan ini kurang diperhatikan. Beberapa orang yang menyatakan diri melakukan penyembahan ternyata belum lahir baru. Beberapa aktifis Gereja mencoba menggairahkan kegiatan penyembahan, tetapi sayang penyembahan itu tercemar apabila dilakukan bersama dengan orang-orang yang belum sungguh-sungguh bertobat. Oleh karena kebutuhan akan pemain musik, pemimpin pujian yang hebat dan para penyanyi yang berbakat, ada kemungkinan orang-orang yang belum bertobat diminta untuk melayani. Pemain musiknya mungkin hebat dan penyanyinya mungkin sangat merdu, akan tetapi jika mereka belum lahir baru, mereka-mereka itu tidak dapat dianggap sebagai para penyembah Allah. Lahir baru adalah syarat utama menjadi seorang penyembah Allah.

2.      Bertumbuh dalam Kehidupan Rohani
Penyembahan menyangkut seluruh aspek kehidupan seseorang, maka dengan demikian penyembahan harus berkaitan dengan pertumbuhan rohani seseorang. Konsep bertumbuh menunjukkan bahwa kehidupan rohani seseorang yang menyembah Allah harus terus meningkat. Jika tidak bertumbuh, hanya ada satu pilihan lain yaitu mati. Bersamaan dengan kegiatan penyembahan dan komitmen untuk mengenal Allah lebih sungguh, maka seseorang akan mengalami pertumbuhan rohani, sehingga makin diperkenan Allah dalam penyembahannya.
Untuk menjadi penyembah Allah yang benar, tidaklah cukup seseorang diselamatkan tanpa komitmen untuk bertumbuh. Dalam Wahyu 3:4, Allah mencela jemaat Efesus karena mereka meninggalkan kasih yang mula-mula. Allah juga menegur jemaat Laodikia yang “suam-suam kuku,” tidak dingin atau panas. Jika dengan cara demikian, penyembahan yang mereka lakukan tidak berkenan kepada Allah. Allah hanya menginginkan kegiatan penyembahan dari orang-orang yang bergairah secara rohani, mempertahankan kasih sebagaimana kasih ketika pertama sekali menerima Tuhan Yesus.
Secara konkrit, pertumbuhan rohani dapat ditunjukkan melalui kesetiaannya mengikuti kegiatan-kegiatan ibadah di Gereja, juga komitmennya untuk melayani, pengorbanannya, dan bahkan kesaksian kehidupan kesehariannya. Elemen terpenting dalam penyembahan seseorang bukanlah kemegahan atau kemeriahan emosional, melainkan perilaku dan gaya hidup yang benar. Artinya penyembah Allah dikatakan sebagai penyembah yang “benar” apabila ia hidup dalam kebenaran Allah. Sekalipun cara penyembahannya benar, apabila hidupnya tidak benar, maka orang tersebut tidak dapat dianggap sebagai seorang penyembah.
Para hamba Tuhan full-timer, pelayan atau aktifis Gereja biasanya lebih dianggap sebagai penyembah Allah dari pada jemaat-jemaat biasa. Khususnya para pendoa, biasanya mengklaim diri sebagai penyembah garis depan. Anggapan ini sah-sah saja. Akan tetapi harus diperhatikan juga bahwa kualitas penyembahan tidak ditentukan oleh predikat yang dimiliki. Justru dalam banyak kesaksian, para pelayan, pendoa dan hamba-hamba Tuhan yang biasanya membuat perpecahan dalam Gereja. Penyembah yang benar adalah orang percaya yang sungguh-sungguh setia beribadah, mempertahankan hidup kudus dan semakin rindu kepada Tuhan.
Sebagai bahan evaluasi untuk para pelayan, ada beberapa hal yang harus diuji kembali. Banyak pelayan gereja yang kelihatannya setia hanya karena ada jadwal pelayanan, tetapi kalau tidak ada pelayanan, mereka tidak memprioritaskan ibadah. Yang lebih tragis lagi, mereka bersedia meninggalkan ibadah Gereja mereka apabila ada tawaran pelayanan (misanya main musik, memimpin pujian, dll) dari tempat lain. Atau ada juga pelayan atau jemaat yang memang akan datang beribadah di Gereja “apabila” tidak ada kegiatan lain. Jadinya, ibadah menjadi prioritas terakhir. Pelayan-pelayan dan jemaat yang semacam ini tidak memiliki komitmen untuk menyembah Allah.
Sesungguhnya komitmen dan pertumbuhan rohani dapat diterapkan dengan setia beribadah. Harus ada kerinduan yang dalam untuk beribadah. Seseorang memang harus memiliki waktu penyembahan (mezbah doa) di rumah, tetapi juga harus mengalokasikan kesempatan untuk beribadah bersama orang-orang percaya lainnya. Ibadah bersama memiliki manfaat dan makna termasuk dalam hal saling menguatkan, saling menopang dan saling berbagi. Oleh sebab itu, tidaklah cukup seseorang hanya datang beribadah di Gereja sekali setiap hari Minggu, sekalipun setiap hari berdoa di rumah. Seorang jemaat harus mengikuti kegiatan ibadah tengah minggu, misalnya persekutuan doa, Pendalaman Alkitab, dll. Itulah sebabnya penulis Ibrani menginstruksikan: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibr. 10:25). Ibadah bersama itu sangat penting, dan merupakan perintah Alkitab. Kesetiaan ibadah dapat menjadi indikator pertumbuhan rohani seseorang.
Satu hal lagi yang tidak kalah penting untuk menjadi penyembah Allah, yaitu cara atau kesaksian hidup.  Rasul Paulus menguraikan cara hidup yang berkenan kepada Allah dalam Efesus 4: 17-32. Bagian yang pertama membahas tentang cara berpikir yang baru (Ef 4:17-24). Cara berpikir yang dimaksud berhubungan dengan keputusan untuk meninggalkan cara hidup yang menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan segala macam kecemaran. Sebaliknya orang percaya harus berpikir bagaimana hidup untuk memuliakan Allah. Dengan komitmen dan kesungguhan hati untuk mencintai Tuhan, hati orang yang seperti ini akan semakin dibaharui oleh kuasa Roh Kudus (band. ay. 23), sehingga ia akan bertumbuh dalam kehidupan rohani
Bagian yang kedua menguraikan tentang cara hidup yang baru (Ef. 4:25-29), terutama yang berhubungan dengan perkataan, emosi dan pekerjaan. Para penyembah Allah harus melakukan pekerjaan yang benar/halal (jangan mencuri atau korupsi), berkata-kata benar (tidak berdusata, dan tidak berkata kotor) serta suka menolong orang lain. Allah tidak berkenan dengan kehidupan penyembah yang bekerja dengan tidak benar. Allah juga jijik akan persembahan-persembahan dari hasil penipuan. Allah menghendaki hati yang bersih dari para penyembah-Nya.
Bagian yang ketiga menyinggung tentang cara berinteraksi yang baik (Ef. 4:30-32), yaitu tidak boleh menyimpan dendam, segala kepahitan atau kemarahan. Sebaliknya seorang penyembah Allah harus senantiasa memiliki hati yang mengampuni orang lain. Pada kesempatan lain, Tuhan Yesus mengingatkan apabila seseorang datang ke hadirat Tuhan untuk menyembah, terlebih dahulu ia harus membereskan masalahnya dengan orang lain. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat. 5:23-24). Selanjutnya seorang penyembah juga harus bersikap ramah terhadap semua orang.

3.      Memiliki Komitmen untuk Menyembah Allah
Penyembahan tidak hanya bersifat temporal, juga bukan tindakan emosional sesaat. Sesungguhnya penyembahan berlangsung seumur hidup dan bahkan selama-lamanya. Untuk menyembah Allah, seseorang harus mengambil keputusan untuk menyembah Allah bukan hanya saat-saat yang menyenangkan, bukan hanya pas sesuai dengan keinginan, melainkan keputusan seumur hidup. Tanpa komitmen dan kerinduan yang luar biasa, penyembahan tidak mencapai standar yang dikehendaki oleh Allah.
Komitmen untuk menyembah merupakan keharusan, dan oleh karenanya harus menjadi pilihan bagi orang percaya. Kepada umat Israel, Yosua memprakarsai komitmen untuk menyembah Allah dengan berakata: “Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yos. 24:15). Tepat seperti ikrarnya, Yosua beribadah dan menyembah Allah Yahweh seumur hidupnya. Allah menghendaki kita sebagai umat-Nya untuk mengambil keputusan menyembah-Nya di tengah-tengah orang-orang yang mungkin tidak sungguh-sungguh menyembah Tuhan.
Sadrakh, Mesakh dan Abednego berkomitmen untuk menyembah hanya kepada Allah saja. Ancaman dari Raja Nebukadnezar bahwa akan mencampakkan mereka ke dalam perapian yang menyala-nyala apabila mereka tidak menyembahnya, tidak membuat mereka takut. Selanjutnya mereka berkata: “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Dan. 3:17-18). Kisah ini memberikan teladan bagi orang percaya masa kini, bahwa komitmen untuk menyembah Allah terkadang harus melewati ujian. Jemaat harus bersikap tegas menunda semua kegiatan lain apabila ia telah berniat mengikuti ibadah di Gereja.
Dalam Perjanjian Baru, para murid, setelah menyaksikan karya Tuhan dan oleh kuasa Roh Kudus mengambil keputusan untuk melayani (=menyembah) Tuhan seumur hidup. Bahkan di akhir hidup mereka, para Rasul ini telah mempersembahkan jiwa raga mereka sebagai persembahan yang berkenan kepada Allah melalui penderitaan, siksaan-siksaan, dan cara kematian mereka yang mengerikan. Rasul Paulus juga telah mempersembahkan hidupnya untuk melayani Allah, juga tubuhnya dipersembahkan melalui kematian yang mengerikan di dalam penjara sebagai korban persembahan yang berkenan kepada Allah. Pada tingkat yang sangat tinggi, komitmen penyembahan kepada Allah terkadang membawa seseorang pada pengorbanan, penderitaan dan kematian yang mengerikan.
Kesaksian ini juga sekaligus menantang umat Tuhan, para hamba-hamba Tuhan full-timer, apakah kita mau menyembah Tuhan sampai pada tingkat yang seperti itu? Bukan tidak mungkin bahwa banyak jemaat, juga para pelayan Gereja pada akhirnya meninggalkan pelayanan dan kegiatan Gereja hanya karena kesulitan-kesulitan sepele. Sesungguhnya, kualitas penyembahan kita tidak boleh berkurang sedikitpun ketika kita menghadapi persoalan. Justru dalam kesulitan-kesulitan ekonomi, kelemahan tubuh atau masalah lainnya, kita harus semakin menyembah Tuhan. Pada sisi lain, ada orang yang kurang setia terhadap Tuhan setelah ia menikmati kehidupan yang mapan. Dalam  kehidupan yang melimpah dengan materi pun, seseorang harus semakin menyembah Tuhan. Dengan cara yang demikian, komitmen penyembahan seseorang akan terbukti.
Secara konkrit, komitmen untuk menyembah Allah dapat ditunjukkan dengan beberapa hal. Pertama-tama keputusan untuk beribadah kepada Tuhan seumur hidup, sekaligus berhenti mengejar kakayaan yang berlebihan. Kedua, menyerahkan diri untuk mengambil bagian dalam pekerjaan Tuhan. Seseorang yang dengan sungguh-sunggh bertobat, biasanya diikuti dengan keputusan untuk menyerahkan diri sebagai pelayan Tuhan, sekaligus melupakan kegiatan untuk mencari pekerjaan lain. Ketiga, adanya kerinduan yang dalam akan persekutuan dengan Tuhan. Berkali-kali pemazmur menyatakan hatinya haus akan Tuhan (Maz. 42:3; 63:2; 143:6). Seorang penyembah Allah patut menyukai puji-pujian, sangat mengharapkan saat-saat untuk ibadah. Ada kerinduan hati untuk bangun pagi-pagi lalu menaikkan doa dan nyanyian-nyanyian pujian kepada Allah. Ada kerinduan untuk datang beribadah dalam persekutuan-persekutuan doa, selalu mengharapkan tibanya hari Minggu untuk mengikuti kebaktian di Gereja. Itulah gambaran seseorang yang patut disebut sebagai penyembah Allah. (bersambung ..............) bagian 9

Oleh: Hasrat P. Nazara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar