Penyembahan dalam PB (Perjanjian Baru)
Dalam Perjanjian Baru ditemukan tiga macam
ibadah/penyembahan yang dilakukan secara umum yaitu:
ibadah/penyembahan yang dilakukan di Bait Allah, yang diteruskan dari sistem
penyembahan dalam Perjanjian Lama, ibadah/penyembahan yang dilakukan di
Sinagoge, dan ibadah/penyembahan yang dilakukan dalam komintas jemaat
mula-mula, yaitu di rumah-rumah jemaat. Penyembahan di Sinagoge dikembangkan
setelah kembali dari pembuangan, merupakan cara ibadah/penyembahan yang lebih
populer pada zaman Yesus dan Perjanjian Baru. Sistem ibadah/penyembahan di
Sinagoge lebih bersifat familiar ketimbang sistem ibadah/penyembahan yang
dilakukan di Bait Allah karena penyembahan yang dilakukan di Bait Allah
bersifat ekslusif untuk para Imam. Unsur-unsur penting dalam liturgi
ibadah/penyembahan di sinagoge meliputi: (1) Pembacaan Shema, yang terdiri dari Ulangan 6:4-9,
11:13-21, dan Bilangan 15:37-41, yang dimulai dengan: “Dengarlah (Shema) hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa; (2)
doa, yang kemungkinan mengikuti cara yang telah ditentukan, juga mengulangi beberapa
Mazmur; (3) Pembacaan Hukum Taurat atau Kitab para Nabi; dan (4) Targum, yaitu
penjelasan atau tafsiran dari pembacaan Kitab Suci.
Dalam perkembangannya, orang Yahudi telah mengubah konsep penyembahan
sebagai pemujaan menjadi tradisi agamawi. Mereka melakukan rutinitas
penyembahan dengan berkiblat ke Yerusalem, tetapi tanpa disertai dengan sikap
penghormatan akan Allah. Maka Tuhan Yesus mencela cara penyembahan mereka
dengan mengutip nubuatan Yesaya: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal
hatinya jauh dari pada-Ku” (Mat. 15:8; Mrk. 7:6). Selanjutnya, Yesus
mengungkapkan substansi penyembahan yang benar yaitu menyembah dalam roh dan
kebenaran (Yoh. 4:23-24). Dalam hal, ini, Yesus memberikan konsepsi baru yang
sedikit berbeda dengan konsepsi penyembahan dalam Perjanjian Lama, maupun
konsepsi penyembahan orang-orang Samaria. Yesus lebih menekankan penyembahan
yang bersifat spiritual (batiniah), lebih dari cara penyembahan yang bersifat
lahiriah.
Para Rasul dan Penulis Perjanjian Baru, mengembangkan konsepsi penyembahan
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Tuhan Yesus. Rasul Paulus menasihatkan
jemaat Tuhan untuk mempersembahkan seluruh hidup kepada Allah dengan
pembaharuan budi (Rm, 12:1-2) dengan menyerahkan anggota-anggota tubuh sebagai
alat untuk kebenaran (Rm. 6:13-14), dan hidup dalam kebenaran Allah. Itu
adalah penyembahan yang sejati. Pada bagian yang lain penulis Ibrani mengajak
jemaat untuk melakukan penyembahan yang benar dengan ungkapan yang sangat
praktis: “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban
syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya” (Ibr. 13:15).
Rupanya ada pergeseran tata cara penyelenggaraan sistem penyembahan dalam
Perjanjian Baru. Penyembahan dalam Perjanjian Baru tidak serumit tata cara
penyembahan dalam Perjanjian Lama. Penekanan yang utama meliputi sikap dan
suasana hati, meskipun pengorbanan harta, dan puji-pujian tidak pernah
diabaikan dalam Perjanjian Baru. Bertitik tolak dari pernyataan Yesus kepada
perempuan Samaria, penyembahan lebih bersifat pribadi yang diekspresikan
melalui cara hidup yang berkenan kepada Allah.
(bersambung........)
Oleh: Hasrat P. Nazara, S.Th
Tidak ada komentar:
Posting Komentar