Kamis, 25 Mei 2023

MODERASI BERAGAMA (Dalam Perspektif Kristen)

MODERASI BERAGAMA

Salah satu program pemerintah melalui kementrian Agama untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur adalah Program Penguatan Moderasi Beragama yang telah dimulai sejak tahun 2019.[1] Moderasi Beragama ini merupakan salah satu poin dari tiga Mantra Kementrian Agama. Adapun Mantra kementrian Agama yang dimaksud terdiri dari tiga bagian yaitu Moderasi Beragama, Kebersamaan dan Integrasi Data. Pemerintah melalui Kementrian Agama sungguh memberikan perhatian yang serius untuk melestarikan keadaan masyarakat yang damai dan hidup dalam kerukunan.

Program Tiga Mantra Kementrian Agama ini semakin difokuskan pada Program Penguatan Moderasi beragama yang pada intinya menjaga kehidupan masyarakat Indonesia tetap rukun sekalipun terdiri dari masyarakat yang plural terutama dalam hal Agama dan Kepercayaan. Kementrian Agama terus melaksanakan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan Moderasi beragama baik melalui lembaga-lembaga Pendidikan maupun melalui organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga keagamaan.

Masalah keagamaan merupakan salah satu isi yang sensitif dan berpotensi menimbulkan konflik sehingga dapat merusak toleeransi beragama. Kepentingan ini diketahui oleh kementrian Agama sehingga Mentri Agama sehingga terus menekankan Moderasi Beragama kepada jajarannya:

Saya berpesan tentang tiga hal penting yang harus diperhatikan Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementrian Agama (Kemenag) dalam menginplementasikan Moderasi Beragama. Pertama, ASN Kemenag harus bersungguh-sungguh mengikuti Master Training Moderasi Beragama yang telah dirancang Kelompok Kerja. Master Training Moderasi Beragama akan digelar secara bergilir, mulai dari pejabat eselon 1 hingga ke bawah.[2]

 

Yaqult berpendapat bahwa Moderasi Beragama merupakan salah cara ampuh untuk mlestarikan keberagaman Agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Lukman Hakim Syaifuddin juga telah menyampaikan pandangan yang sama:

Di Indonesia, dalam era demokrasi yang serba terbuka, perbedaaan pandangan dan kepentingan di antara warga negara yang sangat beragam itu dikelola sedemikian rupa, sehingga semua aspirasi dapat tersalurkan sebagaimana mestinya. Demikian halnya dalam beragama, konstitusi kita menjamin kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.[3]

 

Ada komitmen dan harapan yang kuat bahwa upaya menyerap semua aspirasi beeragama melalui Moderasi beragama mampu membendung berbagai tantangan dalam upaya melestarikan keharmonisan dalam masyarakat khususnya dalam hal toleransi beragama.

Ini adalah program pemerintah secara besar-besaran.[4]Sebagai tindak cepat dari program  ini, Kementrian Agama telah membentuk Kelompok Kerja yang bekerja melakukan penelitian berhubungan dengan moderasi beragama. Hasilnya sangat luar biasa, yaitu terdapat dua kategori praktik moderasi beragama yaitu pasif dan aktif. Moderasi beragama yang pasif merupakan pengajaran modeerasi beragama yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan yang lebih mengacu pada pemenuhan kebutuhan personal individu sebagai landasan kehidupan orang yang dibina. Sedangkan Moderasi beragama yang aktif mengajar warga binaan untuk membangun relasi sosial keagamaan yang jauh lebih erat dan produktif. Ini dilakukan untuk tujuan keagamaan dan tujuan kebangsaan.[5] Berdasarkan hasil temuan dari kelompok kerja yang telah dibentuk ini, maka diketahui bahwa Moderasi beragama perlu diperkuat dalam rangka mewujudkan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang diprogramkan pemerintah saat ini.

Program moderasi beragama ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Alkitab. Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Kristen menjalankan dan mengimplementasikan program ini melalui beberapa kebijakan teknis. Konsep praktisnya adalah menterjemahkan program pemerintah melalui bahasa Alkitab. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pengertian moderasi beragama, prinsip iman kristen memahami program ini sebagai implementasi dari perintah Tuhan untuk saling mengasihi (Luk. 10:27), dan saling menerima (Roma 15:7), juga sebagai penerapan perintah Tuhan untuk tunduk kepada pemerintah (Roma 13:1-3). Program Pemerintah ini pertama-tama disampaikan kepada seluruh jajaran pemerintah, secara khusus kepada jajaran kementrian Agama. Berdasarkan program wajib ini, maka Direktorat Jendral Bimas Kristen melaksanakan penguatan moderasi beragama di kalangan Gereja-gereja maupun lembaga-lembaga kristen lainnya yang kemudian diteruskan sampai kepada seluruh masyarakat Kristen. Demikian juga penguatan Moderasi Beragama diteruskan melalui pendidikan keagamaan kristen: sekolah-sekolah, kampus-kampus dan oraganisasi-organisasi Kristen. Bahkan dalam usaha penguatan program ini lembaga-lembaga Kristen didorong untuk bekerjasama dengan lembaga-lembaga keagamaan dari Agama lain.

1.      Konseptual Moderasi Beragama

Konsep Moderasi Beragama yang saat inin terus imp;ementasinya sedang dikuatkan dilatarbelakangi oleh tekat pemerintah mewujudkan masyarakat yang harmonis dan toleran dalam beragama, serta mengantisipasi munculnnya ajaran agama yang radikal. Program ini tidak dimaksudkan sebagai lawan dari radiklisme melainkan untuk melawan ekstrim berlebihan baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Pemahaman Konsep Moderasi Beragama ini harus dipastikan mengingat adanya kemungkinan kesalahpahaman memahami progrm ini,

Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak teguh pendiriannya, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya. Moderat disalahpahami sebagai kompromi keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama lain. Seorang yang moderat seringkali dicap tidak paripurna dalam beragama, karena dianggap tidak menjadikan keseluruhan ajaran agama sebagai jalan hidup, serta tidak menjadikan laku pemimpin agamanya sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Umat beragama yang moderat juga sering dianggap tidak sensitif, tidak memiliki kepedulian, atau tidak memberikan pembelaan ketika, misalnya, simbol-simbol agamanya direndahkan dan sebagainya.[6]

Anggapan keliru lain yang lazim berkembang di kalangan masyarakat adalah bahwa berpihak pada nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam beragama sama artinya dengan bersikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar yang sudah jelas tertulis dalam teks-teks keagamaan, sehingga dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, mereka yang beragama secara moderat sering dihadaphadapkan secara diametral dengan umat yang dianggap konservatif dan berpegang teguh pada ajaran agamanya. Kesalahpahaman terkait makna moderat dalam beragama ini berimplikasi pada munculnya sikap antipati masyarakat yang cenderung enggan disebut sebagai seorang moderat, atau lebih jauh malah menyalahkan sikap moderat.[7]

Untuk memastikan keseragaman dalam pemahaman secar benar, maka diperlukan sosialisasi yang memadai melalui pelatihan-pelatihan moderasi Agama, sosialisasi melalui bimbingan teknis, sosialisasi melalui media-media dan sebagainya. Dengan sosialisasi ini, maka implementasi penguatan Moderasi beragama terlaksana sesuai dengan tujuannya yang telah diprogmkan oleh Pemerintah. Pada dasarnya koseptual moderasi beragama diuraikan melalui Pengertian dan lingkupan moderasi beragama itu.

a.      Pengertian Moderasi Beragama

Secara etimologi kata moderasi berasal diartikan sebagai “pengurangan kekerasan; dan penghindaran keekstreman.”[8] Dari kata ini muncul istilah “Moderat” yang artinya “selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem; dan berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.[9] Dalam konteks moderasi beragama isitilah ini tidak dimaksudkan meleburkan ajaran agama melainkan cara pandang kehidupan beragama di tengah masyarakat yang plural. Dari pengertian ini nantinya muncul istilah “moderat” yaitu penganut agama yang moderat.

Moderasi beragama merupakan suatu sikap memiliki pengetahuan yang sangat luas, selalu berhati-hati dan mampu mengendalikan emosi untuk tidak melebihi batas pandang/perilaku. Dapat dikatakan bahwa moderasi beragama merupakan suatu cara memposisikan diri di tengah-tengah, selalu bertindak adil dan berimbang.[10] Ali Ramdani menegaskan pengertian Moderasi Beragama yaitu:

“Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bernegara,”[11]

 

Program Moderasi Beragama ini tidak mengubah sedikitpun esensi dari ajaran masing-masing agama. Yang dimoderasikan adalah cara pandang, sikap dan perilaku dalam mengakomodir perbedaan. Perbedaan yang ada tidak boleh menjadi alasan untuk intoleran atau diskriminasi.

Hal ini yang dimaksudkan Lukman Hakim dalam tulisannya, bahwa karakter moderasi beragama meniscayakan adanya keterbukaan, penerimaan, dan kerjasama dari masing-masing kelompok yang berbeda. Karenanya, setiap individu pemeluk agama, apa pun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan pemahaman keagamaan di antara mereka.[12] Dengan demikian maka masing-masing penganut agama yang berbeda dapat saling bertemu dalam satu wadah, memiliki komunikasi yang baik, dapat bekerja bersama-sama sebagaimana budaya gotong-royong, saling menghormati dan menghargai dan bersama-sama menciptakan kehidupan yang rukun dan damai. Maka dalam kebijakan Direktoral Jendral Bimbingan Masyarakat Kristen, ada materi tentang Moderasi Beragama dan Kristen Moderat, untuk diajarkan kepada warga binaan.

 

b.      Batasan Moderasi Beragama

Moderasi Beragama memiliki ruang lingkup yang terukur untuk menjaga keseimbangan antara keimanan dalam suatu agama dan pluralitas di tengah masyarakat yang majemuk. Itulah sebabnya dalam poin-poin pokok Moderasi Beragama, ditegaskan bahwa Moderasi Beragama bukan upaya memoderasi agama melainkan memoderasi pemahaman dan pengamalan umat beragama.[13] Oleh karena itu Moderasi Beragama tidak mengintervensi ajaran agama, apalagi mengurangi atau mengubahnya. Hal itu juga ditegaskan oleh Ali Ramdani dalam pernyataanya tentang pentingnya Mewujudkan Moderasi beragama:

Moderasi beragama dalam konteks ini berbeda pengertiannya dengan moderasi agama. Agama tentu tidak dapat dimoderasikan karena sudah menjadi ketetapan dari Tuhan, tetapi kita memoderasikan cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang kita peluk sesuai dengan kondisi dan situasi sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama.[14]

 

Dalam program Moderasi Beragama ini, masyarakat diarahkan untuk tidak menjadi ekstrim, baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri, tidak fanatik berlebihan dan tidak juga liberal.[15] Sebaliknya masyarakat memilih jalan tengah dalam hal bersikap di tengah-tengah masyarakat umum. Masyarakat tidak boleh terlalu ekstrim kanan dalam menjalankan kehidupan, masyarakat tidak boleh mengejek atau mendiskriminasikan orng yang berbeda agama. Masyarakat juga jangan sampai menjadi liberal sehingga tidak mempedulikan agama. Masyarakat tetap didorong mengamalkan ajaran agamanya .

Moderasi Beragama mengarahkan masyarakat untuk memilih jalan tengah, atau dalam istilah yang juga sering dipakai adalah ekstrim tengah. Adapun ekstrim tengah ini yaitu pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Melalui Konsep Pancasila sebagai dasar negara, maka NKRI ini mengakui semua agama yang sah, Namun demikian  Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan negara Agama. Indonesia juga bukan negara liberal, bukan negara atheis dan bukan negara kommunis. Indonesia adalah Negara Pancasila yang mengakomodir semua kepentingan masyarakatnya.

Dalam poin pokok moderasi beragama dikemukakan adanya tiga area fokus penguatan yang sedang digalakkan yaitu wacana, regulasi dan layanan publik.[16] Wacana merupakan berbagai pemikiran dalam merencanakan penguatan ini. Penguatan aspek regulasi berupa penguatan hubungan negara dan agama dalam bingkai NKRI. Sementara penguatan layanan publik adalah yang berhubungan dengan pelayanan umum seperti pendidikan keagamaan. Indonesia bukanlah negara agama namun negara dan agama berelasi secara simbang. Moderasi beragama beroperasi di ruang lingkup masyarakat umum sedangkan untuk hal keimanan diatur oleh masing-masing agama.

Dengan batasan-batasan ini, maka dipastikan bahwa moderasi Beragama tidak mengintervensi esensi iman Kristen. Iman Kristen dapat mengajarkan ajaran agamanya dengan sepenuhnya sebagaiman hal ini merupakan hak setiap warga negara. Justru dalam Moderasi Beragama, pemerintah mendorong masing-masing agama, termasuk agama kristen untuk menguatkan pengajaran agamanya dan dari ajaran yang kuat ini nantinya dibangun cara pandangn yang benar tentang kemajemukan.

Di kalangan kekristenan secara inteternal, ada tantangan yang harus diakui yaitu perbedaan-perbedaan kecil yang berpotensi menghalangi kerjasama untuk moderasi beragama ini. Ada kecenderungan keegoisan masing-masing sinode, dengan menganggap diri yang lebih benar dari pada yang lainnya. Dalam hal-hal yang seperti ini Dirjen Bimas Kristen bekerja untuk mengakomodir perbedaan menjadi kekayaan pandangan. Bimbingan Masyarakat Kristen memiliki kewenangan untuk mengatur kebijakan-kebijakan untuk kerja bersama dan melaksanakan taanggungjawab bersama seperti dalam hal peran serta gereja dalam pembangunan. Namun demikian Dirjem Bimas Kristen tidak mengintervensi ke dalam organisasi atau kebijakan Sinode. Hanya apabila ajaran dalam suatu Gereja menyimpang dan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, maka Direktorat Bimbingan Masyarakat Kristen berkewenangan untuk meluruskannya. Inilah batasan moderasi beragama di kalangan internal masyarakat kristen.

Dari penguatan moderasi Beragama ini  maka masyarakat Kristen juga diarahkan dan dibina untuk menjadi masyarakat Kristen yang Moderat. Memang tidak ada istilah moderasi atqau moderat di dalam Alkitab, namun gagasannya terlihat jelas dalam prinsip-prinsip kehidupan yang dajarkan sepanjang Alkitab. Gagasan mendasar adalah bahwa orang Kristen diperintahkan untuk mengasihi sesama manusia. Di atas telah disinggung apa yang tertulis dalam matius 22:39, yaitu perintah supaya mengasihi sesama manusia. Sesama dalam hal ini bukan hanya sesama pemeluk agama, melainkan semua orang. Kemudian Alkitab juga mengajarkan untuk tunduk kepada pemerintah, yang dalam hal ini melaksanakan program pemerintah (band. Rm. 13:1-5). Banyak ayat dalam Alkitab yang mengajarkan supaya berbuat baik dan berlaku ramah terhadap semua orang. Bahkan Tuhan Yesus sendiri mengajarkan supaya mengasihi musuh dan berbuat baik kepada mereka yang menganiaya (band. Mat.5:44-45). Kasih yang diajarkan dalam kekristenan adalah kasih yang sempurna. Kata “mengasihi” diterjemahkan dari kata “agapao” yang berarti mengasihi dengan sempurna.[17] Kasih yang sempurna ini merupakan kasih yang dilakukan oleh Allah kepada manusia, dan perintah Allah untuk mengasihi sesamanya. Dalam Gingrich Greek Lexicon, agapao merupakan kasih yang besar, kasih Yesus yang sempurna kepada umat-Nya, kasih yang menyerahkan nayawa-Nya.[18]

Dengan demikian dalam ajaran Kristen tidak diberikan kemungkinan untuk berlaku kasar terhadap siapapun. Orang Kristen harus ramah, artinya menerima semua orang dengan  senang hati, dan berbuat baik kepada mereka. Demikian juga orang Kristen tidak dibenarkan untuk menghakimi sesama manusia Ajaran Kristen harus ditegakkan, dan sambil taat pada ajaran itu, orang Kristen tidak boleh fanatik berlebihan. Inilah gagasan moderasi beragama dalam Kekristenan, dan merupakan salah satu tema utama dan materi dalam Penyuluhan Agama Kristen.

2.      Prinsip Dasar Moderasi Beragama

Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila memiliki konsepsi yang mengakmodir semua kepentingan bangsa dengan semboyan Bhineka tunggal Ika. Pancasila yang menjadi ideologi dan dasar negara harus menjadi jiwa yang menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Masyarakat yang majemuk harus diakomodasi melalui kebinekaan sehingga memiliki satu visi dan tuuan bersama, yang dimuat dalam konstitusi. Semboyan Bhineeka Tunggal Ika ini, meskipun berbeda-beda, tetap satu jua, berusaha mencari titik temu dalam segala kebhinekaan yang terkristalisasi dalam dasar negara (Pancasila) dan Undang-Undang Dasar serta turunan perundang-undangan lainnya.Atas fakta inilah Majelis Permusyawaratan Rakyat mengemukakakn Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam Sosialisasi ini ditegaskan:

Kemajemukan bangsa merupakan kekayaan kita, kekuatan kita, yang sekaligus juga menejadi tantangan bagi kita bangsa Indonesia, baik kini maupun yang akan datang. Oleh karena itu kemajemukan itu harus kita hargai, kita junjung tinggi, kita terima dan kita hormati serta kita wujudkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.[19]

 

Dalam Sosialisasi itu ditegaskan bahwa Pancasila adalah mutlak sebagai Ideologi dan dasar Negara; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara dan Ketetapan MPR; Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara dan Bhineka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara.

Dalam rangka memperkuat dan mensosialisasikan ketetapan ini, maka pemerintah telah membentuk badan-badan negara, organisasi-organisasi negara serta program-program negara. Salah satu program yang saat ini sedang dilaksanakan pemerintah adalah Moderasi Beragama melalui Program Kementrian Agama. Secara umum moderasi beragama menolong setiap umat untuk tidak berpikiran sempit, berpendidikan secara baik dan berwawasan luas. Bahkan tentang hal ini Ihromi mengajak setiap orang belajar antropologi budaya supaya dapat megenal keanekaragaman, dan mengakui bahwa ada nilai-nilai budaya yang berbeda dengannya.[20] Ihromi bermaksud supaya manusia jangan berpikiran terbatas pada nilai-nilai yang dimilikinya, tidak menganggap bahwa nilai-nilai yang dimilikinya itu satu-satunya nilai yang benar, melainkan mengakui akan adanya nilai-nilai yang berbeda dengan yang dimiliki atau diyakininya sebagai nilai yang setara.Bahkan dalam pikiran orang-orang primitif, yang tentunya dengan pikirannya yang sempit, orang lain yang berada di luar batas-batas kesukaannya tidak dianggapnya termasuk umat manusia.[21] Dalam zaman modern seperti sekarang ini, ada orang yang memiliki pandangan bahwa orang yang berbeda agma dengan dirinya atau kelompoknya dianggapnya sebagai orang kafir yang harus dimusuhi. Ada perasaan bahwa diri sendiri dan kelompoknya yang paling benar

Dalam hal ini moderasi beragama dimaksudkan supaya semua nilai maupun ajaran agama dan kepercayaan diakui secara setara di hadapan konstitusi. Ajaran agama yang satu diakui sebagai ajaran agama yang sah, dan ajaran agama yang lain juga sama diakui sebagai ajaran agama yang sah. Konstitusi tidak memberikan adanya ruang untuk mengabaikan atau mendiskriminasikan salah satu ajaran agama yang ada di Indonesia. Sekali lagi Moderasi beragama tetap mempertahankan nilai agama masing-masing secara internal. Namun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat beragama berwawasan luas, dan berjiwa kebangsaan. Prinsip dasarnya adalah menujaga keseimbangan dan keadilan.

a.      Menjaga Keseimbangan

Dalam Moderasi Beragama, menjaga keseimbangan dimaksudkan sebagai cara untuk membimbing masyarakat yang kokoh dalam keyakinan agamanya sekaligus terbuka dalam berkebangsaan yang plural. Seseorang boleh menganggap keyakinan agamanya sebagai kebenaran mutlak, namun pada sisi lain menghargai dan menerima keyakinan orang yang berbeda, bahwa mereka juga memiliki keyakinan bahwa ajaran agama mereka sebagai kebenaran mutlak. Namun demikian ini tidak boleh menjadi alasasn untuk perpecahan, permusuhan atau alasan untuk saling membenci apalagi menyebarkan provokasi.

Sila-sila dalam Pancasila dimulai dengan ketuhanan dan disusul dengan kemanusiiaan. Ini merupakan keseimbangan dalam falsafah bangsa Indonesia, yang secara konstitusional juga diatur dalam Undang-Undang Dasar. Hal itu juga yang ditegaskan dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaaan:

Atas dasar itu, setiap warga negara Indonesia dianjurkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan menurut agama dan keyakinannya masing-masing. Terdapat kepercayaan yang peositif bahwa meskipun terdapat berbagai macam agama dan keyakinan, misi profetis agama-agama memiliki pertautan etis-religius dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan, yang mendorong warga negara untuk mengembangkan nilai-nilai ketuhanan yang lapang dan toleran.[22]

 

Dalam hal ini, telah terang benderang dinyatakan bahwa keyakinan agama tidak dileburkan melainkan masing-masing warga negara memiliki kemerdekaan untuk mempercayai dan melaksanakan ajaran agamanya. Dalam ungkapan Sukarno dinyatakan, “ Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan Tuhannya senidiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan Ibadatnya menurut Kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi masrilah kiga semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat Hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama.”[23]

Masih dalam penjabaran ketuhanan ini, lebih lanjut MPR menuliskan bahwa negara harus menjamin tegaknya toleransi beragama yang berkeadaban sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2, yang menjamin kemerdekaan untuk memeluk dan melaksanakan agama apapun yang diyakinioleh setiap warga negara. Dnegan demikian negara mendorong terjadinya dialog atau forum antar umat beragama sebagai langkah konkret dari kewajiban negara.[24]

Keseimbangan ini lebih lanjut diuraikan dalam sila kedua yaitun Kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya manusia Indonesia sejajar derajadnya dengan semua manusia di dunia ini. Manusia Indonesia memiliki akal budi dan hati nurani yang setara dengan semua manusia di dunia ini. Dengan pengamalan sila kedua ini maka semua warga mengara memiliki kedudukan yang sama terhadap undang-undang, memiliki hak  dan kewajiban yang sama, juga memiliki Hak Azasi Manusia secara setara. Kesadaran inilah yang hendak diperkuat melalui Moderasi beragama. Maka dalam menjalankan kehidupan sebagai warga negara, ada keseimbangan antara keyakinan agama dan keterbukaan terhadap semua orang.

Moderasi beragama diakselerasikan melalui pertemuan-pertemuan dan dialog bersama, dimuali dari tokoh-tokoh Agama, kemudian disaksikan oleh para pemulug agama dan pada tingkat yang paling bawah dilaksanakan ketukunan dan toleransi beragama. Hal ini ditindak-nyatakan melalui kerja bersama, gotong royaong, saling memberi selamat, saling mendukung dan menghormati Hari-hari Besar keagamaan.

Secara khusus, di kalangan masyarakat Kristen, moderasi beragama juga harus diimplementasikan. Pertama-tama pengkajian dasar alkitbiah moderasi beragama ini. Sebelumnya telah dipastikan bahwa moderasi Beragama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Alkitab, dan sebalinya Moderasi Beragama merupakan kehendak Allah bagi umat-Nya. Dasar alkitabnya tidak ditemukn secara eksplisit, namun gagasabn ini terdapat dalam ajaran Tuhan Yesus dan dimuat dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Perintah untuk mengasihi sesama merupakan dasar yang sangat kuat untuk Moderasi Beragama.

Namun demikian dalam pelaksanaannya, penguatan moderasi beragama dalam kalangan kristen bukan tanapa tantangan. Tentu saja terdapat beragam pandangan yang menewrima maupun menolaknya. Ada saja golongan Kristen fanatik, yang juga merasa diri paling benar dan orang lain tidak benar. Ada golongan Kristen yang tidak mau bekerjasama dengan sesama Kristen yang berbeda doktrin, apalagi orang yang beragama lain. Pada keadaan lain ada golongan Kristen liberal yang salah paham, kemudian bersikab liberal dengan meleburkan inklusifitas dan finalitas ajaran iman Kristen. Golongan Kristen liberal ini berupaya memasukkan nilai-nilai agama lain dalam ajaran Kristen. Ini juga tidak sesuai dengan Moderasi Beragama.

John Stott telah mengemukakan adanya dua ekstrimis yang saling berlawanan dalam kekristenan. Ekstrim yang pertama adalah mereka yang terlalu memaksakan dan memberikan tekanan kepada orang lain yang berbeda dengan mereka. Estrim yang kedua adalah mereka yang terkesan “tidak mau campur tangan.”[25] Tentu kedua ekstrim ini bertentangan dengan sikap moderasi beragama yang sedang dikuatkan dalam kekristenan sendiri. Inilah yang menjadi tanggungjawab Moderasi Beragama di kalangan Kristen yang harus dibenarkan. Dalam konsepnya, ajaran Kristen harus ditegakkan, dengan tidak mengurangi sedikitpun dari nilai-nilai Alkitab, namun tidak dibenarkan untuk menghakimi kepercayaan agama lain.

Beberapa kalangan orang Kristen dengan fanatismenya yang berlebihan merasa keberatan dengan Moderasi Beragama di  kalangan Kristen. Mereka beranggapan bahwa Iman Kristen adalah final dan dituntut untuk melaksanakan penginjilan dengan menjadikan semua bangsa Murid Kristus. Hal ini dianggap bertentangan dengan Moderasi beragama. Untuk menjawab hal ini, perlu dibahasa dengan mengungkap masalah lain. Misalkan saja kita akui akan adanya orang-orang yang memiliki kelainan seperti banci, bencong, Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Mereka memang memiliki kelainan, namun tidak berarti uumat kristen harus membnci menjauhi dan mengesampingkaan mereka. Menurut Alkitab mereka memang tidak dibenarkan, namun orang kristen harus merangkul mereka. Hal yang sama juga diterapkan dalam Moderasi Beragama. Sesuai dengan ajaran Alkitab, di luar Kristus tidak ada keselamatan, namun orang Kristen harus pergi menjangkau orang lain, terbuka terhadap mereka dan mengasihi mereka.

Dari kenyataan ini Stott mengemukakan suatu jalan tengah yaitu persuasi dengan mengembangkan sikap tenggang rasa lagi, bahkan dilakukan dengan lebih sungguh. Terutama di negara-negara yang minoritas Kristen, dituntut mampu berargumentasi melalui perbuatan nyata.[26] Inilah sikap pluralis yang alkitabiah, tidak terlalu fanatik dalam beragama dan juga tidak liberal dengan sikap membiarkan sesama. Dapat dikatakan bahwa moderasi beragama dalam kekristenan bukanlah ide baru melainkan merupakan ajaran Alkitab. Oleh karena itu Gereja perlu terbuka, bersedia berdialog dan bekerjasama dengan penganut Agama lain. Dengan demikian ada prinsip keseimbangan antara keimanan dengan kebangsaan.

b.      Prinsip Keadilan

Selain menjaga keseimbangan, prinsip Moderasi Beragama juga mengutamakan prinsip keadilan. Berdasarkan pandangan umum, keadilan adalah pengakuan dan perlakukan yang seimbang antara hak dan kewajiban.[27] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adil berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak ataupun tidak sewenang-wenang.[28] Dalam pandangan Ilmu Budaya Dasar, keadilan mengandung pengertian sebagai suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, atau sewenang-wenang.[29]

Keadilan dalam ideologi Pancasila dituangkan dalam sila kelima yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”Prinsip keadilan ini adalah bahwa negara (pemerintah) bertanggungjawab mengatur hal-hal yang dianggap vital untuk kepentingan para anggotanya, sedangkan selebihnya diserahkan kepada kreatifitas masing-masing individu dengan catatan tidak merugikan pihak lain. Satu-satunya perbedaan yang cukup mencolok adalah sumber dari ideologi tersebut, di mana Ideologi Sosialis terinspirasi dari Ideologi Komunis –Atheis, sedangkan ideologi Pancasila terinspirasi dari budaya Indonesia sendiri dengan paham politeismenya. Menurut filsafat Pancasila, pengertian keadilan secara khusus tertuang dalam sila kelima Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Secara definitif, Alhaj dan Surya Patria mendefinisikan keadilan menurut Pancasila yaitu keadilan sosial sebagai “keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan baik material maupun spiritual.”[30] Menurut Harry Priyono, keadilan sosial berkaitan dengan soal demokrasi dan hak azasi manusia.[31] Keadilan berarti juga bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik sosial, ekonomi dan kebudayaan. Sesuai dengan Undang-Undang Daa 1945, maka keadilan sosial mencakup pula pengertian adil dan makmur.[32] Bung Hatta dalam uraiannya menuliskan bahwa keadilan sosial adalah langkah yang menentuakan untuk melaksanakan Indonesia adil dan makmur. Cita-cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi ialah dapat mencapai kemakmuran yang merata.[33]

Langkah-langkah menuju kemakmuran yang merata diuraikan secara terinci. Panitia ad hoc Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1966 memberikan perumusan sebagai berikut: “Sila Keadilan Sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik ekonomi dan kebudayaan.” Menurut perumusan ini, keadilan diartikan sebagai “mendapat perlakuan yang adil.” Dalam ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), dicantumka ketentuan sebagai berikut: “Dengan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk mnciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia.”

Selanjutnya, untuk mewujudkn keadilan sosial itu, dirinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk sebagai butir-butir Pancasila yaitu: pertama, perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan. Kedua, sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak oang lain. Ketiga, sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan. Keempat, sikap suka bekerja keras. Keenam, sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.[34]

Dari pihak pemerintahan, langkah dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai keadilan sosial itu adalah melalui delapan jalur pemerataan yaitu: pertama, pemerataan pemenuhan kbutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang dan perumahan; kedua, pemerataan mmperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; ketiga, pemerataan pembagian pendapatan; keempat, pemerataan kesempatan kerja; kelima, pemerataan kesempatan berusaha; keenam, pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; ketujuh, pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan kedelapan pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.[35]

Sama seperti dalam ideologi lain, pengertian akan kasih (atau perbuatan kasih) dalam filsafat Pancasila lebih banyak diatur dalam konsepsi agama dan kepercayaan, yang tertuang dalam sila pertama. Perbuatan kasih dianggap hanya merupakan refleksi dari keadilan sosial seperti “suka menolong orang lain” dan “kerjasama.” Jadi, dalam ideologi Pancasila, keadilan dan kasih berhubungan dengan hak-hak dan kewajiban para anggota masyarakat (warga negara) yang disalurkan secara merata. Dan untuk menegakkan keadialan itu, dirumuskan hukum positif, sebagaimana yang terkandung dalam Sumber-sumber Hukum di Indonesia (seperti UUD 1945, KUHP, dll). Prinsip-prinsip keadilan ini yang dikuatkan dan disosialisasikan dalam Moderasi Beragama. Pada satu pihak pemeerintah bertanggungjawab memenuhi semua hak-hak warga negara, dan pada sisi lain warga negara memuni kewajibannya dengan mengembangkan prinsip keadilan di antara sesama warga negara.

Prinsip keadilan ini tidak bertentangan dengan ajaran Alkitab. Sekalipun prinsip keadilan dalam ajaran Kristen diwariskan dari sifat keadilan Allah, namun dalam penerapannya prinsip keadilan ini dinyatakan dalam cara hidup orang yang telah dibenarkan. Secara teologis, orang Kristen dituntut untuk berlaku adil terhadap semua orang. Sebagai manusia yang mewariskan gambar dan rupa Allah, manusia harus bersikap dan bertindak adil. Keadilan dalam konsep Kristen diidentikkan dengan kebenaran, yang berarti masyarakat Kristen harus memiliki gaya hidup benar, dan kebenaran ini ditunjukkan kepada semua orang.

Dalam Perjanjian Lama, keadilan yang diterjemahkan dari kata ibrani Myspat selain membicarakan keadilan hukum, juga membicarakan cara seseorang membawakan diri terhadap sesama, yaitu dengan berlaku benar.[36] Prinsip keadilan juga berbicara mengenai kataatan dan kepatuhan terhadap undang-undang atau hukum yang telah ditetapkan. Dalam Perjanjian Baru, umat Kristen diistruksikan untuk menjadi garam dunia dan terang dunia (Mat. 5:13-15). Ajaran ini diterjemahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahwa orang-orang Kristen wajib menaati hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Maka dengan tegas Paulus telah menasihatkan umat Kristen supaya taat dan tunduk pada pemerintah yang ada, sebab pemerintah ditetapkan oleh Allah untuk mengatur kehidupan warga negara (band. Rm. 13:1-7). Di sini juga setiap orang dinstruksikan untuk melaksanakan kewajibannya terhadap pemerintah. Mengingat bahwa Ideologi Pancasila mengakomodir ajaran Kristen, maka tepat bahwa Moderasi Beragama meningkatkan kesadaran sikap nasionalis di kalangan umat Kristen.

Untuk memastikan keadilan ini, Dirjem Bimas Kristen telah membuat kebijakan terhadap para Penyuluh Agama dengan fungsinya yang advodkatif, yaitu memberikan pendampingan kepada warga binaan untuk mendapatkan hak-haknya. Fungsi advokatif ialah Penyuluh Agama Kristen memiliki tanggungjawab moral dan sosial untuk melakukan kegiatan pembelaan terhadap umat/masyarakat dari berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap permasalahan-permasalahan keadilan sosial, penanganan aliran-aliran sempalan, masalah-masalah yang berkaitan dengan kerukunan umat baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah yang selama ini dirasa belum mampu terakomodir dengan dan belum mendapat penangan sebagaimana semestinya. Tugas ini juga diamanatkan kepada pemimpin-pemimpin Kristen dan mereka yang memiliki pengaruh untuk memberikan pendampingan kepada warga jemaat dalam mendapatkan keadilan. Moderasi Beragama melaksanakan pendampingan ini. Maka jemaat-jemaat Kristen didorong untuk terbuka terhadap semua orang, dan bahkan melaksanakan pertemuan-pertemuan lintas agama mulai dari pertemuan-pertemuan tingkat pemimpin sampai pertemuan-pertemuan di masyarakat umum. Dari forum dan pertemuan ini dapat disampaikan berbagai kendala dalam menegakkan prinsip keadilan dan kemudian diusahakan solusi yang terbaik. Maka dengan cara ini, rencana Pembangunan Nasional dapat diwujudkan.

 

3.      Karakter Moderasi Beragama

Sesungguhnya, Moderasi Beragama memiliki karakteristik yang baik, membawa kesejukan dalam masyarakat. Memang bagi kaum penganut paham ekstrimis, Moderasi beragama merupakan ancaman, namun bagi kepentingan bangsa dan negara, Program ini merupakan terobosan yang bersifat ramah. Dikatakan ramah karena mengakomodir semua kepentinghan secara berkeadilan dan merangkul semua golongan untuk mendapatkan hak-haknya. Moderasi beragama tidak memaksa dan tidak mengintervensi, melainkan menguatkan toleransi dan meniadakan kekerasan.

a.      Penguatan Toleransi Aktif

Karakteristik Modeasi Beragama (MB) berpedoman pada dalsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara, bahwa kehidupan yang rukun dan damai harus ditegakkana dan terus dipertahankan. Sesuai dengan konstitusi, telah dibuat kesepakatan bahwa bentuk negara Indponesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang didasari pertimbangan bahwa negara kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak awal berdirinya negara Indonesia dan dipandang paling tepat untuk mewadahi persatuan dari negara Indonesia yang terdiri dari berbagai latar belakang.[37] Dalam usaha mempertahankan kesatuan itu Moderasi Beragama meperkuatnya dengan pendekatan penguatan intensitas toleransi, khususnya toleransi beragama. Persatuan dan kesatuan Negara harus tetap dipertahankan dengan cara yang toleran tanpa adanya kkerasan, Dalam kekristenan, pendekatan yang semacam inin didasarkan pada karakteristik kasih. Pemaksaana dan kekerasan harus dihindari. Tidak diberikan ruang sedikitpun terhadap diskriminasi, pemaksaan, apalagi kekerasan.

Sebagai langkah konkritnya, telah diadakan kesepakatan pemuka agama di Indonesia pada tahun 2018. Salah satu hasil kesepakatan yang telah dibuat adalah sebagai berikut:

“Pemuka Agama di Indonesia memandang perlunya memperkuat sikap inklusif demi keutuhan bansa Indonesia yang majemuk. Untuk itu perlu dikembangkan budaya kerjasama sehingga dapat hidup berdampingan secara damai, toleran dan saling menghormati/menghargai satu dengan yang lainnya.”[38]

 

Kehidupan yang damai senantiasa dikedepankan dalam kesepakatan ini, dan tidak ada sama sekali usaha untuk memaksakan kehendak kepada pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat. Hak-hak warga negara untuk hidup dengan tenang harus dipenuhi. Oleh karena itu para pemuka agama sepakat untuk menyiarkan kepada masing-masing umat bahwa pemeluk agama lain harus dipandang sebagai saudara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Lebih lanjut disepakati bahwa para pemuka agama hendaknya menyiarkan agama dalam semangat menghormati dan menhargai agama lain, serta menghindari berbagai cara yang dapat menimbulkan prasangka saling merebut umat agama lain, dan tidak menggunakan simbol-simbol khas agama lain dalam penyiaran agama.[39]

Hal ini merupakan amanat konstitusi untuk memenuhi Hak Azasi Manusia yang telah dirumuskan dalam Perubahan Undang-Undang, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.[40] Maka disepakati bahwa pemuka agama tidak menggunakan kekerasan dan ancaman dalam menciptakan kerukunan umat beragama. Ada optimisme yang besar bahwa dengan cara ini, tidak mengganggu kerukunan antar umat beragama di Indonesia.

Usaha-usaha Moderasi Beragama dengan pendekatan ini kemudian diistilahkan oleh Lukma Hakim Saifuddin sebagai “persuasi” yaitu pendekatan yang bersifat merangkul, mengakomodasi, tanpa harus ada pemaksaan dan kekerasan.[41] Cara ini dinilai menghindari timbulnya permasalahan baru seperti perlawanan atau respon yang tidak baik. Sebaliknya moderasi beragama merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama. Ini adalah sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.[42]

Dengan karakteristiknya yang merangkul, mengedepankan persuasi, menghindari pemaksaan dan kekerasan maka niscaya Indonesia mewujudkan masyarakat yang damai, aman dan makmur. Sebaliknya untuk intra umat beragama, salah satu hasil kesepakatan yang telah diambil adalah bahwa setiap pemeluk agama wajib berkontribusi positif dalam menciptakan kerukunan intra agama maupun antara agama.[43] Dalam kesepakatan ini juga diakui bahwa permasalah intra agama maupun antara agama disebabkan oleh ketidaksediaan menerima pluralitas yang ada. Dalam hal inilah Moderasi Beragama diperkuat.

Dalam internal kekristenan, kesepakatan pemuka agama diterima sebagai kesepakatan yang baik, dan merupakan pelaksanaan  kehendak Allah dalam kepatuhan kepada pemerintah. Ajaran tentang kasih dalam kekristenan begitu kuat. Dengan demikian, maka Moderasi Beragama yang dilaksanakan di kalangan internal kristen harus dilandaskan pada kasih, dimulai dengan kasih kepada Allah kemudian kasih kepada sesama manusia. Karakteristik kasih ini juga dijadikan dasar dalam pelaksanaan Modrasi Beragama tehadap pemeluk agama lain. Dengan mengajarkan kasih dan keterbukaan terhadap semua orang, maka Kekristenan, yang dalam hal ini diwakili oleh Gereja, mendorong umat Kristen untuk terlibat secara akif dalam forum-forum atau pertemuan-pertemuan baik dalam lingkungan agama Kristen maupun dengan umat beragama lain.  Kekristenan wajib memproklamasikan karakter kasih dalam peningkatan Moderasi Beragama sekaligus sebagai pelopornya.

b.      Beragama untuk Nir Kekerasan

Telah dikemukakan di atas bahwa Deklarasi dan penguatan Moderasi Beragama dilatarbelakangi oleh mmunculnnya tantangan-tantangan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama munculnya ajaran-ajaran yang ekstrim, maka Modeerasi beragama memberi perhatian pada usaha untuk meminimalisir kekerasan. Ajaran Agama yang benar di Indonesia tidak sedikitpun mengajarkan kekerasan apalagi untuk memaksakan kehendak kepada pemeluk agama lain. Ajaran-ajaran kekerasan atas nama agama merupakan ajaran baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam sila pertama Pancasila. Sekalipun mengatasnamakan agama, namun secara resmi perilaku kekerasa atas nama agama tidak diakui di Indonesia. Untuk melawan ajaran ini, tidak dilakukan dengan kekerasan melainkan mempertahankan Moderasi Beragama yang persuasif dan berbagai pendekatan yang bersifat dewasa, dan nir kekerasan.

Senarnya istilah “kekerasan” mengandung pengertian yang luas. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kekerasan memiliki pengertian sebagai perihal (yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[44] Menurut Definisi Undang-undang, “Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.[45] Kekerasan memiliki banayak tafsir baik dari pelaku, sasaran maupun caranya. Ada kekerasan oleh seseorang, ada kekeran oleh kelompok ada yang sasarannya perseorangan ada yang sasarannya kelompok. Ada yang dilakukan secara terstruktur ada yang dilakukan secara terstruktur. Untuk pembahasan ini, Moderasi Beragama berfokus pada usaha meredam perilaku kekerasan atas nama Agama.

Kekerasan atas nama agama pada masa kini telah bermunculan dan sebagian lagi sengaja dimunculkan dengan kepentingan yang lain seperti politik dan ekonomi. Munculnya kaum literal dan menguaknya tindakan kekerasan atas nama agama merupakan tantangan bagi persatuan Indonesia. Isu agama yang digunakan pribadi tertentu kini telah masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Mentri Agama sendiri mengakui munculnya kekerasan atas nama Agama: “Kabar peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama memang sering tersiar.[46]

Munculnya kekerasa atas nama Agama ini sesungguhnya tidak ddibenarkan baik menurut konstitusi maupun kearifan lokal bangsa Indonesia. Sesungguhnya hal ini terjadi karena perkembangan zaman dan kesalahan dalam mengikutinya. Menurut Fachrul, pelaku kekerasan yang membawa-bawa agama sebenarnya tidak memahami soal ajaran mulia itu.[47] Agama tidak pernah mengajarkan dan menuntun pemeluknya untuk merugikan diri sendiri, orang lain, atau pun makhluk Tuhan lainnya. Perilaku buruk apapun yang mengatasnamakan perintah agama, sebenarnya perlu dikaji ulang. Sehingga agama tidak selalu dijadikan dalih dan alasan untuk menjadikan pihak lain menderita. Kekerasan dalam perilaku dan tindakan mencerminkan keyakinan dan watak pelakunya. Hal ini muncul didasarkan pemahaman atas doktrin dan keyakinan dalam diri. Upaya memberangus pihak lain atas alasan kesalahan dan kemaksiatan, bukan cara yang mesti dilalui. Kesalahan dan kemaksiatan mestinya didekati melalui cara hikmah dan toleransi. Perbedaan cara pandang terhadap sesuatu tidak boleh menjadi dasar perilaku kekerasan.[48] Di indonesia masih berlaku Undang-undang yang melindungi semua warga negara dari ancaman kekerasan di mana negara berkewajiban memenuhi hak-hak ini.

Dalam konteks dan fenomena inilah Moderasi Beragama diperkuat. Selain tugasnya yang menuntun pada jalan tengah, Moderasi beragama juga berjuang keras meredam kekerasan atas nama Agama. Atas usahanya yang begitu kuat, Moderasi Beragama sering dianggap sebagai lawan dari kekerasan atas nama Agama. Memang hal ini ada benarnya, sebab, dengan pendekatan yang persuasif, Moderasi Beragama telah menunjukkan hsil yang baik. Banyak masyarakat yang berubah, pada akhirnya mereka bersedia terbuka terhadap perbedaan. Bahkan melalui kerjasama dengan semua pihak, beberapa orang-orang yang dulunya menjadi pelaku kekerasan atas nama agama, kini menjadi pelopor kerukunan. Yang awalnya anti pemerintah, kini menjadi pendukung pemerintah. Moderasi Beragama terus diperkuat sehingga Indonesia menghasilkan nir kekerasan, Inilah konsep yang ditekankan dalam Moderasi Beragama di Indonesia.

Dalam ajaran iman Kristen, Pengikut Kritus dilarang melakukan kekerasan apapun keadaannya. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa dalam pembelaan diri yang dilakukan tetap tidak boleh melakukan kekerasan. Bahkan secara lebih kuat, Alkitab mengajarkan supaya tetap mengasihi dan berlaku baik terhadap orang yang melakukan kekerasan (band.Mat. 5:44). Hal ini telah ditegaskan oleh Tuhan Yesus dan disampaikan kembali Rasul Paulus dengan menuliskan: “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!’ (Rm. 12:14). Dalam hal ini ajran Kristen hanya memberikan cara pembelaan diri dengan menghindar atau melarikan diri apabila mengalami ancaman atau kekerasan. Bahkan dalam tulisan Rasul Paulus, orang-orang Kristen yang dianiaya harus tetap memberkati. Konsep ini merupakan ajaran di kalangan internal Kristen, namun dapat diterapkan dalam Moderasi lintas Agama. Apalagi dalam internal kekristenan, sikap nir kekerasan ini harus diterapkan. Makadengan demikian Agama Kristen berkontribusi besar dalam meningkatkan Moderasi Beragama dan berperan serta dalam program pemerintah.

 

B.     KEDEWASAAN ROHANI

Secara umum, pelstarian tolerasnsi beragama dikaitkan dengan masalah kedewasaan dalam beragama. Itu juga yang senantiasa dikemukakan dalam peningkatan Moderasi Beragama bahwa tingkat pemahaman akan satu dengan yang lain berkaitan dengan tingkat kedewasaan. Dikatakan bahwa sikap toleransi tumbuh dari kedewazaan menerima perbedaan yang di tengah masyarakat yang plural.[49] Sikap dewasa itu yang harus ditanamkan dan dilestarikan dalam perjuangan seluruh elemen bangsa. Dengan kata lain ada kesadaran dari masyarakat pada umumnya bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beragam perbedaan, sehingga harus diakui adanya perbedaan yang dijunjung tingga sebagai kekayaan bangsa. Maka dalam hal ini ada semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang konsep dasarnya adalah berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Dalam kalangan Kristen, permasalahan toleransi juga diduga dipengaruhi oleh kedewasaan rohani baik perseorangan maupun kelompok. Konsepsi kedewasaan dalam kekristenan berhubungan dengan tingkat pertumbuhan iman yang telah dicapai. Kedewasaan yang dimaksud pertama-tama diartikan sebagai lawan dari sifak kanak-kanak. Itulah yang dimaksudkan Paulus ketika ia membedakan antara yang masih kanak-kanak dengan yang sudah dewasa secara rohani (band, Rm. 2:17-20). Dalam Surat Korintus disinggung tentang kekanak-kanakan “Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu” (1 Kor. 13:11). Ada sifat dalam diri orang Kristen yang seperti kanak-kanak atau seperti orang dewasa. Pada bagian lain, kedewasaan dikaitkan dengan pengajaran atau hal-hal kerohanian atau cara berpikir dan cara bertindak.

Kedewasaan iman secara eksplisit dikemukakan sebagai “kedewasaan penuh” sebagaimana yang dituliskan dalam Efesus 4:13 “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.” Dari konteks ayat itu, kedewasaan berhubungan dengan perlengkapan pelayanan dan rupa-rupa pengajaran. Pada umumnya kedewasaan yang dimaksud diafsirkan dalam analogi pertumbuhan manusia, yaitu mencapai tingkat kedewasaan, setelah melaluia masa kanak-kanak, remaja, dan sampai menjadi sewasa: “Maksud Paulus ialah hendak mengatakan, bahwa dengan mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, mereka tiba kepada “anerteleios” (=orang/laki-laki dewasa atau sempurna,1 Kor. 2:6; 14:20; Ibr. 5:14). [50]

Kedewasaan ini bukan hanya terjadi secara individu melainkan terjadi secara komunal, sebagaimana yang dikatakan “Kita semua.” Abineno mengungkapkan bahwa memang ada yang menfsirkan seperti ini: “Sampai mereka semua bertumbuh menjadi orang (laki-laki) yang penuh/sempurna bukan secara individual, tetapi secara kolektif.”[51] Dalam urusan keluar (masyarakat umum) pengetahuan akan Anak Allah ditujukan dengan keterbukaan terhadap semua orang. Dengan demikian sikap toleransi beragama bukan formula yang dipaksakan kepada jemaat kristen melainkan tumbuh secara alamiah karena pengenalan yang semakin sempurna akan Kristus.

Dalam teks bahasa Yunani, kata yang dipakai untuk “Kedewasaan” adalah “elikias” kata benda dengan kasus genetif.[52] Kata ini berasal dari kata dasar Yunani yaitu elikia yang arti dasarnya adalah usia (penuh) atau fisik (penuh).[53] Memang secara etimologi, kata ini menjelaskan kedewasaan dari segi usia atau dari segi pertumbuhan fisik, namun pengertian ini juga bisa mengacu pada tingkatan pertumbuhan rohani orang-orang Kristen. Menurut Friberg Greek Lexicon, kata elikia (kedweasaan) merupakan figurasi dari kematangan, atau kedewasaan dalam hal rohani.[54] Kta kedewasaan dijelaskan dengan kata “penuh’ dari kata Yunani pleromata dengan kata dasar pleroma.[55] Artinya adalah penuh, atau mencapai titik tertinggi dalam hal pertumbuhan rohani. Secara konsep teologis kedewasaan penuh mengacu pada pengenalan dan pengetahuan, serta iman sampai serupa dengan Kristus. Maka dalam Alkitab Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari diterjemahkan: “Dengan demikian kita semua menjadi satu oleh iman yang sama dan pengertian yang sama mengenai Anak Allah. Dan kita menjadi orang-orang yang dewasa yang makin lama makin bertambah sempurna seperti Kristus.[56]

Kedewasaan iman ini terjadi dalam komunitas, bukan terjadi secara bersama-sama, yang kemudian sampai kepada Kristus. Beberapa penfsir menyatakan bahwa “Kita, dalam gerak menuju kepada kesatuan iman dan pengetahun yang benar, tiba kepada Kristus yang adalah kepala.”[57] Dalam kepenuhan Kristus ini, orang-orang percaya (Kristen) memiliki wawasan yang luas, pertama-tama tidak menganggap diri sebagai golongan yang paling inklusif, melainkan memandang semua orang dalam derajad yang sama di hadapan Tuhan. Oleh karenanya jemaat secara kolektif harus memiliki sikap yang ramah, baik dan mengasihi.

 Ada juga ajaran-ajaran fanatik berlebihan, yang inklusif dalam menjalankan kehidupan agama kristennya. Gereja-gereja Kristen semacam ini menolak bekerjasama dengan pihak lain mulai dari kalangan Gereja sendiri dan terlebih lagi umat beragama lain. Mereka juga umumnya tidak mempedulikan program pemerintah dan bahkan menolak kebudayaan nasional seperti tidak menghormati bendera, tidak melaksanakan protokol kesehatan, dan lain sebagainya. Sejatinya roleransi beragama secara internal di kalangan Kristen sendiri harus dibangun terlebih dahulu melalui pendewasaan rohani jemaat. Nantinya dapat diketahui seberapa besar pengaruh Kedewasaan iman itu dalam melaksanakan toleransi beragama di kalangan Kristen suatu wilayah.

Dari uraian di atas, kedewasaan rohani  dikonsepsikan sebagai tingkat pertumbuhan rohani yang mapan, pertama-tama dikaitkan dengan pengenalan akan Tuhan, iman yang bertumbuh, dan pada akhirnya kesaksian hidup yang mempngauhi orang lain. Dalam urusan keluar, kedewasaan rohani ditunjukkan dengan cara pandang, sikap maupun tindakan terhadap orang yang berbeda dengan diri atau kelompoknya. Rudy Sirait mengemukakan istilah “paradigma” dalam hal kehidupan rohani, yang mana paradigma ini sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Bila paradigma seseorang baik, maka ia akan berlaku baik, tetapi bila paradigma seseorang tidak baik, maka ia tidak berlaku baik. Selayaknya paradigma yang benar mebuat seseorang bercahaya (menjadi terang) di tengah-tengah masyarakat umum.[58] Kedewasaan rohani dibuktikan dengan pardigma yang benar dan menyeluruh.

Dalam urutannya, kedewasaan rohani dimulai dengan pertumbuhan iman, kemudian perilaku melalui kasih dan kemudian menjadi karakter yang mempelopori orang lain. Para pengajar ataupun pemimpn Kristen beranggungjawb memberikan pemahaman kepada jemaat pertama-tama tentang penanaman iman yang kokoh dalam diri mereka, kemudian cara hidup dalam masyarakat umum, dan bahkan menjadi pelopor-pelopor kehidupan yang rukun melalui toleransi beragama. Gereja harus mampu mejawab korelasi kedewasaan rohani kristen dengan toleransi beragama sehingga berperan-serta dalam menciptakan kehidupan yang damai dan rukun dalam masyarakat.

 

1.      Bertumbuh dalam iman

Kedewasaan iman pertama-tama dimulai dan dimanifestasikan melalui pertumbuhan iman. Pertumbuhan iman dalam kekristenan memiliki pengertian yang unik, yang tidak selalu sama dengan pengertian pertumbuhan iman secara umum. Hal ini disebabkan oleh karena dasar atau iman Kristen terletak pada Pribadi Tuhan Yesus Kristus sebagaimana diungkapkan dalam Alkitab. Pemahaman tentang pertumbuhan iman yang benar sangat penting karena akan mempengaruhi kehidupan rohani mereka sendiri. Tanpa pengertian yang benar, bukan tidak mungkin banyak orang menganggap dirinya bertumbuh, padahal bisa saja tidak sesuai dengan kehendak Allah. “Ukuran pertumbuhan iman bukanlah berdasarkan perasaan atau pendapatnya sendiri bahwa dirinya bertumbuh, melainkan sebuah pertumbuhan yang sesuai dengan maksud dan ukuran firman Allah.”[59] Pemahaman ini juga akan menuntun orang-orang percaya pada pertumbuhan iman yang sehat dan sempurna, memiliki paradigama yang benar tentang program pemerintah, mengasihi semua orang tanpa membeda-bedakan serta melaksanakan toleransi beragama baik secara internal maupun eksternal.

Istilah pertumbuhan iman dalam konteks pembahasan toleransi beragama terdiri dari dua kata yaitu “pertumbuhan” dan “iman.” Istilah “pertumbuhan” berasal dari kata dasar “tumbuh” yang Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tumbuh berarti “(1) timbul (hidup) dan bertambah besar atau sempurna; (2) sedang berkembang (menjadi besar, sempurna, dsb); dan (3) timbul; terbit; terjadi (sesuatu).[60] Dalam kaitannya dengan konsepsi Alkitab,”pertumbuhan” terutama berarti pertumbuhan alami dari hasil panen, yang senantiasa di bawah pengaturan dan pengawasan Allah (Im. 26:4; Bil. 7:13; Maz. 67:5).[61] Kiasan tentang pertumbuhan ini biasanya dipakai untuk menggambarkan hubungan Israel dengan Allah (Yer. 2:3) dan berkat-berkat kerohanian yang diberikan Allah (Yes. 29:19; 40:29), teristimewa pada kedatangan Mesias (Yes. 9:4,8).[62] Dalam masa Perjanjian Lama, pertumbuhan dipahami sebagai peningkatan kepercayaan umat pada perintah dan janji-janji Allah, seperti halnya yang telah ditunjukkan oleh Abraham (band. Kej. 15:6). Dalam Perjanjian Baru istilah “pertumbuhan” ini dipakai sebagai kiasan untuk menggambarkan perkembangan gereja (1 Kor 3:6; Ef. 2:21; 4:16; Kol. 2:19).[63] Dalam konsepsi kekristenan pada masa kini, pertumbuhan dikaitkan dengan perkembangan gereja (yaitu penambahan jumlah anggota jemaat) dan peningkatan iman orang-orang yang percaya kepada Kristus. Kata yang kedua adalah “iman,” yang merupakan padanan dari istilah “pertumbuhan” di atas. Pengertian iman telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya yaing pada intinya diartikan sebagai kepercayaan (yang berkenaan dengan agama); keyakinan dan kepercayaan kepada Allah. Artinya orang Kristen dalam konteks toleransi, tetap percaya kepada Allah dalam Yesus Kristus.

Ketika dua istilah ini digabungkan (yaitu “pertumbuhan” dan “iman”) maka diperoleh pengertian pertumbuhan iman adalah peningkatan, kemajuan atau intensifikasi kepercayaan, keteguhan hati kepada Allah dalam Yesus Kristus. Hal ini berlangsung secara progresif dan berkesinambungan sampai menuju menyerupai Kristus. Bagi Yusuf Eko Basuki, pertumbuhan iman yang sehat dan sempurna terwujud ketika seorang Kristen hidup untuk melayani Allah, mencapai kesatuan iman, mencapai pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, mencapai kedewasaan penuh, dan teguh berpegang pada kebenaran di dalam kasih, bertumbuh dalam segala hal kepada Dia, Kristus, yang adalah Kepala.[64] Sementara itu, Woo Young Kim mendefenisikan pertumbuhan iman secara praktis yaitu: “Bertumbuh berarti: (1) ada perubahan dalam pikiran; (2) mengumpulkan kekuatan yang dapat mengalahkan ujian yang sulit; (3) perlu berubah di dalam dan dimensi iman; (4) berubah keadaan, menjadi giat mengikuti kebaktian; dan (5) berubah pendapat tentang pemakaian waktu dan materi.[65] Dari dua pandangan ini, ditemukan adanya peran-peran Allah dan manusia dalam pertumbuhan rohani. Itulah yang dimaksud sebagai kerjasama ilahi (tetapi bukan dalam hal supaya selamat). Pada satu pihak orang percaya berusaha dan berjuang untuk melakukan kehendak Allah, dan pada pihak lain Roh Kudus memberikan kekuatan rohani atau pertumbuhan. Dengan demikian maka ada perubahan hidup seseorang menjadi lebih baik.

Konsepsi tentang pertumbuhan iman serta tahapan-tahapannya dikemukakan oleh Rasul Petrus dengan menuliskan:

“Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, dan kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang. Sebab apabila itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita.”[66] 

 

“Rasul Petrus mendorong orang-orang yang baru percaya untuk maju terus selangkah demi selangkah di dalam kasih karunia ilahi.”[67] Titik tolak pertumbuhan rohani ini dimulai dari iman kepada Kristus, yaitu ketika orang percaya menyerahkan hidup sepenuhnya kepada-Nya. Kemudian dilanjutkan pada tahapan kebajikan, yaitu kehidupan yang melaksanakan tuntutan-tuntutan kehidupan yang sesuai dengan panggilan Allah, melaksanakan ibadah, berbuat baik, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa. Pada tahap selanjutnya ditambahkan pengetahuan yang pada kebajikan dan pada pengetahuan ditambahkan penguasaan diri. Seseorang akan semakin mengenal Tuhan melalui pendengaran akan firman Allah dan pembacaan Alkitab.  Dan seterusnya sampai pada tingkat memiliki kasih kepada semua orang. Pada tingkat yang tinggi ini toleransi beragama dapat dilakukan.

Dengan demikian maka dapat dikemukakan secara lengkap bahwa pertumbuhan iman yang dibahas dalam bagian ini adalah kehidupan yang semakin mempercayai dan taat dengan penuh penyerahan diri kepada Allah yang telah menyatakan diri melalui Yesus Kristus. Dalam menjalani kehidupan sebagai milik Kristus, orang percaya terus menerus mengalami ujian kehidupan yang bertujuan untuk menumbuhkan imannya. Pertumbuhan iman dapat juga dipahami sebagai pertumbuhan kehidupan rohani atau kedewasaan rohani orang percaya. Jadi bertumbuh dalam iman harus menjadi dasar yang kokoh sebelum seseorang menjalankan toleransi beragama sehingga pada akhirnya menjadi Kristen yang pluralis tanpa pluralisme dalam beragama.

a.      Pengenalan akan Firman

Bertoleransi beragama tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa didasari dengan pengajaran agama yang benar. Seorang Kristen dimungkinkan melaksanakan tolerasi beragama secara proposional dengan memiliki pengenalan akan Firman Tuhan secara benar. Ada hal-hal yang sangat esensi dalam ajaran Kristen, dan hal itu tidak dapat dikompromikan. Namun ada hal-hal yang dituntut untuk melakukan secara umum, dan dalam hal inilah dimungkinkan orang-orang Kristen melaksanakan toleransi. Ajaran Kristen harus menyampaikan hal ini secara tuntas. Maka untuk bagian awal, seorang Kristen harus memiliki pengenalan yang memadai terhadap firman Allah.

Sesungguhnya, orang Kristen wajib mengenal Firman Allah dengan benar. Dalam 2 Timotius 3:16-17 Rasul Paulus menyatakan bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan rohani orang percaya: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”

Paulus mengungkapkan bahwa karena Alkitab adalah firman Allah, maka Alkitab memiliki kuasa, otoritas, dan manfaat yang luar biasa bagi manusia. Seperti pernyataan Paulus, Wallis menyatakan bahwa Alkitab sampai kepada kita dengan kewenangan ilahi sepenuhnya sebab merupakan kebenaran mutlak dan karena itu bermanfaat.[68] Manfaatnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, khususnya orang-orang percaya, yaitu mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran. Ini yang dimaksud dengan mengubah seseorang bertunmbuh dalam iman sampai mencapai kedewasaan penuh.

Alkitab penuh petunjuk yang memadai, tepat dan mampu membuat orang menjadi bijaksana, membawa seseorang pada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus (Luk. 16:29, 31; Ams. 6:23; II Tim. 3:15). Janji-janji atau firman itu murni dan benar (Mzm. 12:7; 119:160), sempurna (Mzm. 19:8), sangat berharga (Mzm. 19:11), hidup atau nyata dan kuat (Ibr. 4:12). Firman Tuhan dimaksudkan untuk membawa kelahiran baru (Yak. 1:18), menghidupkan (Mzm. 119:50, 93), memberi terang (Mzm. 119:130), menyegarkan jiwa (Mzm. 19:8), menguduskan (Yoh. 17:17; Ef. 5:26). Firman Tuhan menimbulkan iman (Yoh. 20:31), harapan (Mzm. 119:49; Rm. 15:4), menimbulkan ketaatan, memberi hikmat kepada orang tak berpengalaman (Ul. 17:19, 20), membersihkan hati dan mempertobatkan jiwa (Yoh. 15:3). Tulisan-tulisan itu harus menjadi pedoman atau standar pengajaran (I Ptr. 4:11), harus dipercayai (Yoh. 2:22), merupakan ajakan atau teguran (I Kor. 1:31), harus dibaca dan dikenal (II Tim. 3:15), harus dibacakan kepada orang banyak di hadapan umum (Ul. 17:19). Dalam Santapan Harian dituliskan “Segala tulisan itu menolong orang-orang percaya untuk mendapatkan pengajaran yang benar, menghardik ajaran sesat, mengoreksi kehidupan moral yang keliru, dan menolong orang untuk hidup dalam kesalehan.”[69] Orang-orang Kristen dalam petr

Dengan mencintai Firman Allah, maka orang percaya memiliki standar yangn memadai dalam menjalankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat yang plural. Suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, bahwa mencitai Firman Allah memiliki kuasa untuk memperbaharui kehidupan seseorang dari hari ke hari. Melalui Alkitab manusia dapat mengetahui kedalaman kasih Allah kepada seluruh ciptaan-Nya. Melalui firman-Nya yang disampaikan kepada Nabi-nabi (Perjanjian Lama) dan yang diilhamkan kepada Rasul-rasul (Perjanjian Baru) untuk dituliskan dalam Alkitab, orang percaya dapat belajar tentang Tuhan dan rancangan-Nya. Bagi orang percaya disingkapkan tentang penciptaan, dosa, kematian, pengampunan, keselamatan, iman, pertolongan semasa hidup, dan lain-lain. Firman Tuhan yang ajaib itu memberikan tuntunan dan petunnjuk untuk menghidupi kehidupan yang baik dan yang berkenan kepada Tuhan.

Ungkapan rasa cinta yang begitu mendalam dikemukakan oleh Daud di setiap mazmurnya. Ada begitu banyak ayat yang menyatakan kecintaan sang Daud terhadap firman Tuhan, salah satunya dalam Mazmur pasal 119 yang sangat panjang itu. ini. Di sana Daud melukiskan dengan indah mengenai rasa cintanya dan apa yang ia peroleh dari taurat Tuhan yang sangat ia cintai itu. Dengan lantang Daud berseru: Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari (Mazmur 119:97). Pada bagian lain dikemukakan betapa bahagianya orang yang merenungkan Taurat Tuhan setiap hari (band Maz. 1:2).

Tokoh-tokoh dalam Alkitab menunjukkan rasa cinta terhadap Firman Tuhan, sehingga mereka telah mengalami pertumbuhan iman yang luar biasa, dan tidak jarang mereka dipakai Tuhan dengan luar biasa. Ezra adalah seorang tokoh yang dikenal dengan kecintaannya akan firman Allah. Ezra adalah seorang ahli Taurat, yang dalam Ezra 7:11,12,21 disebut sebagai "imam dan ahli Taurat Allah semesta langit." Dalam Kitab Ezra, diceritakan bahwa Ezra memandang umat Allah, termasuk imam-imam dan orang Lewi, telah mengabaikan firman Allah melalui perkawinan campur dengan perempuan dari etnis lain. Ezra mengajarkan kembali firman Allah dan mendorong umat Allah untuk menaatinya dengan sepenuh hati. Rasa cintanya kepada firman Allah mendorong Ezra untuk mengadakan reformasi di tengah-tengah umat Israel, yaitu penegasan kembali untuk melakukan firman Allah dalam kehidupan mereka sebagai umat Allah. Dengan tekun, Ezra menunjukkan bagaimana menghidupi firman Allah dan mendorong umat Allah untuk meneladani dia. Gaya hidup rohani seperti inilah yang perlu dimiliki oleh setiap pelayan Tuhan. Mari kita bersama-sama belajar dari Ezra, tentang hidup seorang pelayan Tuhan yang mencintai firman-Nya. Ezra mampu mengambil keputusan di tengah-tengah masyarakat yang plural.

Jemaat mula-mula dan orang-orang dalam masa Perjanjian Baru juga menunjukkan rasa cinta mereka pada firman Allah dengan menyelidiki Kitab Suci: “Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian” (Kis. 17:11). Kecintaan akan Firman Allah merupakan salah satu kriteria orang yang akan bertumbuh dalam kehidupan rohani, sebagaimana yang dikemukakan oleh Young Kim: “Orang yang merenungkan, menyelidiki kebenaran yang diwahyukan dalam firman dan tidak meninggalkan Alkitab adalah jemaat yang baik hati.”[70]

Pengenalan yang memadai akan Firman Tuhan dapat dipraktekkan dengan melakukan pembacaan Alkitab setiap hari. Seorang yang benar-benar telah lahir baru akan memiliki suatu kesukaan baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Kesukaan ini merupakan suatu bukti perubahan dalam dirinya bahwa ia ingin mendekatkan diri kepada Allah dan mendengarkan suara Allah, dan hal ini memberikan kebahagiaan dan kedamaian dalam hatinya. Inilah perubahan yang dikerjakan oleh Allah dalam diri seorang percaya. Secara alamiah ada kerinduan yang dalam untuk membaca dan merenungkan Alkitab secara berkesinambungan setiap hari. “Kita mesti sediakan waktu khusus untuk membicarakan dan merenungkan firman Tuhan setiap hari.”[71] Pada umumnya Gereja setempat memberikan pedoman untuk pembacaan Alkitab setahun dan hal itu dilakukan dengan setia.

Pengenlan Alkitab juga dilakukan dengan mendalami Alkitab melalui kegiatan-kegiatan Pendalaman Alkitab (PA), Seminari atau belajar teologi. Bagi orang yang sungguh-sungguh mencintai Firman Allah, ia memiliki kerinduan yang dalam untuk mempelajari kebenaran Firman Allah secara lebih dalam, baik melalui Pendalaman Alkitab yang diselenggarakan oleh Gereja setempat, maupun dengan belajar melalui-seminari-seminari Alkitab atau sekolah teologi. Ini adalah salah satu penggenapan dari mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi, yaitu belajar Firman Allah.

Orang Kristen juga perlu mendengar khotbah atau pemberitaan firman Tuhan dengan sungguh-sungguh. Orang yang mencintai Firman Tuhan tidak mungkin mengabaikan pemberitaan Firman Allah, karena itu merupakan salah satu unsur penyembahan. Dalam Nehemia 8:6b dapat terlihat tanggapan dari seluruh umat Israel ketika mendengar Firman Allah, “Kemudian mereka berlutut dan sujud menyembah kepada Tuhan dengan muka sampai ke tanah.” Mendengar firman Tuhan dengan rasa hormat, penuh minat dan berkomitmen untuk melakukan kehendak Allah melalui khotbah itu.

Selain itu, harus ada keinginan yang kuat untuk melakukan Firman Tuhan yang dipelajari itu, direnungkan dan dibagikannya kepada orang lain. Allah memanggil umat-Nya untuk mencintai dan melakukan firman-Nya. Salah satu kunci pertumbuhan jemaat mula-mula adalah adanya sharing firman Allah dan pemberitaan Injil yang luar biasa. Orang yang mencintai Firman pasti memiliki kerinduan untuk segera melaksanakannya dan mengabarkannya kepada orang lain. Dengan demikian maka terjadi pertumbuhan rohani baik bagi orang yang bersangkutan maupun kepada orang yang mendengarkan kesaksian Injil. Kecintaan pada firman Tuhan adalah elemen penting dalam pertumbuhan rohani orang percaya. Pertumbuhahn rohani ini memberikan ruang bagi pelaksanaan toleransi beragama.Dengan belajar pada firman Allah, maka orang-orang Kristen dapat memiliki cara hidup yang berakar dalam iman serta berbuah dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa belajar firman, orang Kristen tidak mungkin dapat melaksanakan kehidupan dengan iman yang teguh (kepada Kristus) sekaligus toleran secara seimbang (kepada semua orang).

 

b.      Keyakinan yang kokoh akan Tuhan

Pertumbuhan dan kedewasaan rohani ditunjukkan dengan keyakinan yang kokoh dalam Tuhan. Dari sudur pandang iman kristen, keyakinan yang kokoh diartikan sebagai ketetapan hati dalam iman dengan tidak bimbang apalgi menjadi pengikut ajaran agama lain. Artinya seorang kristen yang bertumbuh atau dewasa, sekalipun mejalankan moderasi beragama, namun tetap mengakui kebenaran ajaran agama Kristen. Istilah lain yang sepadan dengan kokoh adalah kukuh, teguh, kuat, tidak goyah dan sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata yang dipakai adalah “kukuh” yang artinya adalah (1) kuat terpancang pada tempatnya; tidak mudah roboh atau rusa; dan kuat; (2) teguh (tentang pendirian, hati, dan sebagainya).[72] Ketika dihubungkan dengan iman, keyakinan yang kokoh berarti bahwa ada keyakinan atau kepercayaan yang sungguh-sungguh, berpendirian tetap pada keyakinan itu dan tidak bimbang atau ragu pada apa yang diyakini itu. Dalam pengertian agama, keyakinan yang kokoh berarti tidak berpindah agama atau kepercayaan.

Alkitab mengungkapkan istilah keyakinan yang kokoh sebagai iman seseorang terhadap Tuhan Yesus Kristus, dengan mengaku Dia sebagai Tuhan dan juruselamat. Di luar itu tidak ada keselamatan. Keyakinan yang kokoh dalam Tuhan diungkapkan oleh Paulus dalam Roma 1:16 “Aku mempunyaui keyakinan yang kokoh dalam Injil.” Di sini Paulus menyatakan keyakinannya yang sangat kuat tentang kebenaran Allah, yaitu bahwa keselamatan hanya ada di dalam Kristus. Kata “ keyakinan yang kokoh” diterjemahkan dalam vrsi-versi bahasa Inggris dengan “I am not ashamed of the Gospel” (saya tidak ragu tentang Injil) dan dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari diterjemahkan “Saya percaya sekali akan kabar baik.” Dengan memperhatikan tejemahan ini, Paulus mengungkapkan betapa ia yakin sekali terhadap Injil, dan tidak merasa ragu atau malu mengakuinya di depan umum. Hal ini yang hendaknya dimiliki oleh orang-orang Kristen di tengah-tengah masyarakat yang memiliki keyakinan berbedfa dengan ajaran Kristen. Orang Kristen harus percaya diri pada ajaran yang dianutnya sebagai kebenaran final. Hal ini memang diakui sebagai ajaran agama dalam konstitusi yang dianut di indonesia. Orang yang memiliki kedewasaan iman berpegang teguh pada Kristus, bahkan bersedia memproklamirkan Ijil itu kepada semua orang. Ini tidak disamakan sebagai kristenisasi melainnkan kesaksian Injil.

Dalam hal memiliki keyakinan yang kuat tentang Injil, Paulus juga menginstrusikan supaya umat Allah bertambah teguh dalam iman. Dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dituliskan: “Hendaklah kalian makin percaya kepada Kristus, menurut apa yang sudah diajarkan kepadamu.” Tema besar utama surat Kolose adalah: “Keutamaan Kristus.”[73] Surat ini ditujukan untuk menasihatkan jemaat supaya mengutamakan Kristus dalam kehidupan mereka. “Paulus menunjukkan bahwa dalam Kristus Allah digambarkan secara sempurna.”[74] Pada sisi lain Paulus mengistruksikan jemaat supaya lebih mengutamakan ajaran sehat tentang keutamaa Kristus lebih dari ajaran-ajaran yang bertentangan dengan pemberitaan Injil Kristus yang dinamai “filsafat” (2:8). Inilah salah satu konsepsi yang paling penting dalam pertumbuhan iman orang Kristen, yaitu semakin percaya dan mengasihi Tuhan Yesus Krtistus. Sebab itu dalam pasal 2:6 dikatakan: “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia.” Ayat ini berisi nasihat supaya orang-orang yang sudah menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya tidak lagi hidup semaunya sendiri atau sekehendak hatinya, tetapi hidup dalam iman kepada Yesus Kristus. Hidup dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus bertitik tolak mulai dari kelahiran baru (sejak seseorang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi), kemudian mengalami keintiman, pengenalan dan kasih akan Dia yang semakin hari semakin meningkat. Inilah progres pertumbuhan iman yang dikehendaki oleh Allah, suatu konsepsi pertumbuhan dan kedewasaan iman yang alkitabiah.

Keyakinan ini merupakan ajaran yang sah dari Agama Kristen yang diakui oleh negara. Orang Kristen memperoleh hak untuk menganut dan memegang teguh ajaran agamanya dengan bebas. Hal ini ditegaskan dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan oleh MPR RI seperti kutipan berikut:

Oleh karena itu, setiap orang dapat menyembah Tuhannya sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Segenap rakyat Indonesia mengamalkan dan menjalankan agamanya dengan cara yang berkeadaban yaitu hormat-menghormati satu sama lain, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk



[1] Program Moderasi Beragama merupakan satu dari tiga mantra Kementrian Agama yang dideklarasikan Oleh Mentri Agama Republik Indonesia pada Rakernas Kementrian Agama Tahun 2019. enag Lukman Hakim menyampaikan tiga mantra untuk mempengaruhi masyarakat terus meningkatkan kualitas kehidupan beragama yaitu moderasi beragama, kebersamaan dan integrasi data. Diungkapkan, mantra moderasi beragama penting diimplementasikan dalam mengelola kehidupan beragama masyarakat Indonesia yang sangat plural dan multikultural ini. Sumber: https://kalteng.kemenag.go.id/kanwil/berita/499463/Buka-Rakernas-Menag-Sampaikan-Tiga-Mantra, diakses tanggal 14 Juli 2022.

[3] Lukaman Hakim Saifuddin, Moderasi Beragama dalam buku LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN, xviii

[4] Mentri Agama Yaqult Quomas mengemukakan bahwa Moderasi beragama merupakan komitmen besar pemerintah, “Presiden menyampaikan untuk melkukan program besar-besaran tentang Mmoderasi Beragama. Majalah Pelita Kristen, halaman 5.

[5] Sambutan Mentri Agama Yaqut Cholil Quomas, Majalah Pelita Kristen, halaman 5-6.

[6] Lukaman Hakim Saifuddin, Moderassi Beragama dalam buku LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN. (Jakarta: Rehobot Literature, 2019), xxv.

[7] Ibid.

[8] https://kbbi.web.id/moderasi

[9] https://kbbi.web.id/moderat

[10] Sulaiman dkk (peny.), Pendidikan Masyarakat: Moderasi, Literasi dan Pernikahan Dini (Yogyakarta:Diva Press, 2020), 246.

[11] Ali Ramdani, Pentingnya Mewujudkan Moderasi Beragama di Lingkungan Kampus. Sumber: https://www.itb.ac.id/news/read/58549/home/pentingnya-mewujudkanr-moderasi-beragama-di-lingkungan-kampus

[12] Lukaman Hakim Saifuddin, Moderassi Beragama dalam buku LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN. (Jakarta: Rehobot Literature, 2019), xxvi .

[13] Majalah Pelita Kristen, 9.

[14] Ali Ramdani, Pentingnya Mewujudkan Moderasi Beragama di Lingkungan Kampus. Sumber: https://www.itb.ac.id/news/read/58549/home/pentingnya-mewujudkanr-moderasi-beragama-di-lingkungan-kampus

[15] Ekstrim kanan dalam hal keagamaan merupakan suatu sikap dan tindak keagamaan yang sangt kaku dan cenderung subyektif. Mereka sangat taat pada ajaran agamanya dan menganggap bahwa agama dan kepercayaannya saja yang paling benar, sedangkan ajaran agama yang lain salah. Sedangkan ekstrim kiri adalah mereka yang memiliki pemahaman liberal atau dapat dikatakan juga kelompok liberal, dan pada dasarnya mereka mengabaikan keimanan keagamaan dan cenderung berpikir bebas.  Bahkan erkstrim kiri ini cenderung mengabaikan ajaran agama, dengan mencoba meniadakan prinsip agama dalam kehidupan mereka.

[16] Majalah Pelita Kristen, 9.

[17] Lihat Analisis ”Matthew 22:38” dalam Biblework Greek New Testament (BGT), Bible Works, ver. 6.0. Software Alkitab, Bible Version. [CD ROM]. Kata agapeseis merupakan kata kerja indikatif aktif dari kata kerja dasar agapao.

[18] Kata “Agapao” dalam Gingrich Greek Lexicon.” Bible Works, ver. 6.0. Software Alkitab, Bible Version. [CD ROM].

[19] Pimpinan MPR dan Badan Sosialisasi MPR Periode 2014-1019, Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2017), 8

[20] T.O. Ihromi (peny), Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 200), xxiii.

[21] Ibid. Hal. 160.

[22] Pimpinan MPR dan Badan Sosialisasi MPR Periode 2014-1019, Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, 47

[23] Pimpinan MPR dan Badan Sosialisasi MPR Periode 2014-1019, Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, 47

 

[24] Ibid.

[25] John Stott, Isu-isu Global, Menantang Kepemimpinan Kristen (Jakarta: Yayasan komunikasi Bina Kasih, 2005), 54.

[26] Ibid, hal. 66,

[27] M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar, Suatu Pengantar (Bandung: Pefika Aditama, 2001), 91.

 

[28] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 30.

 

[29] Supartono Widyosiswono, Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), 105.

[30] S. Z. S. Pangeran Alhaj & Usmani Suya Patria, Pendidikan Pancasila (Jakarta: Kauniaka, 1986), 8.

[31] Harry Priyono dalam “Menimbang Protes, Menaksir Keadilan,” dalam buku yang diedit oleh Alek Lanur, Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 103.

 

[32] S. Z. S. Pangeran Alhaj & Usmani Suya Patria, Pendidikan Pancasila, 8-9.

[33] Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 104.

[34] S. Z. S. Pangeran Alhaj & Usmani Suya Patria, Pendidikan Pancasila, 25.

[35] Ibid. Hal., 19.

[36] J. D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1:A – L  (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1999), 11.

[37] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2015), 19.

[38] Hasil Musyawaraah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa. Sumber: Buku Saku Panduan Praktis Dalam Menggunakan Hak Sebagai Warga Negara Terkait dengan Perlindungan kebebasan Beragama bagi Umat Nasrani (Jakarta: Yayasan Satu Lantera Indonesia, 2018), 45.

[39] Hasil Musyawaraah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa. 47-48.

[40] Uraian Bab XA Pasal 28G UUD 1945, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2015), 176.

[41] Lukaman Hakim Saifuddin, Moderasi Beragama dalam buku LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN, xviii

[43] Hasil Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa. 47-48.

[44] Departemen Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta:Balai Pustaka, Jakarta,2003).550.

[45] Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tanhun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme menjadi Undang-Undang.

[46] Baca artikel detiknews, "Menag: Kekerasan Atas Nama Agama karena Pelaku Kurang Paham Agama" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-4834424/menag-kekerasan-atas-nama-agama-karena-pelaku-kurang-paham-agama

[48] http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM/article/view/221

[49] https://kalbarprov.go.id/berita/toleransi-beragama-tumbuh-dari-kedewasaan-menerima-perbedaan.html

[50] J. L. C. H Abineno, Tafsiran Alkitab Surat Efesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 137.

[51] Ibid. hal. 138.

[52] Analisis “Ephesians 4:13” dalam Biblework Greek New Testament (BGT), Bible Works, ver. 6.0. Software Alkitab, Bible Version. [CD ROM].

[53] Kata “elikia” dalam Gingrich Greek Lexicon.” Bible Works, ver. 6.0. Software Alkitab, Bible Version. [CD ROM].

[54] Kata “elikia” dalam Friberg Greek Lexicon.” Bible Works, ver. 6.0.

[55] Analisis “Ephesians 4:13” dalam Biblework Greek New Testament (BGT).

[56] Efesus 4:13 Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari.

[57] J. L. C. H Abineno, Tafsiran Alkitab Surat Efesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 138

[58] Rudy Revindo Sirait, Outline Khotbah Ekspositori (Yogyakarta: Andi, 2016), 55.

[59] Yusuf Eko Basuki, Pertumbuhan Iman yang Sempurna (Yogyakarta: Gurudhawaca, 2014), 2.

[60] Departemen Pendidikan Nasional,  Kamus Besar Bahasa Indonesia  (Jakarta, Balai Pustaka, 1989), 1306.

[61] J. D. Douglas (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, JIlid 1: A – L (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2008), 511.

[62] Ibid. hal., 511.

[63] Ibid. hal. 512.

[64] Yusuf Eko Basuki, Pertumbuhan Iman yang Sempurna, 2-3.

[65] Woo Young Kim, Yesuslah Jawaban (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 264.

[66] 2 Ptr.1:5-8.

[67] Stephen W. Paine, dalam  The Wycliffe Bible Commentary, Volume 3 (Malang: Gandum Mas, 2004), 1022.

[68] Wilbur B. Wallis, dalam The Wycliffe Bible Commentary, Volume 3, 895.

[69] Sabda, Biblesoft. Sabda, ver. 4.0.Software Alkitab, Kepustakaan, “Firman” dalam Santapan Harian, [CD ROM].

[70] Woo Young Kim, Yesuslah Jawaban (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 335.

[71] Hanna Sebadja, Jadilah Pelaku Firman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 76.

[72] https://kbbi.web.id/kukuh

[73] Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2004), 398.

[74] Ibid. hal. 399.



Oleh: Hasrat P. Nazara, S.Th

Tidak ada komentar:

Posting Komentar