Penulis Kitab Ayub
Tidak ada kepastian yang mutlak untuk menyimpulkan penulis Kitab Ayub, bahkan bukti-bukti dan tanda-tanda yang
menunjuk kepada pengarangnya sangat minim. Oleh karena itu terdapat pendapat
yang berbeda-beda mengenai penulisnya berdasarkan masing-masing teori yang
diajukan. Bagaimana pun juga teori ini memiliki kekurangan dan kelebihan satu dengan yang
lainnya. Dalam teori-teori ini beberapa nama telah diusulkan atau dikemukakan
sebagai penulis Kitab Ayub seperti Ayub
sendiri, Elihu, Musa, Salomo, Yeremia, maupun Ezra. Uraian tentang teori-teori
ini adalah sebagai berikut:
Ayub
Pendapat ini sepertinya didukung oleh W.S Lasor, D.A Hubbard, dan
F.W. Bush seperti yang terdapat dalam buku mereka Pengantar Perjanjian Lama 2.
Dalam buku ini dikemukakan beberapa hal tentang penulis yaitu:
Agaknya ia tentunya mengalami penderitaan
yang sama seperti Ayub, karena pengenalannya terhadap keadaan Ayub begitu
jelas;
Ia menemukan kelegaannya dari kepedihannya
dalam pertemuannya dengan Allah yang sama seperti gambar dan begitu mengesankan
tentang jawaban Allah dari dalam badai (Ayub 34-41; Bnd. Mzm 73:17);
Ia betul-betul memahami teknik-teknik
hikmat dan tradisi, sebagaimana dinyatakan dalam tema dan cara-cara
penulisannya;
Penderitaannya membuatnya berselisih
dengan pendapat hikmat tradisional, yang mengajarkan pola-pola mutlak mengenai
hukuman Ilahi dalam Alam semesta;
Berkat selalu merupakan buah kebenaran
sebagaimana dinyatakan dalam tema dan cara-cara penulisannya;
Penderitaannya membuatnya berselisih
dengan pendapat hikmat tradisional, yang mengajarkan pola-pola mutlak mengenai
hukuman Ilahi dalam alam semesta-berkat selalu merupakan buah kebenaran, upah
dosa selalu merupakan penderitaan;
Ia seorang Israel , sebagaimana ditunjukkan
dalam pandangannya tentang kuasa Allah, seruannya akan keadilan Allah dan
etikannya yang tak dapat disalahkan (Ayub 31:1-40);
Ia memilih tempat kejadian cerita itu di
tanah Us di luar Israel
(entah dibagian selatan Edom
atau di sebelah timur Gilead ), karena tempat
itu adalah sumber kisah kuno tersebut
dan juga Karena penderitaannya seperti itu menggambarkan pengalaman manusia
secara universal; dan
Dia menceritakan pengalamannya untuk
menguatkan temannya dan atau muridnya menghadapi penderitaan yang mungkin akan
menimpa mereka, bahkan dengan lebih mahir daripada sahabat-sahabatnya orang
bijak yang menulis Mazmur 37;39 dan 73.[1]
Tetapi ada beberapa kelemahan dari teori-teori ini yaitu: pertama, dalam Kitab Ayub tidak terdapat tulisan yang
mengindikasikan orang pertama tunggal sebagai penulis, sekalipun ada ucapan
Elihu tentang pendapatnya.
Yang kedua, cerita dalam Kitab Ayub tidak dapat membuktikan bahwa penulis
Ayub adalah orang Israel, hanya saja hukum-hukum yang terdapat di dalam Kitab Ayub memiliki persamaan dengan hukum-hukum
yang terdapat dalam etika Israel.
Elihu
Elihu disebut dalam Kitab Ayub dan ada beberapa orang yang menganggap
dia sebagai penulisnya. Alasan ini didukung kuat oleh cerita dalam Kitab Ayub pasal 32-37, pernyataan-pernyataannya
yang salah. Elihulah yang paling mengerti permasalahan dalam kisah itu.
Dalam Thru The Bible bahwa
percakapan dalam pasal 32:16-17 lebih mengacu kepada penulis.[2]
Kata ganti orang pertama dalam ayat-ayat ini bukanlah kata ganti orang pertama
dalam percakapan melainkan orang pertama dalam hal mengutarakan perasaannya
sebagai penulis kepada orang lain sebagai pembaca. Nampaknya Mc Gee menyetujui
pendapat ini.
Dalam Ayub 32:16-17 “Haruslah aku menunggu
(bukan pembicaraan Ayub dengan ketiga temannya, tetapi bahwa cerita itu telah
dihentikan) “…akupun telah memberi sanggahan pada giliranku.” Ini bukan mengacu
pada konteks percakapan, tetapi gagasan yang keluar dari pikiran Elihu sebagai
pengarangnya”.[3]
Namun gagasan ini tidak banyak diterima di antara teologi-teologi
Injili lainnya. Ayat ini lebih dianggap sebagai satu kesatuan puisi yang
dimulai dari pasal 3 sampai pasal 42, artinya pernyataan Elihu dalam ayat ini
merupakan rangkaian percakapan dari sudut pandang penulis.
Musa
Teori ini lebih banyak dipegang oleh orang-orang Injili yang ada di Indonesia .
Asumsi ini diturunkan dari tradisi Israel yang mempercayai Musa
sebagai penulisnya. Hal ini tercantum dalam Talmud (Talmud adalah hukum Lisan
yang sudah ada menjelang akhir abad 2M yang dikumpulkan oleh para Nabi Yehuda)
ia mencatat bahwa Kitab Ayub
dipersiapkan oleh Musa pada waktu ia berada di tanah Midian.[4]
Menurut Talmud ini, Musa mendengar cerita-cerita ini dari luar Israel (Midian)
ketika ia melarikan diri dari hadapan Firaun.
Menurut Jameison, Fausset, dan Brown:
Musa terinspirasi oleh cerita rakyat selama 40 tahun penggembalaannya di tanah
Midian sekitar tahun 1520 sebelum masehi.[5]
Musa sengaja menyembunyikan cerita ini kepada bangsa Israel untuk menunjukkan
eksklusifisme bangsa Israel
sebagai bangsa pilihan Allah. maksudnya supaya bangsa Israel tidak
mencampuradukkan budaya mereka dengan budaya bangsa di luar Israel . Fakta
ini juga didukung oleh pernyataan Paulus dalam I Korintus 3:19 yang sejajar
dengan Ayub 5:13. “Demikian juga Yakobus 4:10
dan I Petrus 5:6 dengan Ayub 22:29 ;
Roma 11:34 , 35 dengan Ayub
15:8”. Bagi Brown, mungkin Ayub adalah Kitab
tertua bahkan buku tertua di dunia.[6]
Anggapan ini juga seolah menunjukkan bahwa Kitab tertua adalah Kitab Ayub (bukan Taurat). Pandangan ini didukung
oleh sebagian besar dosen-dosen Sekolah Tinggi Teologia Injili Indonesia
seperti Jeffrey P. Miller, dll. Namun tetap harus diakui bahwa tidak ada teori
yang sempurna yang membuktikan penulis Ayub. Dalam semua tulisan-tulisan dan
ajaran-ajaran Musa dalam hukum Taurat tidak disinggung sama sekali tentang Ayub
atau cerita tentang penderitaan yang
melanda tokoh ini. juga dilihat dari gaya
penulisan, tidak mutlak mirip dengan gaya
bahasa penulisan dalam Kitab Pentateukh
sebagai Kitab yang ditulis oleh Musa.
Salomo
Dugaan bahwa Salomo yang menulis Ayub
adalah karena hikmat yang terdapat dalam puisi Kitab Ayub disejajarkan dengan hikmat dalam Kitab -kitab
yang ditulis oleh Salomo. Menurut teori ini, memang Ayub telah dikenal sejak
jaman sebelumnya, namun penulisan secara teratur baru dilakukan pada zaman
Salomo. Orang yang pertama kali mengungkapkan pendapat ini adalah Delitzsch dan
E. J. Young.[7]
Mereka memperkirakan tarikh penulisan Kitab Ayub sekitar 600 sebelum masehi, dan mungkin
lebih muda lagi. Ada
juga pendapat umum yang biasa diterima adalah antara tahun 600-400 Sebelum
Masehi.
Dalam Diktat Pengantar Perjanjian Lama 2 Sekolah Tinggi Theologia
Injili Indonesia ,
dituliskan bukti-bukti tentang kepenulisan Salomo yang bisa dikomposisikan
sebagai berikut:
Pertama, kenikmatan hidup yang digambarkan
itu menunjukkan periode orang kenikmatan materi.
Kedua, kemiripan dari pujian-pujian
hikmat.
Ketiga, Pengetahuan luas akan
negeri-negeri asing (seperti menunjukkan zaman Salomo) terlihat dalam Kitab
Ayub.[8]
Walaupun ada bukti-bukti kuat yang tentang penulis zaman sebelum
Salomo, penganut teori ini berasumsi bahwa hal ini hanya merupakan kekunoan cerita
dan bukan menunjukkan kekunoan bentuk sastranya.[9]
Namun demikian, harus diakui bahwa ada beberapa sanggahan dalam teori ini.
dalam tulisan-tulisan Salomo yang lain, tidak menyinggung tentang penderitaan
yang seperti ini, juga penulisnya seolah lebih dekat ke zaman cerita itu.
Apalagi ada beberapa pendapat yang meninjau perbedaan antara prosa dan puisi.
Yeremia
Asumsi dasar atas argumen ini adalah, gagasan pertama adalah Ayub 3:3-26 memiliki kemiripan dengan Yeremia 20:14:18 .[10]
Asumsi kedua adalah pada zaman
pembuangan banyak Kitab yang dibakar atau hilang pada zaman pembuangan,
sehingga oleh kuasa Allah Yeremia kembali menuliskannya. Gagasan ketiga adalah Karena Yeremia lebih
banyak memfokuskan perhatian pada berbagai penderitaan, juga termasuk dalam Kitab
Ratapan. Tidak diketahui pembuat gagasan
ini, tetapi dalam Eksposisi Perjanjian
Lama 2 disebutkan bahwa Yeremia adalah salah satu colon yang diusulkan
sebagai penulis Ayub.[11]
Gagasan ini juga memiliki kekurangan, dalam Kitab Yeremia tidak
sekalipun disebutkan nama tokoh ini (Ayub). Biasanya ciri-ciri tulisan Yeremia
selalu menyebukan “Yerusalaem” dan “Israel”, tetapi khusus Kitab Ayub tidak ada
cerita yang dapat dengan Israel.
Ezra
Ezra dianggap sebagai ahli Kitab Perjanjian lama, maka dia dicalonkan sebagai
penulis Kitab Ayub pasca pembuangan. Teori ini didukung oleh penganut paham
“penulisan kemudian” pada Kitab Ayub. Penganut-penganut teori ini adalah para
teologi yang mengemukakan penulisan Ayub secara bertahap. Jadi, dimungkinkan
bahwa Ezra menyempurnakan (menambahkan) cerita Kitab ini pada zamannya.
Kebanyakan sarjana modern, yang menganggap penulisan antara tahun 600-250
Sebelum Masehi lebih menyetujui Yeremia dari pada Musa sebagai penulis Kitab
ini, yang kemudian ditambahkan oleh Yeremia. Masih banyak lagi usulan-usulan
yang lain tentang penulis Kitab ini, tetapi tidak ada kejelasan lebih lanjut.[12]
Kebanyakan teolog-teolog lebih menyetujui penambahan kemudian pada Kitab Ayub seperti halnya juga pendapat kebanyakan
dari kaum Katolik.[13]
Dari beberapa teori yang telah dikemukakan
itu, masih banyak lagi nama-nama yang pernah diusulkan seperti yang dituliskan
oleh Irving L. Jensen:
Penulis Kitab Ayub memakai nama samaran
dan waktu penulisan tidak dapat dipastikan. Dalam al ini penulisnya adalah
orang-orang yang namanya tertulis dalam Alkitab. Di antara nama-nama itu, yang
diusulkan sebagai penulis Ayub adalah Musa, Salomo pada zamannya (1 Raj. 4:29 -34), Yesaya, Yeremia, Barukh,
seorang nabi yang ditawan, dan Ayub.[14]
Kebanyakan
dari teolog beranggapan bahwa penulisnya adalah orang-orang yang hidup di
antara zaman Musa sampai pembuangan, seperti Anne Catherier Emmerich dan C. G.
Jung. Tetapi Jensen tetap beranggapan bahwa penulisnya hidup di antara zaman
Abraham sampai zaman Musa.[15]
Mengingat bahwa berbagai ragam teori tentang penulis Kitab Ayub
mulai bermunculan pada abad ke-20, maka berarti usulan-usulan ini masih belum
teruji. Lebih tepat mengikuti tradisi Yahudi bahwa penulis Kitab Ayub adalah
Musa, seperti yang diterima oleh Jensen. Sebab, tradisi itu berasal dari Talmud
yang mana zamannya lebih dekat dengan aman penulisan Kitab Ayub sendiri.
Kejelasan penulis Ayub lebih lanjut diketahui pada pembahasan berikutnya
tentang waktu penulisan. Jika penulisannya dilakukan pad aman raja-raja, maka
penulisnya pasti bukan Musa. Tetapi jika asal usul cerita ini dan waktu
penulisannya adalah sebelum zaman raja Daud, maka sangat memungkinkan Musa
sebagai penulisnya.
[1] W.S Lasor dkk., Pengantar
Perjanjian Lama 2, 105.
[2] Mc. Gee, Thru The Bible, (Nashylle: Thomas Nelson
Publisher, 1986), 582.
[3] Ibid.
[4] Jeffery P. Miller, Eksposisi
Perjanjian Lama 2, (Yogyakarta : Sekolah
Tinggi Teologi Injili Indonesia )
hal 36.
[5]Jameinson, dkk., Commentary on
the Whole Bible, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publisher House, 1999),
362.
[6] Ibid
[7] J. D. Douglas, peny., Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini, Jilid 1: A-L, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/
OMF, 1997), 113.
[8] Ani Teguh Purwanto, Diktat Pengantar Perjanjian Lama 2, (Surabaya : Sekolah Tinggi
Theologia Injili Indonesia ,
2002), 5.
[9] J. D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1:A-L,
(Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1999), 113.
[10] W.S. Lasor, dkk., Pengantar
Perjanjian Lama 2, 109.
[11] Ibid.
[12] Ani Teguh Poerwanto, Pengantar
Perjanjian Lama 2, (Surabaya :
Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia ,
2002),5.
[13] Dober, Seni Hidup, Sastra Hikmat
dalam Alkitab, (Yogyakarta: Kanisius, 1998)
[14] Irving L. Jensen, Jensen’s Survey of The Old Testament, (Chicago:
Moody Press, 1978), 259.

Amin Tuhan Isa memberkati
BalasHapus