Penyembahan
daLAM Liturgi Ibadah
Ketika masih berstatus sebagai pelajar Sekolah Teologi,
saya sering diajak untuk mengiringi musik dalam beberapa persekutuan doa. Pada
suatu kesempatan saya diajak mengiringi musik dalam persekutuan doa para lansia
(lanjut usia). Setelah selesai ibadah, seorang kakek mendekati saya dan
menanyakan tempat saya melayani. Dengan jujur saya memberitahukan bahwa saya
melayani di salah satu denominasi Gereja Pentakosta. Setelah mendengar bahwa
saya melayani di Gereja tersebut, air muka kakek ini terlihat berubah. Kemudian
ia menguraikan dengan berbagai argumen bahwa tidak dibenarkan melakukan tepuk
tangan dalam Gereja, terutama pada saat ibadah. Pada tahun yang sama seorang
teman Sekolah Teologi mengatakan kepada saya bahwa ia sangat tidak tertarik
mengikuti ibadah Protestan, karena hal itu hanya akan meneyebabkan dia
tertidur.
Cerita di atas merupakan representasi dari kebanyakan
cara pandang orang-orang Kristen pada masa kini. Pada satu sisi ada
Gereja-gereja yang begitu anti dengan perubahan dan perkembangan liturgi
Gereja. Seolah mereka sudah terpola dengan liturgi yang diimpor dari Eropa.
Mereka anti dengan tepuk tangan, mereka merasa risih dengan sorak-sorak dan
tepuk tangan. Mereka lebih merasa nyaman dengan suasana yang hening. Pada sisi
lain Gereja-gereja Kharismatik berniat melepaskan diri dari liturgi ibadah yang
menurut mereka sangat kaku. Bersamaan dengan lahirnya Gereja Pentakosta, mereka
mencoba mengekspresikan penyembahan dengan berbagai-bagai manifestasi. Cirikhas
Gereja Pentakosta atau Kharismatik adalah adanya tepuk tangan, nyanyian
sorak-sorai, dan menifestasi lain seperti bahasa roh, tangisan, nubuatan dan
sebagainya.
Orang-orang Kharismatik menganggap liturgi Ibadah Katolik
dan Protestan sebagai liturgi ibadah yang kaku, kuno dan tidak bergairah.
Sedangkan kebanyakan anggota jemaat dari Gereja-gereja Katolik dan Protestan
menganggap liturgi ibadah gereja Kharismatik sebagai ibadah yang kontemporer,
tidak sopan dan cenderung kacau. Silang pendapat dan perdebatan megenai liturgi
dari dua kubu ini menjadi luas. Akhirnya isu liturgi itu sendiri menjadi lebih
penting dari pada hakikat penyembahan itu sendiri. Ada hal-hal relatif yang
dimutlakkan, sedangkan hal-hal mutlak diabaikan. Ibadah dibahas sedemikian
panjang, tetapi hakikat penyembahan hampir tidak pernah disinggung.
Dalam buku ini, penulis mencoba menguraikan secara
sederhana bagaimana liturgi berkaitan dengan penyembahan, berangkat dari
kebenaran Kitab Suci dan diterapkan dalam kebaktian Gerejawi. Pemahaman akan
liturgi ibadah akan mempengaruhi cara dan hakikat penyembahan kita. Jangan
sampai kita lupa menyembah Allah hanya karena terlalu sibuk membahas liturgi,
atau kita terlalu ekspresif dalam ibadah tetapi mengabaikan liturgi.
1. Liturgi Ibadah dalam Alkitab
Istilah
“liturgi” berasal dari bahasa Yunani “leitourgia” yang bermakna sebagai
aktifitas ritual pelayanan para imam (Luk. 1:23); dan juga berarti kegiatan
pelayanan Kristen.[1]
Dalam Kamus Istilah Teologia yang
disusun oleh Soedarmo, liturgi adalah tata kebaktian.[2] Pada masa
Perjanjian Baru, istilah ini tidak begitu populer. Justru istilah yang dipakai
lebih banyak mengacu pada istilah Perjanjian Lama yaitu Upacara atau Ritual
ibadah. Istilah Liturgi kemudian berkembang seiring perkembangan Gereja, dengan
mencoba memformulasikan susunan acara dalam ibadah atau kebaktian. Maka
Gereja-gereja Protestan di Indonesai memahami liturgi sebagai susunan acara
kegiatan ibadah. Di kalangan Gereja-gereja Lutheran, liturgi dikenal dengan
sebutan “Agenda.”
Dalam
Perjanjian Lama, liturgi telah dilaksanakan dan biasanya dikenal dengan istilah
upacara keagamaan. Isu utamanya sebenaranya bukan susunan atau urutan-urutan
kegiatannya, melainkan bentuk tanggapan umat terhadap penyingkapan Allah. Dalam
kegiatan menanggapi anugerah dan penyingkapan diri Allah, umat Israel dituntun
untuk melakukannya dengan cara yang sesuai dengan kehendak Allah. Umat Israel
pada zaman Perjanjian Lama tidak boleh dengan sembarangan menghadap ke hadirat
Allah. Untuk menegakkan kekudusan Allah dalam penyembahan, maka Allah sendiri
memberikan petunjuk tantang liturgi yang patut dilaksanakan. Dalam kitab
Keluaran dan Imamat ditemukan berbagai-bagai aturan dan tata cara ibadah Israel
sesuai dengan petunjuk Tuhan.
Kendati
liturgi ibadah tidak lebih penting dari hakikat penyembahan itu, namun liturgi
ibadah juga tidak boleh diabaikan. Tata cara penyembahan Israel ditentukan
untuk menuntun mereka pada pengalaman akan kebenaran Allah. Allah sendiri
mengatur dan menitahkan tata cara menyelenggarakan kebaktian seperti yang
diungkapkan dalam Keluaran 20:22-26 (band. Ul. 30:16).
Menurut
Dyrness, sedikitnya ada dua nilai yang terkandung dalam liturgi ibadah dalam
Perjanjian Lama yaitu pertama, bahwa perilaku kita itu membantu untuk
meneguhkan, dan mengingatkan kita akan iman dan tanggungjawab kita; kedua, juga
menjadi sarana untuk mengingatkan umat akan realitas Allah.[3] Unsur utama
dalam liturgi bukan pada cara lahiriahnya, melainkan sikap batiniah.
Dalam
perjanjian Baru, beberapa tata cara ibadah yang terlalu menekankan lahiriah
berangsur diminimalkan. Kemudian Tuhan Yesus menunjuk suatu cara yang lebih
mengacu pada hal-hal batiniah yaitu “Menyembah dalam roh dan kebenaran.”
Kemudian Paulus menekankan cara penyembahan melalui pembaharuan sikap. Namun
demikian Paulus juga mencela tata cara ibadah yang tidak teratur, terutama
dalam memanifestasikan karunia-karunia Roh Kudus. Secara prinsip, Paulus
menekankan tata cara ibadah yang teratur: “Tetapi segala sesuatu harus
berlangsung dengan sopan dan teratur” (1 Kor. 14:40).
2.
Liturgi Ibadah Gerejawi
Meskipun
Perjanjian Baru telah meniadakan tata cara lahiriah dalam liturgi ibadah
Perjanjian Lama, namun Gereja masih memerlukan struktur ibadah dalam Gereja
sebagai usaha untuk mewujudkan keteraturan. Jika tidak ada struktur atau
susunan ibadah, maka sangat besar
kemungkinan terjadinya kekacauan. Tanpa susunan ibadah yang jelas, maka
masing-masing orang akan melakukan penyembahan dengan cara yang tidak
terstruktur. Dengan demikian maka dipastikan akan terjadi kekacauan. Kekacauan
tidak mencerminkan sikap hormat kepada Allah, maka dipastikan bahwa tanpa
penghormatan kepada Allah, penyembahan akan menjadi sia-sia.
Sesunguhnya
liturgi ibadah dimaksudkan untuk melaksanakan ibadah dengan teratur.
Keteraturan itu sendiri menunjukkan sikap hormat yang layak untuk Allah.
Penekanannya bukan pada susunan acara itu melainkan sikap menghadap kepada
Tuhan dan bersama-sama jemaat menyatakan korban syukur kepada Allah. Unsur
terpenting dalam liturgi ibadah adalah iman, yang kemudian meluas dalam wujud kasih,
korban syukur, dan segala hal yang berkenan kepada Allah.
Liturgi
dalam ibadah Gerejawi membentuk pengalaman orang percaya akan kemuliaan dan
keajaiban Allah. Bagi Olst, dua aspek yang terdapat dalam liturgi ibadah yaitu
proklamasi dan ekspresi.[4] Pada satu
sisi liturgi mengatur hubungan dengan penyataan Allah, kesaksian tampil ke muka
dan proklamasi terjadi. Pada sisi yang lain, liturgi ibadah mengatur tanggapan
atas Pribadi Allah dan panggilan-Nya. Melalui liturgika, orang percaya
menyatakan tindakan penyerahan dirinya kepada Allah dan memuliakan nama-Nya.
Kedua sisi ini tidak dapat dipisahkan. Susunan liturgi ibadah harus didasarkan
pada dua sisi ini.
Meskipun
pada hakikatnya liturgi ibadah berhubungan dengan penyelenggaraan penyembahan
kepada Allah, dengan mencakup kedua sisi di atas (proklamasi dan ekspresi),
namun gereja menginterpretasikan dan menerapkannya secara berbeda. Gereja
Katolik mementingkan ekaristi dan perjamuan kudus dalam liturgi ibadah.
Sedangkan gereja-gereja reformasi menempatkan pemberitaan firman sebagai pusat
liturgi ibadah. Sementara itu Gereja-gereja Pentakosta atau Kharismatik
menekankan pengunaan karunia-karunia Roh Kudus dalam kebaktian.
Dari
berbagai denominasi Gereja-gereja Tuhan, ada unsur-unsur yang sama yang pasti
ada dalam liturgi ibadah meskipun urutan-urutannya berbeda. Unsur-unsur itu
meliputi pemberitaan firman, doa, pengakuan iman, nyanyian pujian dan
penyembahan, pemberian kolekte (persembahan) dan doa. Beberapa hal lain yang
dimasukkan dalam liturgi ibadah antara lain warta gereja (pengumuman),
kesaksian, dan doa syafaat.
Evaluasi
Liturgi Ibadah Protestan
Di
kalangan Gereja-gereja yang mengikuti pola liturgi dari Eropa, liturgi ibadah
biasanya dimulai dengan votum atau salam dan doa pembuka.[5] Kemudian
dilanjutkan dengan menyanyikan lagu puji-pujian, pengakuan dosa, pemberitaan
firman, doa syafaat, pengakuan iman, dan biasanya diakhiri dengan doa berkat
dan nyanyian doxologi.[6]
Dengan
memperhatikan fakta dalam kehidupan gereja pada masa kini, tuduhan dari
kelompok Kristen Kharismatik bahwa Ibadah dengan pola liturgi semacam itu lebih
bersifat kaku, bukanlah tanpa alasan. Memang kebanyakan orang Kristen aliran
Protestan lebih mengutamakan keheningan, kekhusukan dari pada gairah ibadah itu
sendiri. Akhirnya substansi penyembahan dalam kebaktian itu tidak dapat
diekspresikan dengan bebas.
Musik
klasik yang diadopsi dari Gereja-gereja Eropa abad pertengahan masih terus
dipertahankan. Akibatnya tidak sedikit anak-anak muda mulai meninggalkan
denominasi Gereja mereka dan masuk ke tempat-tempat ibadah di mana mereka dapat
mengekspresikan gairah penyembahan yang tidak terlalu kaku. Di sampaing itu,
banyak anak-anak muda dari kalangan gereja-gereja dengan liturgi yang terlalu
kaku eksodus ke tempat-tempat ibadah yang dianggap lebih ekspresif dengan
alasan eksplorasi bakat atau karunia, atau dalam bahasa Kharismatik disebut
“Mengembangkan talenta.”
Pola-pola
ibadah yang telah disusun dan diatur sedemikian memang bertujuan untuk
mengarahkan jemaat pada liturgi yang lebih teratur, namun pada sisi lain bukan
tidak mungkin jemaat yang tidak mengerti hanya mengucapkan bacaan-bacaan
berbalasan atau bersahutan itu sebagai rutinitas, padahal hakikat dan maknanya
tidak mereka hayati. Akhirnya ibadah menjadi suatu aktifitas tradisional keagamaan.
Namun
demikian bukan berarti bahwa liturgi ibadah yang seperti itu harus ditiadakan.
Justru penulis melihat bahwa liturgi ibadah ini menuntut kedisiplinan dari
seluruh jemaat yang mengikuti kebaktian. Penulis juga yakin bahwa susunan
liturgi yang berlaku itu telah digumulkan oleh orang-orang yang
bersungguh-sungguh di dalam Tuhan. Ada nilai keteraturan dalam liturgi ibadah
yang semacam itu, yang mana telah ditiadakan dalam liturgi ibadah gereja
Kharismatik.
Evaluasi
Liturgi Ibadah Kharismatik
Liturgi
ibadah di kalangan Gereja-gereja Pentakosta atau Kharismatik diadopsi dari
benua Amerika, bersamaan dengan lahirnya Gerakan Pentakosta itu sendiri. Tidak
dapat disembunyikan kenyataan bahwa terbentuknya liturgi ibadah di kalangan
Gereja Kharismatik merupakan bentuk pemberontakan terhadap liturgi ibadah yang
dianggap terlalu kaku dari Eropa. Gerakan ini menilai bahwa ada unsur-unsur
ibadah dan penyembahan yang diabaikan terutama pengunaan karunia-karunia Roh
Kudus. Gerakan ini tidak mau terikat dengan kebakuan yang ada, mereka ingin
mengeksplorasi karunia-karunia Roh Kudus yang mereka miliki. Maka di kalangan
Gereja-gereja Pentakosta atau Kharismatik ditemukan suasana ibadah yang menurut
pengautnya lebih hidup, ada manifestasi-manifestasi kuasa Roh Kudus, dan ada
gerakan-gerakan atau terobosan-terobosan lain.
Gerakan
ini sebenarnya merupakan usaha pembaharuan ibadah dan penyembahan dalam
kekristenan. Namun bersamaan dengan usaha pembaharuan itu, ada unsur-unsur
liturgi penting yang ikut dikesampingkan. Penggunaan karunia lebih mengemuka
dari pada Pendalaman Alkitab atau Pemberitaan Firman. Dapat dikatakan bahwa
pengajaran dalam kegiatan ibadah di Gereja-gereja Kharismatik terlalu sedikit.
Maka akibatnya, kebanyakan jemaat tidak memahami hakikat iman Kristen yang
sebenarnya. Mereka hanya tahu bahwa mereka orang Kristen, dan bahwa Yesus mampu
melakukan segala sesuatunya. Bukan tidak mungkin bahwa penyembahan yang mereka
lakukan hanya untuk ekspresi dan kepuasan diri, tanpa memperhatikan kemuliaan
Allah.
Selain
itu, keterbukaan Gereja Kharismatik terhadap perkembangan zaman, juga ikut
meracuni liturgi ibadah mereka. Pengaruh “Gerekan Zaman Baru” (New Age Movement) seperti aktualisasi
diri, kata-kata sugesti, pertapaan dan sebagainya telah masuk dalam Gereja.
Maka kebanyakan jemaat tidak dapat membedakan mana iman dan mana sugesti.
Mereka diyakinkan dengan mengatakan “Saya pasti Sukses,” “Saya pasti sembuh,”
dan sebagainya sebagai kata-kata iman. Padahal kata-kata itu lebih merupakan
kata-kata sugesti. Hal-hal yang semacam ini telah masuk sampai pada liturgi
Gereja.
Gerakan
Kharismatik bukan tanpa pembaharuan. Tidak sedikit orang yang telah bertobat
dan menerima keselamatan karena gerakan ini. Banyak orang merasakan berkat
Allah juga karena gerakan pembaharuan ini. Gereja-gereja Kharismatik pada masa
kini mulai membuka diri untuk belajar firman melalui Seminari-seminari Alkitab.
Bahkan bebarapa denominasi Gereja Pentakosta dan Kharismatik mulai menerapkan
syarat Sarjana Strata satu bagi calon Pendeta. Ini merupakan sinyal positif
supaya pemimpin-pimimpin Gereja kembali kepada kebenaran Alkitab.
Alangkah
baiknya apabila pembaharuan Gereja dikukan dengan tetap memperhatikan
unsur-unsur penting dalam liturgi ibadah. Tujuannya adalah supaya penyembahan
dalam Gereja menjadi hidup dan bergairah. Gereja-gereja dengan liturgi ala
Protestan juga harus lebih membuka diri terhadap perkembangan tata cara ibadah
itu sendiri. Tujuannya adalah supaya ibadah dan penyembahan tetap hidup. Allah
dimuliakan dalam kebaktian yang dilaksanakan. Ini adalah tugas generasi Kristen
pada masa kini. Maka saya dan semua pembaca harus berdoa dengan sungguh-sungguh
serta memberikan pengaruh yang baik dalam gereja lokal kita supaya penyembahan
menjadi bergairah. Penyembahan dalam
liturgi ibadah kita harus konstruktif, kreatif dan inovatif.
[1] Bible Works, ver.
7.0. Software
Alkitab,
Lexicon Bible, Fribergr
Greek Lexicon, 17173. [CD ROM].
[2] R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002), 51.
[3] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama
(Malang: Gandum Mas, 2004), 124.
[4] E. H. van Olst, Alkitab dan Liturgika (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996), 123
[5] Votum adalah
pembacaan vote atau pengagungan kepada nama Tuhan yang biasanya dilakukan untuk
mengawali sebuah ibadah. Votum bisa berupa doa berkat atau doa meminta Tuhan
memberkati ibadah yang akan dilakukan. Atau dengan kata lain votum dipakai
untuk menahbiskan suatu upacara ibadah.
[6] Doxologi merupakan
istilah yang diadopsi dari kata doxa (yaitu memuliakan), yang berarti Nyanyian
pujian untuk memuliakan Allah Tritunggal. Oleh gereja-gereja Protestan,
nyanyian doxologi ini dipakai sebagai nyanyian penutup kebaktian/ibadah.
Oleh: Hasrat P. Nazara, S.Th
