Fenomena Penyembahan Pada Masa Kini
Dengan mengamati fenomena pada masa kini, tidak dapat dipungkiri bahwa
penyembahan menjadi barang langka, yang oleh A, W. Tozer menyebutnya sebagai
“Permata Gereja yang hilang.” Selanjutnya Arthur mengemukakan: “Kita mempunyai
banyak kegiatan dan sedikit penyembahan. Kita besar dalam pelayanan, tetapi
kecil dalam pemujaan.”[1] Memang
kelihatannya, terlalu banyak anggaran dana untuk sebuah kegiatan semacam konser
Rohani, dan bahkan Kebaktian-kebaktian Kebangunan Rohani pada masa kini, namun
pada kenyataannya hanya sedikit orang yang benar-benar menyembah Allah dalam
kegiatan-kegiatan yang semacam itu.
Sekalipun sebagian orang-orang Kristen berusaha dengan sekuat tenaga
mengupayakan penyembahan yang benar dengan berlandaskan Kitab Suci, namun arus
perkembangan aliran-aliran “Praise and Worship” dalam pengertian yang lebih
sempit semakin tak terbendung. Pengaruhnya begitu meluas sehingga dapat dikatakan bahwa cara penyembahan semacam itu telah
masuk dalam kebanyakan denominasi Gereja-gereja tertentu. Beberapa orang dengan
konsep Praise and Worship-nya yang sempit dengan
terang-terangan menganggap Gereja-gereja aliran Protestan sebagai Gereja yang tidak melakukan penyembahan pada saat
beribadah. Maka selama beberapa tahun terakhir, beberapa jemaat menyatakan
kepada penulis bahwa mereka sempat mengikuti kebaktian dalam suatu Gereja
tertentu, tetapi tidak ada penyembahan, dalam persepsi
“Praise and Worship.” Ini bukan masalah substansi penyembahan itu, tetapi lebih
merupakan konsep sempit yang telah mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap
tata cara ibadah dalam Gereja.
Justru dalam Gereja-gereja yang mengaku memiliki tata cara penyembahan yang
dikemas dalam “Praise and Worship,” terlalu sulit untuk ditemukan penyembahan
yang benar-benar konsisten. Benar bahwa di dalam Gereja, jemaat kelihatannya
terlalu ekspresif dalam menyembah Tuhan, namun dalam kehidupan keseharian
penyembahan tidak menjadi prioritas. Pada hari Minggu, banyak jemaat datang ke
Gereja untuk menyembah Tuhan. Tetapi pada hari-hari lain mereka kembali pada
cara kehidupan yang lama, termasuk perseteruan, kesombongan, kepahitan, dll.
Ini tidak berarti bahwa Gereja-gereja yang tidak memiliki liturgi “Praise and
Worship” lebih baik. Malahan, Gereja-gereja yang
liturginya cenderung kaku, memiliki kecenderungan pada penyembahan yang
bersifat rutinitas. Tentu keadaan yang semacam ini lebih memprihatinkan.