Minggu, 08 Oktober 2017

Siapakah Penulis Kitab "Ayub"




Penulis Kitab Ayub

Tidak ada kepastian yang mutlak untuk menyimpulkan penulis Kitab  Ayub, bahkan bukti-bukti dan tanda-tanda yang menunjuk kepada pengarangnya sangat minim. Oleh karena itu terdapat pendapat yang berbeda-beda mengenai penulisnya berdasarkan masing-masing teori yang diajukan. Bagaimana pun juga teori ini memiliki kekurangan dan kelebihan satu dengan yang lainnya. Dalam teori-teori ini beberapa nama telah diusulkan atau dikemukakan sebagai penulis Kitab  Ayub seperti Ayub sendiri, Elihu, Musa, Salomo, Yeremia, maupun Ezra. Uraian tentang teori-teori ini adalah sebagai berikut:

Ayub
Ada beberapa sarjana yang mengemukakan teori bawa Ayub sendiri adalah penulis Kitab  Ayub ini. Mereka mengemukakan dalam sejarah karya seni, jarang ada orang yang meninggalkan warisan yang begitu indah namun tidak memberi bukti jati dirinya, keadaan atau motivasinya. Oleh karena itu lebih tepat bila disimpulkan Ayub sebagai penulisnya. Alasan dari pendapat ini adalah hanya Ayub sendiri yang paling mengerti kisah ini dan penyingkapan kebenaran Allah melalui pengalamannya.
Pendapat ini sepertinya didukung oleh W.S Lasor, D.A Hubbard, dan F.W. Bush seperti yang terdapat dalam buku mereka Pengantar Perjanjian Lama 2. Dalam buku ini dikemukakan beberapa hal tentang penulis yaitu:
Agaknya ia tentunya mengalami penderitaan yang sama seperti Ayub, karena pengenalannya terhadap keadaan Ayub begitu jelas;
Ia menemukan kelegaannya dari kepedihannya dalam pertemuannya dengan Allah yang sama seperti gambar dan begitu mengesankan tentang jawaban Allah dari dalam badai (Ayub 34-41; Bnd. Mzm 73:17);
Ia betul-betul memahami teknik-teknik hikmat dan tradisi, sebagaimana dinyatakan dalam tema dan cara-cara penulisannya;
Penderitaannya membuatnya berselisih dengan pendapat hikmat tradisional, yang mengajarkan pola-pola mutlak mengenai hukuman Ilahi dalam Alam semesta;
Berkat selalu merupakan buah kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam tema dan cara-cara penulisannya;
Penderitaannya membuatnya berselisih dengan pendapat hikmat tradisional, yang mengajarkan pola-pola mutlak mengenai hukuman Ilahi dalam alam semesta-berkat selalu merupakan buah kebenaran, upah dosa selalu merupakan penderitaan;
Ia seorang Israel, sebagaimana ditunjukkan dalam pandangannya tentang kuasa Allah, seruannya akan keadilan Allah dan etikannya yang tak dapat disalahkan (Ayub 31:1-40);
Ia memilih tempat kejadian cerita itu di tanah Us di luar Israel (entah dibagian selatan Edom atau di sebelah timur Gilead), karena tempat itu adalah  sumber kisah kuno tersebut dan juga Karena penderitaannya seperti itu menggambarkan pengalaman manusia secara universal; dan
Dia menceritakan pengalamannya untuk menguatkan temannya dan atau muridnya menghadapi penderitaan yang mungkin akan menimpa mereka, bahkan dengan lebih mahir daripada sahabat-sahabatnya orang bijak yang menulis Mazmur 37;39 dan 73.[1]

Tetapi ada beberapa kelemahan dari teori-teori ini yaitu: pertama, dalam Kitab  Ayub tidak terdapat tulisan yang mengindikasikan orang pertama tunggal sebagai penulis, sekalipun ada ucapan Elihu tentang pendapatnya.
Yang kedua, cerita dalam Kitab  Ayub tidak dapat membuktikan bahwa penulis Ayub adalah orang Israel, hanya saja hukum-hukum yang terdapat di dalam Kitab  Ayub memiliki persamaan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam etika Israel.

Elihu
Elihu disebut dalam Kitab  Ayub dan ada beberapa orang yang menganggap dia sebagai penulisnya. Alasan ini didukung kuat oleh cerita dalam Kitab  Ayub pasal 32-37, pernyataan-pernyataannya yang salah. Elihulah yang paling mengerti permasalahan dalam kisah itu.
Dalam Thru The Bible bahwa percakapan dalam pasal 32:16-17 lebih mengacu kepada penulis.[2] Kata ganti orang pertama dalam ayat-ayat ini bukanlah kata ganti orang pertama dalam percakapan melainkan orang pertama dalam hal mengutarakan perasaannya sebagai penulis kepada orang lain sebagai pembaca. Nampaknya Mc Gee menyetujui pendapat ini.
Dalam Ayub 32:16-17 “Haruslah aku menunggu (bukan pembicaraan Ayub dengan ketiga temannya, tetapi bahwa cerita itu telah dihentikan) “…akupun telah memberi sanggahan pada giliranku.” Ini bukan mengacu pada konteks percakapan, tetapi gagasan yang keluar dari pikiran Elihu sebagai pengarangnya”.[3]

Namun gagasan ini tidak banyak diterima di antara teologi-teologi Injili lainnya. Ayat ini lebih dianggap sebagai satu kesatuan puisi yang dimulai dari pasal 3 sampai pasal 42, artinya pernyataan Elihu dalam ayat ini merupakan rangkaian percakapan dari sudut pandang penulis.

Musa
Teori ini lebih banyak dipegang oleh orang-orang Injili yang ada di Indonesia. Asumsi ini diturunkan dari tradisi Israel yang mempercayai Musa sebagai penulisnya. Hal ini tercantum dalam Talmud (Talmud adalah hukum Lisan yang sudah ada menjelang akhir abad 2M yang dikumpulkan oleh para Nabi Yehuda) ia mencatat bahwa Kitab  Ayub dipersiapkan oleh Musa pada waktu ia berada di tanah Midian.[4] Menurut Talmud ini, Musa mendengar cerita-cerita ini dari luar Israel (Midian) ketika ia melarikan diri dari hadapan Firaun.
Menurut Jameison, Fausset, dan Brown: Musa terinspirasi oleh cerita rakyat selama 40 tahun penggembalaannya di tanah Midian sekitar tahun 1520 sebelum masehi.[5] Musa sengaja menyembunyikan cerita ini kepada bangsa Israel untuk menunjukkan eksklusifisme bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah. maksudnya supaya bangsa Israel tidak mencampuradukkan budaya mereka dengan budaya bangsa di luar Israel. Fakta ini juga didukung oleh pernyataan Paulus dalam I Korintus 3:19 yang sejajar dengan Ayub 5:13. “Demikian juga Yakobus 4:10 dan I Petrus 5:6 dengan Ayub 22:29; Roma 11:34, 35 dengan Ayub 15:8”. Bagi Brown, mungkin Ayub adalah Kitab  tertua bahkan buku tertua di dunia.[6]
Anggapan ini juga seolah menunjukkan bahwa Kitab  tertua adalah Kitab  Ayub (bukan Taurat). Pandangan ini didukung oleh sebagian besar dosen-dosen Sekolah Tinggi Teologia Injili Indonesia seperti Jeffrey P. Miller, dll. Namun tetap harus diakui bahwa tidak ada teori yang sempurna yang membuktikan penulis Ayub. Dalam semua tulisan-tulisan dan ajaran-ajaran Musa dalam hukum Taurat tidak disinggung sama sekali tentang Ayub atau cerita tentang  penderitaan yang melanda tokoh ini. juga dilihat dari gaya penulisan, tidak mutlak mirip dengan gaya bahasa penulisan dalam Kitab  Pentateukh sebagai Kitab  yang ditulis oleh Musa.

Salomo
Dugaan bahwa Salomo yang menulis Ayub adalah karena hikmat yang terdapat dalam puisi Kitab  Ayub disejajarkan dengan hikmat dalam Kitab -kitab yang ditulis oleh Salomo. Menurut teori ini, memang Ayub telah dikenal sejak jaman sebelumnya, namun penulisan secara teratur baru dilakukan pada zaman Salomo. Orang yang pertama kali mengungkapkan pendapat ini adalah Delitzsch dan E. J. Young.[7] Mereka memperkirakan tarikh penulisan Kitab  Ayub sekitar 600 sebelum masehi, dan mungkin lebih muda lagi. Ada juga pendapat umum yang biasa diterima adalah antara tahun 600-400 Sebelum Masehi.
Dalam Diktat Pengantar Perjanjian Lama 2 Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia, dituliskan bukti-bukti tentang kepenulisan Salomo yang bisa dikomposisikan sebagai berikut:
Pertama, kenikmatan hidup yang digambarkan itu menunjukkan periode orang kenikmatan materi.
Kedua, kemiripan dari pujian-pujian hikmat.
Ketiga, Pengetahuan luas akan negeri-negeri asing (seperti menunjukkan zaman Salomo) terlihat dalam Kitab Ayub.[8]

Walaupun ada bukti-bukti kuat yang tentang penulis zaman sebelum Salomo, penganut teori ini berasumsi bahwa hal ini hanya merupakan kekunoan cerita dan bukan menunjukkan kekunoan bentuk sastranya.[9] Namun demikian, harus diakui bahwa ada beberapa sanggahan dalam teori ini. dalam tulisan-tulisan Salomo yang lain, tidak menyinggung tentang penderitaan yang seperti ini, juga penulisnya seolah lebih dekat ke zaman cerita itu. Apalagi ada beberapa pendapat yang meninjau perbedaan antara prosa dan puisi.

Yeremia
Asumsi dasar atas argumen ini adalah, gagasan pertama adalah Ayub 3:3-26 memiliki kemiripan dengan Yeremia 20:14:18.[10] Asumsi kedua adalah pada zaman pembuangan banyak Kitab yang dibakar atau hilang pada zaman pembuangan, sehingga oleh kuasa Allah Yeremia kembali menuliskannya. Gagasan ketiga adalah Karena Yeremia lebih banyak memfokuskan perhatian pada berbagai penderitaan, juga termasuk dalam Kitab  Ratapan. Tidak diketahui pembuat gagasan ini, tetapi dalam Eksposisi Perjanjian Lama 2 disebutkan bahwa Yeremia adalah salah satu colon yang diusulkan sebagai penulis Ayub.[11]
Gagasan ini juga memiliki kekurangan, dalam Kitab Yeremia tidak sekalipun disebutkan nama tokoh ini (Ayub). Biasanya ciri-ciri tulisan Yeremia selalu menyebukan “Yerusalaem” dan “Israel”, tetapi khusus Kitab Ayub tidak ada cerita yang dapat dengan Israel.

Ezra
Ezra dianggap sebagai ahli Kitab Perjanjian lama, maka dia dicalonkan sebagai penulis Kitab Ayub pasca pembuangan. Teori ini didukung oleh penganut paham “penulisan kemudian” pada Kitab Ayub. Penganut-penganut teori ini adalah para teologi yang mengemukakan penulisan Ayub secara bertahap. Jadi, dimungkinkan bahwa Ezra menyempurnakan (menambahkan) cerita Kitab ini pada zamannya. Kebanyakan sarjana modern, yang menganggap penulisan antara tahun 600-250 Sebelum Masehi lebih menyetujui Yeremia dari pada Musa sebagai penulis Kitab ini, yang kemudian ditambahkan oleh Yeremia. Masih banyak lagi usulan-usulan yang lain tentang penulis Kitab ini, tetapi tidak ada kejelasan lebih lanjut.[12] Kebanyakan teolog-teolog lebih menyetujui penambahan kemudian pada Kitab  Ayub seperti halnya juga pendapat kebanyakan dari kaum Katolik.[13]
Dari beberapa teori yang telah dikemukakan itu, masih banyak lagi nama-nama yang pernah diusulkan seperti yang dituliskan oleh Irving L. Jensen:
Penulis Kitab Ayub memakai nama samaran dan waktu penulisan tidak dapat dipastikan. Dalam al ini penulisnya adalah orang-orang yang namanya tertulis dalam Alkitab. Di antara nama-nama itu, yang diusulkan sebagai penulis Ayub adalah Musa, Salomo pada zamannya (1 Raj. 4:29-34), Yesaya, Yeremia, Barukh, seorang nabi yang ditawan, dan Ayub.[14]

Kebanyakan dari teolog beranggapan bahwa penulisnya adalah orang-orang yang hidup di antara zaman Musa sampai pembuangan, seperti Anne Catherier Emmerich dan C. G. Jung. Tetapi Jensen tetap beranggapan bahwa penulisnya hidup di antara zaman Abraham sampai zaman Musa.[15]
Mengingat bahwa berbagai ragam teori tentang penulis Kitab Ayub mulai bermunculan pada abad ke-20, maka berarti usulan-usulan ini masih belum teruji. Lebih tepat mengikuti tradisi Yahudi bahwa penulis Kitab Ayub adalah Musa, seperti yang diterima oleh Jensen. Sebab, tradisi itu berasal dari Talmud yang mana zamannya lebih dekat dengan aman penulisan Kitab Ayub sendiri. Kejelasan penulis Ayub lebih lanjut diketahui pada pembahasan berikutnya tentang waktu penulisan. Jika penulisannya dilakukan pad aman raja-raja, maka penulisnya pasti bukan Musa. Tetapi jika asal usul cerita ini dan waktu penulisannya adalah sebelum zaman raja Daud, maka sangat memungkinkan Musa sebagai penulisnya.



[1] W.S Lasor dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2, 105.
[2]  Mc. Gee, Thru The Bible, (Nashylle: Thomas Nelson Publisher, 1986), 582.
[3] Ibid.
[4] Jeffery P. Miller, Eksposisi Perjanjian Lama 2, (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia) hal 36.
[5]Jameinson, dkk., Commentary on the Whole Bible, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publisher House, 1999), 362.
[6] Ibid
[7] J. D. Douglas, peny., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1: A-L, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 1997), 113.
[8]  Ani Teguh Purwanto, Diktat Pengantar Perjanjian Lama 2, (Surabaya: Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia, 2002), 5.
[9] J. D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1:A-L, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1999), 113.
[10] W.S. Lasor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2, 109.
[11] Ibid.
[12] Ani Teguh Poerwanto, Pengantar Perjanjian Lama 2, (Surabaya: Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia, 2002),5.
[13] Dober, Seni Hidup, Sastra Hikmat dalam Alkitab, (Yogyakarta: Kanisius, 1998)
[14] Irving L. Jensen, Jensen’s  Survey of The Old Testament, (Chicago: Moody Press, 1978), 259.
[15] Ibid.




Oleh: Hasrat P. Nazara, S.Th & Yuningsih Nona Ina, S.Th





1 komentar: