Jumat, 28 Agustus 2015

Penyembahan dalam PB (Perjanjian Baru)
Dalam Perjanjian Baru ditemukan tiga macam ibadah/penyembahan yang dilakukan secara umum yaitu: ibadah/penyembahan yang dilakukan di Bait Allah, yang diteruskan dari sistem penyembahan dalam Perjanjian Lama, ibadah/penyembahan yang dilakukan di Sinagoge, dan ibadah/penyembahan yang dilakukan dalam komintas jemaat mula-mula, yaitu di rumah-rumah jemaat. Penyembahan di Sinagoge dikembangkan setelah kembali dari pembuangan, merupakan cara ibadah/penyembahan yang lebih populer pada zaman Yesus dan Perjanjian Baru. Sistem ibadah/penyembahan di Sinagoge lebih bersifat familiar ketimbang sistem ibadah/penyembahan yang dilakukan di Bait Allah karena penyembahan yang dilakukan di Bait Allah bersifat ekslusif untuk para Imam. Unsur-unsur penting dalam liturgi ibadah/penyembahan di sinagoge meliputi: (1) Pembacaan Shema, yang terdiri dari Ulangan 6:4-9, 11:13-21, dan Bilangan 15:37-41, yang dimulai dengan: “Dengarlah (Shema) hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa; (2) doa, yang kemungkinan mengikuti cara yang telah ditentukan, juga mengulangi beberapa Mazmur; (3) Pembacaan Hukum Taurat atau Kitab para Nabi; dan (4) Targum, yaitu penjelasan atau tafsiran dari pembacaan Kitab Suci.
Dalam perkembangannya, orang Yahudi telah mengubah konsep penyembahan sebagai pemujaan menjadi tradisi agamawi. Mereka melakukan rutinitas penyembahan dengan berkiblat ke Yerusalem, tetapi tanpa disertai dengan sikap penghormatan akan Allah. Maka Tuhan Yesus mencela cara penyembahan mereka dengan mengutip nubuatan Yesaya: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku” (Mat. 15:8; Mrk. 7:6). Selanjutnya, Yesus mengungkapkan substansi penyembahan yang benar yaitu menyembah dalam roh dan kebenaran (Yoh. 4:23-24). Dalam hal, ini, Yesus memberikan konsepsi baru yang sedikit berbeda dengan konsepsi penyembahan dalam Perjanjian Lama, maupun konsepsi penyembahan orang-orang Samaria. Yesus lebih menekankan penyembahan yang bersifat spiritual (batiniah), lebih dari cara penyembahan yang bersifat lahiriah.
Para Rasul dan Penulis Perjanjian Baru, mengembangkan konsepsi penyembahan sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Tuhan Yesus. Rasul Paulus menasihatkan jemaat Tuhan untuk mempersembahkan seluruh hidup kepada Allah dengan pembaharuan budi (Rm, 12:1-2) dengan menyerahkan anggota-anggota tubuh sebagai alat untuk kebenaran (Rm. 6:13-14), dan hidup dalam kebenaran Allah. Itu adalah penyembahan yang sejati. Pada bagian yang lain penulis Ibrani mengajak jemaat untuk melakukan penyembahan yang benar dengan ungkapan yang sangat praktis: “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya” (Ibr. 13:15).

Rupanya ada pergeseran tata cara penyelenggaraan sistem penyembahan dalam Perjanjian Baru. Penyembahan dalam Perjanjian Baru tidak serumit tata cara penyembahan dalam Perjanjian Lama. Penekanan yang utama meliputi sikap dan suasana hati, meskipun pengorbanan harta, dan puji-pujian tidak pernah diabaikan dalam Perjanjian Baru. Bertitik tolak dari pernyataan Yesus kepada perempuan Samaria, penyembahan lebih bersifat pribadi yang diekspresikan melalui cara hidup yang berkenan kepada Allah.

(bersambung........)

Oleh: Hasrat P. Nazara, S.Th

Tidak ada komentar:

Posting Komentar