Syarat-syarat
Menjadi Penyembah Allah
Penulis Mazmur mengemukakan gambaran tentang seseorang yang boleh datang
kepada Tuhan untuk menyembah-Nya. “Siapakah yang boleh naik ke atas gunung
TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus? Orang yang bersih
tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan,
dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari TUHAN dan
keadilan dari Allah yang menyelamatkan dia. Itulah angkatan orang-orang yang
menanyakan Dia, yang mencari wajah-Mu, ya Allah Yakub” (Maz. 24:3-6).
Disebutkan bahwa orang yang boleh naik ke Gunung Tuhan (artinya menghadap
hadirat Tuhan) adalah mereka yang hidupnya tidak melakukan kejahatan, tetapi
sebaliknya melakukan kebenaran. Akan tetapi standar apakah yang dapat dipakai
untuk menetukan seseorang tidak melakukan kejahatan, lalu hidupnya benar?
Bukankan setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan atau dosa? Untuk
menjawab pertanyaan ini, maka beberapa hal akan dikemukakan sekaligus
menjabarkan syarat-syarat menjadi seorang penyembah Allah yang benar.
1.
Telah lahir baru/Diselamatkan
Dalam
Yohanes 14:6, Tuhan Yesus mengemukakan “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.
Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”
Berdasarkan konteksnya, ayat ini sedang mengungkapkan sebuah kebenaran esensial
tentang ketidakmungkinan seseorang mencapai tujuan yang dikehendaki oleh Allah
jikalau tidak mengenal Tuhan Yesus. Itulah sebabnya dalam ayat-ayat sebelumnya
Tuhan Yesus pernah mengemukakan “Akulah pintu” (Yoh. 10:9). Pengenalan akan
Tuhan Yesus tidak lain dari menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi.
Dengan mengenal Tuhan Yesus, maka seseorang memiliki kepastian mengenal Allah
yang benar.
Pengenalan
akan Allah yang benar berimplikasi pada kegiatan penyembahan yang dilakukan
oleh manusia. Dengan mengacu pada ketentuan jalan kepada Bapa, maka penyembahan
seseorang hanya akan sampai kepada Allah jika seseorang telah dengan
sungguh-sungguh diselamatkan. Jadi penyembah yang benar adalah penyembah yang
telah lahir baru. Sekalipun penyembahan itu ditujukan kepada Allah yang benar,
dengan motivasi yang benar dan dengan cara yang benar pula tidak memiliki
kemungkinan untuk naik ke hadirat Allah jika orang-orang yang melakukannya
belum menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi.
Dalam
Perjanjian Baru, orang-orang Farisi mengaku menyembah Allah dan memang mereka
melakukannya, akan tetapi mereka menolak Tuhan Yesus. Akibatnya, penyembahan
mereka tidak diperkenan Allah, dan bahkan ancaman hukuman maut telah tersedia
(band. Mat. 12:31-32). Para Rasul dan penulis Perjanjian Baru sebelum mengajak
orang lain menyembah Tuhan, mereka selalu mendahuluinya dengan memberitakan
Injil. Setelah orang-orang itu bertobat, barulah diajak untuk menyembah Allah.
Dalam
kehidupan kekristenan pada masa kini, pada satu sisi mungkin mengalami
kejenuhan, sementara pada sisi lain beberapa kelompok mencoba menghidupkannya
kembali. Tetapi sangat disayangkan persyaratan ini kurang diperhatikan.
Beberapa orang yang menyatakan diri melakukan penyembahan ternyata belum lahir
baru. Beberapa aktifis Gereja mencoba menggairahkan kegiatan penyembahan,
tetapi sayang penyembahan itu tercemar apabila dilakukan bersama dengan
orang-orang yang belum sungguh-sungguh bertobat. Oleh karena kebutuhan akan
pemain musik, pemimpin pujian yang hebat dan para penyanyi yang berbakat, ada
kemungkinan orang-orang yang belum bertobat diminta untuk melayani. Pemain
musiknya mungkin hebat dan penyanyinya mungkin sangat merdu, akan tetapi jika
mereka belum lahir baru, mereka-mereka itu tidak dapat dianggap sebagai para
penyembah Allah. Lahir baru adalah syarat utama menjadi seorang penyembah
Allah.
2.
Bertumbuh dalam Kehidupan Rohani
Penyembahan
menyangkut seluruh aspek kehidupan seseorang, maka dengan demikian penyembahan
harus berkaitan dengan pertumbuhan rohani seseorang. Konsep bertumbuh
menunjukkan bahwa kehidupan rohani seseorang yang menyembah Allah harus terus
meningkat. Jika tidak bertumbuh, hanya ada satu pilihan lain yaitu mati.
Bersamaan dengan kegiatan penyembahan dan komitmen untuk mengenal Allah lebih
sungguh, maka seseorang akan mengalami pertumbuhan rohani, sehingga makin
diperkenan Allah dalam penyembahannya.
Untuk
menjadi penyembah Allah yang benar, tidaklah cukup seseorang diselamatkan tanpa
komitmen untuk bertumbuh. Dalam Wahyu 3:4, Allah mencela jemaat Efesus karena
mereka meninggalkan kasih yang mula-mula. Allah juga menegur jemaat Laodikia
yang “suam-suam kuku,” tidak dingin atau panas. Jika dengan cara demikian,
penyembahan yang mereka lakukan tidak berkenan kepada Allah. Allah hanya
menginginkan kegiatan penyembahan dari orang-orang yang bergairah secara
rohani, mempertahankan kasih sebagaimana kasih ketika pertama sekali menerima
Tuhan Yesus.
Secara konkrit,
pertumbuhan rohani dapat ditunjukkan melalui kesetiaannya mengikuti
kegiatan-kegiatan ibadah di Gereja, juga komitmennya untuk melayani,
pengorbanannya, dan bahkan kesaksian kehidupan kesehariannya. Elemen terpenting
dalam penyembahan seseorang bukanlah kemegahan atau kemeriahan emosional,
melainkan perilaku dan gaya hidup yang benar. Artinya penyembah Allah dikatakan
sebagai penyembah yang “benar” apabila ia hidup dalam kebenaran Allah.
Sekalipun cara penyembahannya benar, apabila hidupnya tidak benar, maka orang
tersebut tidak dapat dianggap sebagai seorang penyembah.
Para hamba
Tuhan full-timer, pelayan atau aktifis Gereja biasanya lebih dianggap sebagai
penyembah Allah dari pada jemaat-jemaat biasa. Khususnya para pendoa, biasanya
mengklaim diri sebagai penyembah garis depan. Anggapan ini sah-sah saja. Akan
tetapi harus diperhatikan juga bahwa kualitas penyembahan tidak ditentukan oleh
predikat yang dimiliki. Justru dalam banyak kesaksian, para pelayan, pendoa dan
hamba-hamba Tuhan yang biasanya membuat perpecahan dalam Gereja. Penyembah yang
benar adalah orang percaya yang sungguh-sungguh setia beribadah, mempertahankan
hidup kudus dan semakin rindu kepada Tuhan.
Sebagai
bahan evaluasi untuk para pelayan, ada beberapa hal yang harus diuji kembali.
Banyak pelayan gereja yang kelihatannya setia hanya karena ada jadwal
pelayanan, tetapi kalau tidak ada pelayanan, mereka tidak memprioritaskan
ibadah. Yang lebih tragis lagi, mereka bersedia meninggalkan ibadah Gereja
mereka apabila ada tawaran pelayanan (misanya main musik, memimpin pujian, dll)
dari tempat lain. Atau ada juga pelayan atau jemaat yang memang akan datang
beribadah di Gereja “apabila” tidak ada kegiatan lain. Jadinya, ibadah menjadi
prioritas terakhir. Pelayan-pelayan dan jemaat yang semacam ini tidak memiliki
komitmen untuk menyembah Allah.
Sesungguhnya
komitmen dan pertumbuhan rohani dapat diterapkan dengan setia beribadah. Harus
ada kerinduan yang dalam untuk beribadah. Seseorang memang harus memiliki waktu
penyembahan (mezbah doa) di rumah, tetapi juga harus mengalokasikan kesempatan
untuk beribadah bersama orang-orang percaya lainnya. Ibadah bersama memiliki
manfaat dan makna termasuk dalam hal saling menguatkan, saling menopang dan
saling berbagi. Oleh sebab itu, tidaklah cukup seseorang hanya datang beribadah
di Gereja sekali setiap hari Minggu, sekalipun setiap hari berdoa di rumah.
Seorang jemaat harus mengikuti kegiatan ibadah tengah minggu, misalnya
persekutuan doa, Pendalaman Alkitab, dll. Itulah sebabnya penulis Ibrani
menginstruksikan: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan
ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling
menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.”
(Ibr. 10:25). Ibadah bersama itu sangat penting, dan merupakan perintah
Alkitab. Kesetiaan ibadah dapat menjadi indikator pertumbuhan rohani seseorang.
Satu hal
lagi yang tidak kalah penting untuk menjadi penyembah Allah, yaitu cara atau
kesaksian hidup. Rasul Paulus
menguraikan cara hidup yang berkenan kepada Allah dalam Efesus 4: 17-32. Bagian
yang pertama membahas tentang cara berpikir yang baru (Ef 4:17-24). Cara
berpikir yang dimaksud berhubungan dengan keputusan untuk meninggalkan cara
hidup yang menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan segala macam kecemaran.
Sebaliknya orang percaya harus berpikir bagaimana hidup untuk memuliakan Allah.
Dengan komitmen dan kesungguhan hati untuk mencintai Tuhan, hati orang yang
seperti ini akan semakin dibaharui oleh kuasa Roh Kudus (band. ay. 23), sehingga
ia akan bertumbuh dalam kehidupan rohani
Bagian yang
kedua menguraikan tentang cara hidup yang baru (Ef. 4:25-29), terutama yang
berhubungan dengan perkataan, emosi dan pekerjaan. Para penyembah Allah harus
melakukan pekerjaan yang benar/halal (jangan mencuri atau korupsi),
berkata-kata benar (tidak berdusata, dan tidak berkata kotor) serta suka
menolong orang lain. Allah tidak berkenan dengan kehidupan penyembah yang
bekerja dengan tidak benar. Allah juga jijik akan persembahan-persembahan dari
hasil penipuan. Allah menghendaki hati yang bersih dari para penyembah-Nya.
Bagian yang
ketiga menyinggung tentang cara berinteraksi yang baik (Ef. 4:30-32), yaitu
tidak boleh menyimpan dendam, segala kepahitan atau kemarahan. Sebaliknya
seorang penyembah Allah harus senantiasa memiliki hati yang mengampuni orang
lain. Pada kesempatan lain, Tuhan Yesus mengingatkan apabila seseorang datang
ke hadirat Tuhan untuk menyembah, terlebih dahulu ia harus membereskan
masalahnya dengan orang lain. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan
persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam
hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu
dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk
mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat. 5:23-24). Selanjutnya seorang
penyembah juga harus bersikap ramah terhadap semua orang.
3.
Memiliki Komitmen untuk Menyembah Allah
Penyembahan tidak hanya bersifat temporal, juga bukan tindakan emosional
sesaat. Sesungguhnya penyembahan berlangsung seumur hidup dan bahkan
selama-lamanya. Untuk menyembah Allah, seseorang harus mengambil keputusan
untuk menyembah Allah bukan hanya saat-saat yang menyenangkan, bukan hanya pas
sesuai dengan keinginan, melainkan keputusan seumur hidup. Tanpa komitmen dan
kerinduan yang luar biasa, penyembahan tidak mencapai standar yang dikehendaki
oleh Allah.
Komitmen untuk menyembah merupakan keharusan, dan oleh karenanya harus
menjadi pilihan bagi orang percaya. Kepada umat Israel, Yosua memprakarsai
komitmen untuk menyembah Allah dengan berakata: “Tetapi jika kamu anggap tidak
baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan
beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai
Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan
seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yos. 24:15). Tepat seperti
ikrarnya, Yosua beribadah dan menyembah Allah Yahweh seumur hidupnya. Allah
menghendaki kita sebagai umat-Nya untuk mengambil keputusan menyembah-Nya di
tengah-tengah orang-orang yang mungkin tidak sungguh-sungguh menyembah Tuhan.
Sadrakh, Mesakh dan Abednego berkomitmen untuk menyembah hanya kepada Allah
saja. Ancaman dari Raja Nebukadnezar bahwa akan mencampakkan mereka ke dalam
perapian yang menyala-nyala apabila mereka tidak menyembahnya, tidak membuat
mereka takut. Selanjutnya mereka berkata: “Jika Allah kami yang kami puja
sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang
menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak,
hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku,
dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Dan. 3:17-18).
Kisah ini memberikan teladan bagi orang percaya masa kini, bahwa komitmen untuk
menyembah Allah terkadang harus melewati ujian. Jemaat harus bersikap tegas
menunda semua kegiatan lain apabila ia telah berniat mengikuti ibadah di
Gereja.
Dalam Perjanjian Baru, para murid, setelah menyaksikan karya Tuhan dan oleh
kuasa Roh Kudus mengambil keputusan untuk melayani (=menyembah) Tuhan seumur
hidup. Bahkan di akhir hidup mereka, para Rasul ini telah mempersembahkan jiwa
raga mereka sebagai persembahan yang berkenan kepada Allah melalui penderitaan,
siksaan-siksaan, dan cara kematian mereka yang mengerikan. Rasul Paulus juga
telah mempersembahkan hidupnya untuk melayani Allah, juga tubuhnya
dipersembahkan melalui kematian yang mengerikan di dalam penjara sebagai korban
persembahan yang berkenan kepada Allah. Pada tingkat yang sangat tinggi,
komitmen penyembahan kepada Allah terkadang membawa seseorang pada pengorbanan,
penderitaan dan kematian yang mengerikan.
Kesaksian ini juga sekaligus menantang umat Tuhan, para hamba-hamba Tuhan
full-timer, apakah kita mau menyembah Tuhan sampai pada tingkat yang seperti
itu? Bukan tidak mungkin bahwa banyak jemaat, juga para pelayan Gereja pada
akhirnya meninggalkan pelayanan dan kegiatan Gereja hanya karena
kesulitan-kesulitan sepele. Sesungguhnya, kualitas penyembahan kita tidak boleh
berkurang sedikitpun ketika kita menghadapi persoalan. Justru dalam
kesulitan-kesulitan ekonomi, kelemahan tubuh atau masalah lainnya, kita harus
semakin menyembah Tuhan. Pada sisi lain, ada orang yang kurang setia terhadap
Tuhan setelah ia menikmati kehidupan yang mapan. Dalam kehidupan yang melimpah dengan materi pun,
seseorang harus semakin menyembah Tuhan. Dengan cara yang demikian, komitmen
penyembahan seseorang akan terbukti.
Secara konkrit, komitmen untuk menyembah Allah dapat ditunjukkan dengan
beberapa hal. Pertama-tama keputusan untuk beribadah kepada Tuhan seumur hidup,
sekaligus berhenti mengejar kakayaan yang berlebihan. Kedua, menyerahkan diri
untuk mengambil bagian dalam pekerjaan Tuhan. Seseorang yang dengan
sungguh-sunggh bertobat, biasanya diikuti dengan keputusan untuk menyerahkan
diri sebagai pelayan Tuhan, sekaligus melupakan kegiatan untuk mencari
pekerjaan lain. Ketiga, adanya kerinduan yang dalam akan persekutuan dengan
Tuhan. Berkali-kali pemazmur menyatakan hatinya haus akan Tuhan (Maz. 42:3;
63:2; 143:6). Seorang penyembah Allah patut menyukai puji-pujian, sangat
mengharapkan saat-saat untuk ibadah. Ada kerinduan hati untuk bangun pagi-pagi
lalu menaikkan doa dan nyanyian-nyanyian pujian kepada Allah. Ada kerinduan
untuk datang beribadah dalam persekutuan-persekutuan doa, selalu mengharapkan
tibanya hari Minggu untuk mengikuti kebaktian di Gereja. Itulah gambaran seseorang
yang patut disebut sebagai penyembah Allah. (bersambung ..............) bagian 9
Oleh: Hasrat P. Nazara
