Kamis, 12 Oktober 2017

Penyembahan dalam Liturgi Ibadah

Penyembahan daLAM Liturgi Ibadah

Ketika masih berstatus sebagai pelajar Sekolah Teologi, saya sering diajak untuk mengiringi musik dalam beberapa persekutuan doa. Pada suatu kesempatan saya diajak mengiringi musik dalam persekutuan doa para lansia (lanjut usia). Setelah selesai ibadah, seorang kakek mendekati saya dan menanyakan tempat saya melayani. Dengan jujur saya memberitahukan bahwa saya melayani di salah satu denominasi Gereja Pentakosta. Setelah mendengar bahwa saya melayani di Gereja tersebut, air muka kakek ini terlihat berubah. Kemudian ia menguraikan dengan berbagai argumen bahwa tidak dibenarkan melakukan tepuk tangan dalam Gereja, terutama pada saat ibadah. Pada tahun yang sama seorang teman Sekolah Teologi mengatakan kepada saya bahwa ia sangat tidak tertarik mengikuti ibadah Protestan, karena hal itu hanya akan meneyebabkan dia tertidur.
Cerita di atas merupakan representasi dari kebanyakan cara pandang orang-orang Kristen pada masa kini. Pada satu sisi ada Gereja-gereja yang begitu anti dengan perubahan dan perkembangan liturgi Gereja. Seolah mereka sudah terpola dengan liturgi yang diimpor dari Eropa. Mereka anti dengan tepuk tangan, mereka merasa risih dengan sorak-sorak dan tepuk tangan. Mereka lebih merasa nyaman dengan suasana yang hening. Pada sisi lain Gereja-gereja Kharismatik berniat melepaskan diri dari liturgi ibadah yang menurut mereka sangat kaku. Bersamaan dengan lahirnya Gereja Pentakosta, mereka mencoba mengekspresikan penyembahan dengan berbagai-bagai manifestasi. Cirikhas Gereja Pentakosta atau Kharismatik adalah adanya tepuk tangan, nyanyian sorak-sorai, dan menifestasi lain seperti bahasa roh, tangisan, nubuatan dan sebagainya.
Orang-orang Kharismatik menganggap liturgi Ibadah Katolik dan Protestan sebagai liturgi ibadah yang kaku, kuno dan tidak bergairah. Sedangkan kebanyakan anggota jemaat dari Gereja-gereja Katolik dan Protestan menganggap liturgi ibadah gereja Kharismatik sebagai ibadah yang kontemporer, tidak sopan dan cenderung kacau. Silang pendapat dan perdebatan megenai liturgi dari dua kubu ini menjadi luas. Akhirnya isu liturgi itu sendiri menjadi lebih penting dari pada hakikat penyembahan itu sendiri. Ada hal-hal relatif yang dimutlakkan, sedangkan hal-hal mutlak diabaikan. Ibadah dibahas sedemikian panjang, tetapi hakikat penyembahan hampir tidak pernah disinggung.        
Dalam buku ini, penulis mencoba menguraikan secara sederhana bagaimana liturgi berkaitan dengan penyembahan, berangkat dari kebenaran Kitab Suci dan diterapkan dalam kebaktian Gerejawi. Pemahaman akan liturgi ibadah akan mempengaruhi cara dan hakikat penyembahan kita. Jangan sampai kita lupa menyembah Allah hanya karena terlalu sibuk membahas liturgi, atau kita terlalu ekspresif dalam ibadah tetapi mengabaikan liturgi.

1.      Liturgi Ibadah dalam Alkitab
Istilah “liturgi” berasal dari bahasa Yunani “leitourgia” yang bermakna sebagai aktifitas ritual pelayanan para imam (Luk. 1:23); dan juga berarti kegiatan pelayanan Kristen.[1] Dalam Kamus Istilah Teologia yang disusun oleh Soedarmo, liturgi adalah tata kebaktian.[2] Pada masa Perjanjian Baru, istilah ini tidak begitu populer. Justru istilah yang dipakai lebih banyak mengacu pada istilah Perjanjian Lama yaitu Upacara atau Ritual ibadah. Istilah Liturgi kemudian berkembang seiring perkembangan Gereja, dengan mencoba memformulasikan susunan acara dalam ibadah atau kebaktian. Maka Gereja-gereja Protestan di Indonesai memahami liturgi sebagai susunan acara kegiatan ibadah. Di kalangan Gereja-gereja Lutheran, liturgi dikenal dengan sebutan “Agenda.”
Dalam Perjanjian Lama, liturgi telah dilaksanakan dan biasanya dikenal dengan istilah upacara keagamaan. Isu utamanya sebenaranya bukan susunan atau urutan-urutan kegiatannya, melainkan bentuk tanggapan umat terhadap penyingkapan Allah. Dalam kegiatan menanggapi anugerah dan penyingkapan diri Allah, umat Israel dituntun untuk melakukannya dengan cara yang sesuai dengan kehendak Allah. Umat Israel pada zaman Perjanjian Lama tidak boleh dengan sembarangan menghadap ke hadirat Allah. Untuk menegakkan kekudusan Allah dalam penyembahan, maka Allah sendiri memberikan petunjuk tantang liturgi yang patut dilaksanakan. Dalam kitab Keluaran dan Imamat ditemukan berbagai-bagai aturan dan tata cara ibadah Israel sesuai dengan petunjuk Tuhan.
Kendati liturgi ibadah tidak lebih penting dari hakikat penyembahan itu, namun liturgi ibadah juga tidak boleh diabaikan. Tata cara penyembahan Israel ditentukan untuk menuntun mereka pada pengalaman akan kebenaran Allah. Allah sendiri mengatur dan menitahkan tata cara menyelenggarakan kebaktian seperti yang diungkapkan dalam Keluaran 20:22-26 (band. Ul. 30:16).
Menurut Dyrness, sedikitnya ada dua nilai yang terkandung dalam liturgi ibadah dalam Perjanjian Lama yaitu pertama, bahwa perilaku kita itu membantu untuk meneguhkan, dan mengingatkan kita akan iman dan tanggungjawab kita; kedua, juga menjadi sarana untuk mengingatkan umat akan realitas Allah.[3] Unsur utama dalam liturgi bukan pada cara lahiriahnya, melainkan sikap batiniah.
Dalam perjanjian Baru, beberapa tata cara ibadah yang terlalu menekankan lahiriah berangsur diminimalkan. Kemudian Tuhan Yesus menunjuk suatu cara yang lebih mengacu pada hal-hal batiniah yaitu “Menyembah dalam roh dan kebenaran.” Kemudian Paulus menekankan cara penyembahan melalui pembaharuan sikap. Namun demikian Paulus juga mencela tata cara ibadah yang tidak teratur, terutama dalam memanifestasikan karunia-karunia Roh Kudus. Secara prinsip, Paulus menekankan tata cara ibadah yang teratur: “Tetapi segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur” (1 Kor. 14:40).

2.      Liturgi Ibadah Gerejawi
Meskipun Perjanjian Baru telah meniadakan tata cara lahiriah dalam liturgi ibadah Perjanjian Lama, namun Gereja masih memerlukan struktur ibadah dalam Gereja sebagai usaha untuk mewujudkan keteraturan. Jika tidak ada struktur atau susunan  ibadah, maka sangat besar kemungkinan terjadinya kekacauan. Tanpa susunan ibadah yang jelas, maka masing-masing orang akan melakukan penyembahan dengan cara yang tidak terstruktur. Dengan demikian maka dipastikan akan terjadi kekacauan. Kekacauan tidak mencerminkan sikap hormat kepada Allah, maka dipastikan bahwa tanpa penghormatan kepada Allah, penyembahan akan menjadi sia-sia.
Sesunguhnya liturgi ibadah dimaksudkan untuk melaksanakan ibadah dengan teratur. Keteraturan itu sendiri menunjukkan sikap hormat yang layak untuk Allah. Penekanannya bukan pada susunan acara itu melainkan sikap menghadap kepada Tuhan dan bersama-sama jemaat menyatakan korban syukur kepada Allah. Unsur terpenting dalam liturgi ibadah adalah iman, yang kemudian meluas dalam wujud kasih, korban syukur, dan segala hal yang berkenan kepada Allah.
Liturgi dalam ibadah Gerejawi membentuk pengalaman orang percaya akan kemuliaan dan keajaiban Allah. Bagi Olst, dua aspek yang terdapat dalam liturgi ibadah yaitu proklamasi dan ekspresi.[4] Pada satu sisi liturgi mengatur hubungan dengan penyataan Allah, kesaksian tampil ke muka dan proklamasi terjadi. Pada sisi yang lain, liturgi ibadah mengatur tanggapan atas Pribadi Allah dan panggilan-Nya. Melalui liturgika, orang percaya menyatakan tindakan penyerahan dirinya kepada Allah dan memuliakan nama-Nya. Kedua sisi ini tidak dapat dipisahkan. Susunan liturgi ibadah harus didasarkan pada dua sisi ini.
Meskipun pada hakikatnya liturgi ibadah berhubungan dengan penyelenggaraan penyembahan kepada Allah, dengan mencakup kedua sisi di atas (proklamasi dan ekspresi), namun gereja menginterpretasikan dan menerapkannya secara berbeda. Gereja Katolik mementingkan ekaristi dan perjamuan kudus dalam liturgi ibadah. Sedangkan gereja-gereja reformasi menempatkan pemberitaan firman sebagai pusat liturgi ibadah. Sementara itu Gereja-gereja Pentakosta atau Kharismatik menekankan pengunaan karunia-karunia Roh Kudus dalam kebaktian.
Dari berbagai denominasi Gereja-gereja Tuhan, ada unsur-unsur yang sama yang pasti ada dalam liturgi ibadah meskipun urutan-urutannya berbeda. Unsur-unsur itu meliputi pemberitaan firman, doa, pengakuan iman, nyanyian pujian dan penyembahan, pemberian kolekte (persembahan) dan doa. Beberapa hal lain yang dimasukkan dalam liturgi ibadah antara lain warta gereja (pengumuman), kesaksian, dan doa syafaat.

Evaluasi Liturgi Ibadah Protestan
Di kalangan Gereja-gereja yang mengikuti pola liturgi dari Eropa, liturgi ibadah biasanya dimulai dengan votum atau salam dan doa pembuka.[5] Kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu puji-pujian, pengakuan dosa, pemberitaan firman, doa syafaat, pengakuan iman, dan biasanya diakhiri dengan doa berkat dan nyanyian doxologi.[6]
Dengan memperhatikan fakta dalam kehidupan gereja pada masa kini, tuduhan dari kelompok Kristen Kharismatik bahwa Ibadah dengan pola liturgi semacam itu lebih bersifat kaku, bukanlah tanpa alasan. Memang kebanyakan orang Kristen aliran Protestan lebih mengutamakan keheningan, kekhusukan dari pada gairah ibadah itu sendiri. Akhirnya substansi penyembahan dalam kebaktian itu tidak dapat diekspresikan dengan bebas.
Musik klasik yang diadopsi dari Gereja-gereja Eropa abad pertengahan masih terus dipertahankan. Akibatnya tidak sedikit anak-anak muda mulai meninggalkan denominasi Gereja mereka dan masuk ke tempat-tempat ibadah di mana mereka dapat mengekspresikan gairah penyembahan yang tidak terlalu kaku. Di sampaing itu, banyak anak-anak muda dari kalangan gereja-gereja dengan liturgi yang terlalu kaku eksodus ke tempat-tempat ibadah yang dianggap lebih ekspresif dengan alasan eksplorasi bakat atau karunia, atau dalam bahasa Kharismatik disebut “Mengembangkan talenta.”
Pola-pola ibadah yang telah disusun dan diatur sedemikian memang bertujuan untuk mengarahkan jemaat pada liturgi yang lebih teratur, namun pada sisi lain bukan tidak mungkin jemaat yang tidak mengerti hanya mengucapkan bacaan-bacaan berbalasan atau bersahutan itu sebagai rutinitas, padahal hakikat dan maknanya tidak mereka hayati. Akhirnya ibadah menjadi suatu aktifitas tradisional keagamaan.
Namun demikian bukan berarti bahwa liturgi ibadah yang seperti itu harus ditiadakan. Justru penulis melihat bahwa liturgi ibadah ini menuntut kedisiplinan dari seluruh jemaat yang mengikuti kebaktian. Penulis juga yakin bahwa susunan liturgi yang berlaku itu telah digumulkan oleh orang-orang yang bersungguh-sungguh di dalam Tuhan. Ada nilai keteraturan dalam liturgi ibadah yang semacam itu, yang mana telah ditiadakan dalam liturgi ibadah gereja Kharismatik.

Evaluasi Liturgi Ibadah Kharismatik
Liturgi ibadah di kalangan Gereja-gereja Pentakosta atau Kharismatik diadopsi dari benua Amerika, bersamaan dengan lahirnya Gerakan Pentakosta itu sendiri. Tidak dapat disembunyikan kenyataan bahwa terbentuknya liturgi ibadah di kalangan Gereja Kharismatik merupakan bentuk pemberontakan terhadap liturgi ibadah yang dianggap terlalu kaku dari Eropa. Gerakan ini menilai bahwa ada unsur-unsur ibadah dan penyembahan yang diabaikan terutama pengunaan karunia-karunia Roh Kudus. Gerakan ini tidak mau terikat dengan kebakuan yang ada, mereka ingin mengeksplorasi karunia-karunia Roh Kudus yang mereka miliki. Maka di kalangan Gereja-gereja Pentakosta atau Kharismatik ditemukan suasana ibadah yang menurut pengautnya lebih hidup, ada manifestasi-manifestasi kuasa Roh Kudus, dan ada gerakan-gerakan atau terobosan-terobosan lain.
Gerakan ini sebenarnya merupakan usaha pembaharuan ibadah dan penyembahan dalam kekristenan. Namun bersamaan dengan usaha pembaharuan itu, ada unsur-unsur liturgi penting yang ikut dikesampingkan. Penggunaan karunia lebih mengemuka dari pada Pendalaman Alkitab atau Pemberitaan Firman. Dapat dikatakan bahwa pengajaran dalam kegiatan ibadah di Gereja-gereja Kharismatik terlalu sedikit. Maka akibatnya, kebanyakan jemaat tidak memahami hakikat iman Kristen yang sebenarnya. Mereka hanya tahu bahwa mereka orang Kristen, dan bahwa Yesus mampu melakukan segala sesuatunya. Bukan tidak mungkin bahwa penyembahan yang mereka lakukan hanya untuk ekspresi dan kepuasan diri, tanpa memperhatikan kemuliaan Allah.
Selain itu, keterbukaan Gereja Kharismatik terhadap perkembangan zaman, juga ikut meracuni liturgi ibadah mereka. Pengaruh “Gerekan Zaman Baru” (New Age Movement) seperti aktualisasi diri, kata-kata sugesti, pertapaan dan sebagainya telah masuk dalam Gereja. Maka kebanyakan jemaat tidak dapat membedakan mana iman dan mana sugesti. Mereka diyakinkan dengan mengatakan “Saya pasti Sukses,” “Saya pasti sembuh,” dan sebagainya sebagai kata-kata iman. Padahal kata-kata itu lebih merupakan kata-kata sugesti. Hal-hal yang semacam ini telah masuk sampai pada liturgi Gereja.
Gerakan Kharismatik bukan tanpa pembaharuan. Tidak sedikit orang yang telah bertobat dan menerima keselamatan karena gerakan ini. Banyak orang merasakan berkat Allah juga karena gerakan pembaharuan ini. Gereja-gereja Kharismatik pada masa kini mulai membuka diri untuk belajar firman melalui Seminari-seminari Alkitab. Bahkan bebarapa denominasi Gereja Pentakosta dan Kharismatik mulai menerapkan syarat Sarjana Strata satu bagi calon Pendeta. Ini merupakan sinyal positif supaya pemimpin-pimimpin Gereja kembali kepada kebenaran Alkitab.
Alangkah baiknya apabila pembaharuan Gereja dikukan dengan tetap memperhatikan unsur-unsur penting dalam liturgi ibadah. Tujuannya adalah supaya penyembahan dalam Gereja menjadi hidup dan bergairah. Gereja-gereja dengan liturgi ala Protestan juga harus lebih membuka diri terhadap perkembangan tata cara ibadah itu sendiri. Tujuannya adalah supaya ibadah dan penyembahan tetap hidup. Allah dimuliakan dalam kebaktian yang dilaksanakan. Ini adalah tugas generasi Kristen pada masa kini. Maka saya dan semua pembaca harus berdoa dengan sungguh-sungguh serta memberikan pengaruh yang baik dalam gereja lokal kita supaya penyembahan menjadi bergairah.  Penyembahan dalam liturgi ibadah kita harus konstruktif, kreatif dan inovatif.



[1] Bible Works, ver. 7.0. Software Alkitab, Lexicon Bible, Fribergr Greek Lexicon, 17173. [CD ROM].
[2] R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 51.
[3] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2004),  124.
[4] E. H. van Olst, Alkitab dan Liturgika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 123
[5] Votum adalah pembacaan vote atau pengagungan kepada nama Tuhan yang biasanya dilakukan untuk mengawali sebuah ibadah. Votum bisa berupa doa berkat atau doa meminta Tuhan memberkati ibadah yang akan dilakukan. Atau dengan kata lain votum dipakai untuk menahbiskan suatu upacara ibadah.
[6] Doxologi merupakan istilah yang diadopsi dari kata doxa (yaitu memuliakan), yang berarti Nyanyian pujian untuk memuliakan Allah Tritunggal. Oleh gereja-gereja Protestan, nyanyian doxologi ini dipakai sebagai nyanyian penutup kebaktian/ibadah.


Oleh: Hasrat P. Nazara, S.Th







Minggu, 08 Oktober 2017

Siapakah Penulis Kitab "Ayub"




Penulis Kitab Ayub

Tidak ada kepastian yang mutlak untuk menyimpulkan penulis Kitab  Ayub, bahkan bukti-bukti dan tanda-tanda yang menunjuk kepada pengarangnya sangat minim. Oleh karena itu terdapat pendapat yang berbeda-beda mengenai penulisnya berdasarkan masing-masing teori yang diajukan. Bagaimana pun juga teori ini memiliki kekurangan dan kelebihan satu dengan yang lainnya. Dalam teori-teori ini beberapa nama telah diusulkan atau dikemukakan sebagai penulis Kitab  Ayub seperti Ayub sendiri, Elihu, Musa, Salomo, Yeremia, maupun Ezra. Uraian tentang teori-teori ini adalah sebagai berikut:

Ayub
Ada beberapa sarjana yang mengemukakan teori bawa Ayub sendiri adalah penulis Kitab  Ayub ini. Mereka mengemukakan dalam sejarah karya seni, jarang ada orang yang meninggalkan warisan yang begitu indah namun tidak memberi bukti jati dirinya, keadaan atau motivasinya. Oleh karena itu lebih tepat bila disimpulkan Ayub sebagai penulisnya. Alasan dari pendapat ini adalah hanya Ayub sendiri yang paling mengerti kisah ini dan penyingkapan kebenaran Allah melalui pengalamannya.
Pendapat ini sepertinya didukung oleh W.S Lasor, D.A Hubbard, dan F.W. Bush seperti yang terdapat dalam buku mereka Pengantar Perjanjian Lama 2. Dalam buku ini dikemukakan beberapa hal tentang penulis yaitu:
Agaknya ia tentunya mengalami penderitaan yang sama seperti Ayub, karena pengenalannya terhadap keadaan Ayub begitu jelas;
Ia menemukan kelegaannya dari kepedihannya dalam pertemuannya dengan Allah yang sama seperti gambar dan begitu mengesankan tentang jawaban Allah dari dalam badai (Ayub 34-41; Bnd. Mzm 73:17);
Ia betul-betul memahami teknik-teknik hikmat dan tradisi, sebagaimana dinyatakan dalam tema dan cara-cara penulisannya;
Penderitaannya membuatnya berselisih dengan pendapat hikmat tradisional, yang mengajarkan pola-pola mutlak mengenai hukuman Ilahi dalam Alam semesta;
Berkat selalu merupakan buah kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam tema dan cara-cara penulisannya;
Penderitaannya membuatnya berselisih dengan pendapat hikmat tradisional, yang mengajarkan pola-pola mutlak mengenai hukuman Ilahi dalam alam semesta-berkat selalu merupakan buah kebenaran, upah dosa selalu merupakan penderitaan;
Ia seorang Israel, sebagaimana ditunjukkan dalam pandangannya tentang kuasa Allah, seruannya akan keadilan Allah dan etikannya yang tak dapat disalahkan (Ayub 31:1-40);
Ia memilih tempat kejadian cerita itu di tanah Us di luar Israel (entah dibagian selatan Edom atau di sebelah timur Gilead), karena tempat itu adalah  sumber kisah kuno tersebut dan juga Karena penderitaannya seperti itu menggambarkan pengalaman manusia secara universal; dan
Dia menceritakan pengalamannya untuk menguatkan temannya dan atau muridnya menghadapi penderitaan yang mungkin akan menimpa mereka, bahkan dengan lebih mahir daripada sahabat-sahabatnya orang bijak yang menulis Mazmur 37;39 dan 73.[1]

Tetapi ada beberapa kelemahan dari teori-teori ini yaitu: pertama, dalam Kitab  Ayub tidak terdapat tulisan yang mengindikasikan orang pertama tunggal sebagai penulis, sekalipun ada ucapan Elihu tentang pendapatnya.
Yang kedua, cerita dalam Kitab  Ayub tidak dapat membuktikan bahwa penulis Ayub adalah orang Israel, hanya saja hukum-hukum yang terdapat di dalam Kitab  Ayub memiliki persamaan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam etika Israel.

Elihu
Elihu disebut dalam Kitab  Ayub dan ada beberapa orang yang menganggap dia sebagai penulisnya. Alasan ini didukung kuat oleh cerita dalam Kitab  Ayub pasal 32-37, pernyataan-pernyataannya yang salah. Elihulah yang paling mengerti permasalahan dalam kisah itu.
Dalam Thru The Bible bahwa percakapan dalam pasal 32:16-17 lebih mengacu kepada penulis.[2] Kata ganti orang pertama dalam ayat-ayat ini bukanlah kata ganti orang pertama dalam percakapan melainkan orang pertama dalam hal mengutarakan perasaannya sebagai penulis kepada orang lain sebagai pembaca. Nampaknya Mc Gee menyetujui pendapat ini.
Dalam Ayub 32:16-17 “Haruslah aku menunggu (bukan pembicaraan Ayub dengan ketiga temannya, tetapi bahwa cerita itu telah dihentikan) “…akupun telah memberi sanggahan pada giliranku.” Ini bukan mengacu pada konteks percakapan, tetapi gagasan yang keluar dari pikiran Elihu sebagai pengarangnya”.[3]

Namun gagasan ini tidak banyak diterima di antara teologi-teologi Injili lainnya. Ayat ini lebih dianggap sebagai satu kesatuan puisi yang dimulai dari pasal 3 sampai pasal 42, artinya pernyataan Elihu dalam ayat ini merupakan rangkaian percakapan dari sudut pandang penulis.

Musa
Teori ini lebih banyak dipegang oleh orang-orang Injili yang ada di Indonesia. Asumsi ini diturunkan dari tradisi Israel yang mempercayai Musa sebagai penulisnya. Hal ini tercantum dalam Talmud (Talmud adalah hukum Lisan yang sudah ada menjelang akhir abad 2M yang dikumpulkan oleh para Nabi Yehuda) ia mencatat bahwa Kitab  Ayub dipersiapkan oleh Musa pada waktu ia berada di tanah Midian.[4] Menurut Talmud ini, Musa mendengar cerita-cerita ini dari luar Israel (Midian) ketika ia melarikan diri dari hadapan Firaun.
Menurut Jameison, Fausset, dan Brown: Musa terinspirasi oleh cerita rakyat selama 40 tahun penggembalaannya di tanah Midian sekitar tahun 1520 sebelum masehi.[5] Musa sengaja menyembunyikan cerita ini kepada bangsa Israel untuk menunjukkan eksklusifisme bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah. maksudnya supaya bangsa Israel tidak mencampuradukkan budaya mereka dengan budaya bangsa di luar Israel. Fakta ini juga didukung oleh pernyataan Paulus dalam I Korintus 3:19 yang sejajar dengan Ayub 5:13. “Demikian juga Yakobus 4:10 dan I Petrus 5:6 dengan Ayub 22:29; Roma 11:34, 35 dengan Ayub 15:8”. Bagi Brown, mungkin Ayub adalah Kitab  tertua bahkan buku tertua di dunia.[6]
Anggapan ini juga seolah menunjukkan bahwa Kitab  tertua adalah Kitab  Ayub (bukan Taurat). Pandangan ini didukung oleh sebagian besar dosen-dosen Sekolah Tinggi Teologia Injili Indonesia seperti Jeffrey P. Miller, dll. Namun tetap harus diakui bahwa tidak ada teori yang sempurna yang membuktikan penulis Ayub. Dalam semua tulisan-tulisan dan ajaran-ajaran Musa dalam hukum Taurat tidak disinggung sama sekali tentang Ayub atau cerita tentang  penderitaan yang melanda tokoh ini. juga dilihat dari gaya penulisan, tidak mutlak mirip dengan gaya bahasa penulisan dalam Kitab  Pentateukh sebagai Kitab  yang ditulis oleh Musa.

Salomo
Dugaan bahwa Salomo yang menulis Ayub adalah karena hikmat yang terdapat dalam puisi Kitab  Ayub disejajarkan dengan hikmat dalam Kitab -kitab yang ditulis oleh Salomo. Menurut teori ini, memang Ayub telah dikenal sejak jaman sebelumnya, namun penulisan secara teratur baru dilakukan pada zaman Salomo. Orang yang pertama kali mengungkapkan pendapat ini adalah Delitzsch dan E. J. Young.[7] Mereka memperkirakan tarikh penulisan Kitab  Ayub sekitar 600 sebelum masehi, dan mungkin lebih muda lagi. Ada juga pendapat umum yang biasa diterima adalah antara tahun 600-400 Sebelum Masehi.
Dalam Diktat Pengantar Perjanjian Lama 2 Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia, dituliskan bukti-bukti tentang kepenulisan Salomo yang bisa dikomposisikan sebagai berikut:
Pertama, kenikmatan hidup yang digambarkan itu menunjukkan periode orang kenikmatan materi.
Kedua, kemiripan dari pujian-pujian hikmat.
Ketiga, Pengetahuan luas akan negeri-negeri asing (seperti menunjukkan zaman Salomo) terlihat dalam Kitab Ayub.[8]

Walaupun ada bukti-bukti kuat yang tentang penulis zaman sebelum Salomo, penganut teori ini berasumsi bahwa hal ini hanya merupakan kekunoan cerita dan bukan menunjukkan kekunoan bentuk sastranya.[9] Namun demikian, harus diakui bahwa ada beberapa sanggahan dalam teori ini. dalam tulisan-tulisan Salomo yang lain, tidak menyinggung tentang penderitaan yang seperti ini, juga penulisnya seolah lebih dekat ke zaman cerita itu. Apalagi ada beberapa pendapat yang meninjau perbedaan antara prosa dan puisi.

Yeremia
Asumsi dasar atas argumen ini adalah, gagasan pertama adalah Ayub 3:3-26 memiliki kemiripan dengan Yeremia 20:14:18.[10] Asumsi kedua adalah pada zaman pembuangan banyak Kitab yang dibakar atau hilang pada zaman pembuangan, sehingga oleh kuasa Allah Yeremia kembali menuliskannya. Gagasan ketiga adalah Karena Yeremia lebih banyak memfokuskan perhatian pada berbagai penderitaan, juga termasuk dalam Kitab  Ratapan. Tidak diketahui pembuat gagasan ini, tetapi dalam Eksposisi Perjanjian Lama 2 disebutkan bahwa Yeremia adalah salah satu colon yang diusulkan sebagai penulis Ayub.[11]
Gagasan ini juga memiliki kekurangan, dalam Kitab Yeremia tidak sekalipun disebutkan nama tokoh ini (Ayub). Biasanya ciri-ciri tulisan Yeremia selalu menyebukan “Yerusalaem” dan “Israel”, tetapi khusus Kitab Ayub tidak ada cerita yang dapat dengan Israel.

Ezra
Ezra dianggap sebagai ahli Kitab Perjanjian lama, maka dia dicalonkan sebagai penulis Kitab Ayub pasca pembuangan. Teori ini didukung oleh penganut paham “penulisan kemudian” pada Kitab Ayub. Penganut-penganut teori ini adalah para teologi yang mengemukakan penulisan Ayub secara bertahap. Jadi, dimungkinkan bahwa Ezra menyempurnakan (menambahkan) cerita Kitab ini pada zamannya. Kebanyakan sarjana modern, yang menganggap penulisan antara tahun 600-250 Sebelum Masehi lebih menyetujui Yeremia dari pada Musa sebagai penulis Kitab ini, yang kemudian ditambahkan oleh Yeremia. Masih banyak lagi usulan-usulan yang lain tentang penulis Kitab ini, tetapi tidak ada kejelasan lebih lanjut.[12] Kebanyakan teolog-teolog lebih menyetujui penambahan kemudian pada Kitab  Ayub seperti halnya juga pendapat kebanyakan dari kaum Katolik.[13]
Dari beberapa teori yang telah dikemukakan itu, masih banyak lagi nama-nama yang pernah diusulkan seperti yang dituliskan oleh Irving L. Jensen:
Penulis Kitab Ayub memakai nama samaran dan waktu penulisan tidak dapat dipastikan. Dalam al ini penulisnya adalah orang-orang yang namanya tertulis dalam Alkitab. Di antara nama-nama itu, yang diusulkan sebagai penulis Ayub adalah Musa, Salomo pada zamannya (1 Raj. 4:29-34), Yesaya, Yeremia, Barukh, seorang nabi yang ditawan, dan Ayub.[14]

Kebanyakan dari teolog beranggapan bahwa penulisnya adalah orang-orang yang hidup di antara zaman Musa sampai pembuangan, seperti Anne Catherier Emmerich dan C. G. Jung. Tetapi Jensen tetap beranggapan bahwa penulisnya hidup di antara zaman Abraham sampai zaman Musa.[15]
Mengingat bahwa berbagai ragam teori tentang penulis Kitab Ayub mulai bermunculan pada abad ke-20, maka berarti usulan-usulan ini masih belum teruji. Lebih tepat mengikuti tradisi Yahudi bahwa penulis Kitab Ayub adalah Musa, seperti yang diterima oleh Jensen. Sebab, tradisi itu berasal dari Talmud yang mana zamannya lebih dekat dengan aman penulisan Kitab Ayub sendiri. Kejelasan penulis Ayub lebih lanjut diketahui pada pembahasan berikutnya tentang waktu penulisan. Jika penulisannya dilakukan pad aman raja-raja, maka penulisnya pasti bukan Musa. Tetapi jika asal usul cerita ini dan waktu penulisannya adalah sebelum zaman raja Daud, maka sangat memungkinkan Musa sebagai penulisnya.



[1] W.S Lasor dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2, 105.
[2]  Mc. Gee, Thru The Bible, (Nashylle: Thomas Nelson Publisher, 1986), 582.
[3] Ibid.
[4] Jeffery P. Miller, Eksposisi Perjanjian Lama 2, (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia) hal 36.
[5]Jameinson, dkk., Commentary on the Whole Bible, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publisher House, 1999), 362.
[6] Ibid
[7] J. D. Douglas, peny., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1: A-L, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 1997), 113.
[8]  Ani Teguh Purwanto, Diktat Pengantar Perjanjian Lama 2, (Surabaya: Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia, 2002), 5.
[9] J. D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1:A-L, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1999), 113.
[10] W.S. Lasor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2, 109.
[11] Ibid.
[12] Ani Teguh Poerwanto, Pengantar Perjanjian Lama 2, (Surabaya: Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia, 2002),5.
[13] Dober, Seni Hidup, Sastra Hikmat dalam Alkitab, (Yogyakarta: Kanisius, 1998)
[14] Irving L. Jensen, Jensen’s  Survey of The Old Testament, (Chicago: Moody Press, 1978), 259.
[15] Ibid.




Oleh: Hasrat P. Nazara, S.Th & Yuningsih Nona Ina, S.Th





Jumat, 06 Oktober 2017

Makna Ungkapan
“AMIN”
I.        Prolog
o   Sebagai orang percaya, kita sering mengucapkan/mengungkapkan Kata “AMIN”
o   Mengungkapkan “Amin” yang disertai dengan pengertian dan komitmen yang benar akan menghasilkan kuasa yang luar biasa.

II.      Bacaan Alkitab
       Mzm 106:48 (mewakili PL)
Terpujilah TUHAN, Allah Israel, dari selama-lamanya sampai selama-lamanya, dan biarlah seluruh umat mengatakan: "Amin!" Haleluya!
       2 Kor. 1:20-22 (Mewakili PB)
Sebab Kristus adalah "ya" bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan "Amin" untuk memuliakan Allah. Sebab Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi,memeteraikan tanda milik-Nya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita.

III.    Pengertian dan Etimologi
       Kata “Amin” berasal dari akar kata Ibrani “AMAN” yang berarti “percaya, dengan sungguh”
       Rumpun kata yang sama adalah “emet” (kebenaran); “emuna” (kesetiaan)
       Secara etimoligis kata ini memiliki pengertian:
-          berpegang teguh pada janji Allah
-          Allah yang setia
-           Demikianlah hendaknya terjadi
-           Percaya, (beriman)
       Kata ini dipakai dalam bahasa Yunani, yang ditransliterasikan dari kata Ibrani “Amin”

IV.    Penggunaan dalam PL
       Untuk mengesahkan firman dan janji Tuhan terutama yang berhubungan dengan janji berkat atau kutuk (Bil 5:22; Ul 27:15 dab; Neh 5:13; Yer 11:5).
       Untuk menyambut suatu pengumuman atau suatu nubuat tentang hal yg baik (1 Raj. 1:36;Yer 28:6)
       Untuk memuliakan Allah (Mzm 41:13; 72:19; 89:53  “Terpujilah TUHAN untuk selama-lamanya! Amin, ya amin.”
Ø  Caranya: mengangkat tangan, berlutut, sujud menyembah (Neh. 8:7).

V.      Penggunaan dalam PB
o   Dipakai oleh Tuhan Yesus untuk menyatakan suatu kebenaran (Yoh. 3:3).
o   Tuhan Yesus adalah kebenaran, Ia adalah ya dan Amin (2 Kor. 1:20)
o   “Amin” berhubungan dgn pengharapan akan semua janji Allah di dalam Kristus, danmenunjukkan iman sebagai pengharapan yang pasti (Ibr. 11:1)
o   Menunjukkan keteguhan iman seseorang dalam mempercayai pemeliharaan Allah
o   Untuk menyatakan kepastian kedatangan Tuhan Yesus, sehingga ia disebut Yang Amin (Why. 1:20).
VI.    Penggunaan pada masa kini
o   Untuk menyambut Firman Allah
o   Untuk menunjukkan iman kepada Allah
o   Untuk mengakhiri ibadah atau doa

VII.  Aplikasi dalam hidup kita
Mengungkapkan kata “Amin” berarti
       Percaya kepada Allah
       Berkomitmen memuliakan Allah
       Berkomitmen mempercayai bahwa doa kita dijawab oleh Tuhan.
Ø   Mari berkata “Amin”  Untuk kemuliaan Allah.




Oleh: Hasrat P. Nazara, S.Th