MODERASI
BERAGAMA
Salah satu program
pemerintah melalui kementrian Agama untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur adalah Program Penguatan Moderasi Beragama yang telah dimulai sejak
tahun 2019.
Moderasi Beragama ini merupakan salah satu poin dari tiga Mantra Kementrian
Agama. Adapun Mantra kementrian Agama yang dimaksud terdiri dari tiga bagian
yaitu Moderasi Beragama, Kebersamaan dan Integrasi Data. Pemerintah melalui
Kementrian Agama sungguh memberikan perhatian yang serius untuk melestarikan
keadaan masyarakat yang damai dan hidup dalam kerukunan.
Program Tiga Mantra
Kementrian Agama ini semakin difokuskan pada Program Penguatan Moderasi
beragama yang pada intinya menjaga kehidupan masyarakat Indonesia tetap rukun
sekalipun terdiri dari masyarakat yang plural terutama dalam hal Agama dan
Kepercayaan. Kementrian Agama terus melaksanakan sosialisasi dan
pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan Moderasi beragama baik melalui
lembaga-lembaga Pendidikan maupun melalui organisasi-organisasi dan
lembaga-lembaga keagamaan.
Masalah keagamaan
merupakan salah satu isi yang sensitif dan berpotensi menimbulkan konflik
sehingga dapat merusak toleeransi beragama. Kepentingan ini diketahui oleh
kementrian Agama sehingga Mentri Agama sehingga terus menekankan Moderasi
Beragama kepada jajarannya:
Saya berpesan tentang tiga hal penting yang harus diperhatikan Aparatur
Sipil Negara (ASN) Kementrian Agama (Kemenag) dalam menginplementasikan
Moderasi Beragama. Pertama, ASN Kemenag harus bersungguh-sungguh mengikuti
Master Training Moderasi Beragama yang telah dirancang Kelompok Kerja. Master
Training Moderasi Beragama akan digelar secara bergilir, mulai dari pejabat
eselon 1 hingga ke bawah.
Yaqult berpendapat bahwa Moderasi Beragama merupakan
salah cara ampuh untuk mlestarikan keberagaman Agama dan kepercayaan yang ada
di Indonesia. Lukman Hakim Syaifuddin juga telah menyampaikan pandangan yang
sama:
Di Indonesia,
dalam era demokrasi yang serba terbuka, perbedaaan pandangan dan kepentingan di
antara warga negara yang sangat beragam itu dikelola sedemikian rupa, sehingga
semua aspirasi dapat tersalurkan sebagaimana mestinya. Demikian halnya dalam
beragama, konstitusi kita menjamin kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan
menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya
masing-masing.
Ada komitmen dan harapan yang kuat bahwa upaya menyerap
semua aspirasi beeragama melalui Moderasi beragama mampu membendung berbagai
tantangan dalam upaya melestarikan keharmonisan dalam masyarakat khususnya
dalam hal toleransi beragama.
Ini adalah program
pemerintah secara besar-besaran.Sebagai
tindak cepat dari program ini,
Kementrian Agama telah membentuk Kelompok Kerja yang bekerja melakukan penelitian
berhubungan dengan moderasi beragama. Hasilnya sangat luar biasa, yaitu
terdapat dua kategori praktik moderasi beragama yaitu pasif dan aktif. Moderasi
beragama yang pasif merupakan pengajaran modeerasi beragama yang dilakukan di
lembaga-lembaga pendidikan yang lebih mengacu pada pemenuhan kebutuhan personal
individu sebagai landasan kehidupan orang yang dibina. Sedangkan Moderasi
beragama yang aktif mengajar warga binaan untuk membangun relasi sosial
keagamaan yang jauh lebih erat dan produktif. Ini dilakukan untuk tujuan
keagamaan dan tujuan kebangsaan. Berdasarkan
hasil temuan dari kelompok kerja yang telah dibentuk ini, maka diketahui bahwa
Moderasi beragama perlu diperkuat dalam rangka mewujudkan tujuan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang diprogramkan pemerintah saat ini.
Program moderasi beragama ini tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran Alkitab. Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Kristen
menjalankan dan mengimplementasikan program ini melalui beberapa kebijakan
teknis. Konsep praktisnya adalah menterjemahkan program pemerintah melalui
bahasa Alkitab. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pengertian moderasi
beragama, prinsip iman kristen memahami program ini sebagai implementasi dari
perintah Tuhan untuk saling mengasihi (Luk. 10:27), dan saling menerima (Roma
15:7), juga sebagai penerapan perintah Tuhan untuk tunduk kepada pemerintah (Roma
13:1-3). Program Pemerintah ini pertama-tama disampaikan kepada seluruh jajaran
pemerintah, secara khusus kepada jajaran kementrian Agama. Berdasarkan program
wajib ini, maka Direktorat Jendral Bimas Kristen melaksanakan penguatan moderasi
beragama di kalangan Gereja-gereja maupun lembaga-lembaga kristen lainnya yang
kemudian diteruskan sampai kepada seluruh masyarakat Kristen. Demikian juga
penguatan Moderasi Beragama diteruskan melalui pendidikan keagamaan kristen: sekolah-sekolah,
kampus-kampus dan oraganisasi-organisasi Kristen. Bahkan dalam usaha penguatan
program ini lembaga-lembaga Kristen didorong untuk bekerjasama dengan
lembaga-lembaga keagamaan dari Agama lain.
1.
Konseptual
Moderasi Beragama
Konsep Moderasi
Beragama yang saat inin terus imp;ementasinya sedang dikuatkan dilatarbelakangi
oleh tekat pemerintah mewujudkan masyarakat yang harmonis dan toleran dalam
beragama, serta mengantisipasi munculnnya ajaran agama yang radikal. Program
ini tidak dimaksudkan sebagai lawan dari radiklisme melainkan untuk melawan
ekstrim berlebihan baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Pemahaman Konsep
Moderasi Beragama ini harus dipastikan mengingat adanya kemungkinan
kesalahpahaman memahami progrm ini,
Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan
bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak teguh
pendiriannya, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran
agamanya. Moderat disalahpahami sebagai kompromi keyakinan teologis beragama
dengan pemeluk agama lain. Seorang
yang moderat seringkali dicap tidak paripurna dalam beragama, karena dianggap
tidak menjadikan keseluruhan ajaran agama sebagai jalan hidup, serta tidak
menjadikan laku pemimpin agamanya sebagai teladan dalam seluruh aspek
kehidupan. Umat beragama yang moderat juga sering dianggap tidak sensitif,
tidak memiliki kepedulian, atau tidak memberikan pembelaan ketika, misalnya,
simbol-simbol agamanya direndahkan
dan sebagainya.
Anggapan keliru lain yang lazim
berkembang di kalangan masyarakat adalah bahwa berpihak pada nilai-nilai
moderasi dan toleransi dalam beragama sama artinya dengan bersikap liberal dan
mengabaikan norma-norma dasar yang sudah jelas tertulis dalam teks-teks
keagamaan, sehingga dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, mereka yang
beragama secara moderat sering dihadaphadapkan secara diametral dengan umat
yang dianggap konservatif dan berpegang teguh pada ajaran agamanya.
Kesalahpahaman terkait makna moderat dalam beragama ini berimplikasi pada
munculnya sikap antipati masyarakat yang cenderung enggan disebut sebagai
seorang moderat, atau lebih jauh malah menyalahkan sikap moderat.
Untuk memastikan keseragaman dalam pemahaman secar benar,
maka diperlukan sosialisasi yang memadai melalui pelatihan-pelatihan moderasi
Agama, sosialisasi melalui bimbingan teknis, sosialisasi melalui media-media
dan sebagainya. Dengan sosialisasi ini, maka implementasi penguatan Moderasi
beragama terlaksana sesuai dengan tujuannya yang telah diprogmkan oleh
Pemerintah. Pada dasarnya koseptual moderasi beragama diuraikan melalui
Pengertian dan lingkupan moderasi beragama itu.
a.
Pengertian
Moderasi Beragama
Secara etimologi
kata moderasi berasal diartikan sebagai “pengurangan kekerasan; dan penghindaran keekstreman.”
Dari kata ini muncul istilah “Moderat” yang artinya “selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan
yang ekstrem; dan
berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.
Dalam konteks moderasi beragama isitilah ini tidak dimaksudkan meleburkan ajaran
agama melainkan cara pandang kehidupan beragama di tengah masyarakat yang
plural. Dari pengertian ini nantinya muncul istilah “moderat” yaitu penganut
agama yang moderat.
Moderasi beragama merupakan suatu sikap memiliki pengetahuan yang sangat
luas, selalu berhati-hati dan mampu mengendalikan emosi untuk tidak melebihi
batas pandang/perilaku. Dapat dikatakan bahwa moderasi beragama merupakan suatu
cara memposisikan diri di tengah-tengah, selalu bertindak adil dan berimbang.
Ali Ramdani menegaskan pengertian Moderasi Beragama yaitu:
“Moderasi beragama adalah cara pandang,
sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara
mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan
membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati
konstitusi sebagai kesepakatan bernegara,”
Program
Moderasi Beragama ini tidak mengubah sedikitpun esensi dari ajaran
masing-masing agama. Yang dimoderasikan adalah cara pandang, sikap dan perilaku
dalam mengakomodir perbedaan. Perbedaan yang ada tidak boleh menjadi alasan
untuk intoleran atau diskriminasi.
Hal ini yang dimaksudkan Lukman Hakim
dalam tulisannya, bahwa karakter moderasi
beragama meniscayakan adanya keterbukaan, penerimaan, dan kerjasama dari
masing-masing kelompok yang berbeda. Karenanya, setiap individu pemeluk agama,
apa pun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling
mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih kemampuan mengelola
dan mengatasi perbedaan pemahaman keagamaan di antara mereka. Dengan demikian maka masing-masing
penganut agama yang berbeda dapat saling bertemu dalam satu wadah, memiliki
komunikasi yang baik, dapat bekerja bersama-sama sebagaimana budaya
gotong-royong, saling menghormati dan menghargai dan bersama-sama menciptakan
kehidupan yang rukun dan damai. Maka dalam kebijakan Direktoral Jendral
Bimbingan Masyarakat Kristen, ada materi tentang Moderasi Beragama dan Kristen
Moderat, untuk diajarkan kepada warga binaan.
b.
Batasan
Moderasi Beragama
Moderasi Beragama
memiliki ruang lingkup yang terukur untuk menjaga keseimbangan antara keimanan
dalam suatu agama dan pluralitas di tengah masyarakat yang majemuk. Itulah
sebabnya dalam poin-poin pokok Moderasi Beragama, ditegaskan bahwa Moderasi
Beragama bukan upaya memoderasi agama melainkan memoderasi pemahaman dan
pengamalan umat beragama. Oleh
karena itu Moderasi Beragama tidak mengintervensi ajaran agama, apalagi
mengurangi atau mengubahnya. Hal itu juga ditegaskan oleh Ali Ramdani dalam
pernyataanya tentang pentingnya Mewujudkan Moderasi beragama:
Moderasi beragama dalam konteks ini
berbeda pengertiannya dengan moderasi agama. Agama tentu tidak dapat
dimoderasikan karena sudah menjadi ketetapan dari Tuhan, tetapi kita
memoderasikan cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang kita peluk sesuai
dengan kondisi dan situasi sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran agama.
Dalam
program Moderasi Beragama ini, masyarakat diarahkan untuk tidak menjadi ekstrim,
baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri, tidak fanatik berlebihan dan tidak juga
liberal.
Sebaliknya masyarakat memilih jalan tengah dalam hal bersikap di tengah-tengah
masyarakat umum. Masyarakat tidak boleh terlalu ekstrim kanan dalam menjalankan
kehidupan, masyarakat tidak boleh mengejek atau mendiskriminasikan orng yang
berbeda agama. Masyarakat juga jangan sampai menjadi liberal sehingga tidak
mempedulikan agama. Masyarakat tetap didorong mengamalkan ajaran agamanya .
Moderasi Beragama mengarahkan masyarakat
untuk memilih jalan tengah, atau dalam istilah yang juga sering dipakai adalah
ekstrim tengah. Adapun ekstrim tengah ini yaitu pendukung Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Melalui Konsep Pancasila
sebagai dasar negara, maka NKRI ini mengakui semua agama yang sah, Namun
demikian Negara Kesatuan Republik
Indonesia bukan negara Agama. Indonesia juga
bukan negara liberal, bukan negara atheis dan bukan negara kommunis. Indonesia
adalah Negara Pancasila yang mengakomodir semua kepentingan masyarakatnya.
Dalam poin pokok moderasi beragama dikemukakan
adanya tiga area fokus penguatan yang sedang digalakkan yaitu wacana, regulasi
dan layanan publik. Wacana merupakan berbagai
pemikiran dalam merencanakan penguatan ini. Penguatan aspek regulasi berupa
penguatan hubungan negara dan agama dalam bingkai NKRI. Sementara penguatan
layanan publik adalah yang berhubungan dengan pelayanan umum seperti pendidikan
keagamaan. Indonesia bukanlah negara agama namun negara dan agama berelasi
secara simbang. Moderasi beragama beroperasi di ruang lingkup masyarakat umum
sedangkan untuk hal keimanan diatur oleh masing-masing agama.
Dengan batasan-batasan ini, maka dipastikan
bahwa moderasi Beragama tidak mengintervensi esensi iman Kristen. Iman Kristen
dapat mengajarkan ajaran agamanya dengan sepenuhnya sebagaiman hal ini
merupakan hak setiap warga negara. Justru dalam Moderasi Beragama, pemerintah
mendorong masing-masing agama, termasuk agama kristen untuk menguatkan
pengajaran agamanya dan dari ajaran yang kuat ini nantinya dibangun cara
pandangn yang benar tentang kemajemukan.
Di kalangan kekristenan secara
inteternal, ada tantangan yang harus diakui yaitu perbedaan-perbedaan kecil
yang berpotensi menghalangi kerjasama untuk moderasi beragama ini. Ada
kecenderungan keegoisan masing-masing sinode, dengan menganggap diri yang lebih
benar dari pada yang lainnya. Dalam hal-hal yang seperti ini Dirjen Bimas Kristen
bekerja untuk mengakomodir perbedaan menjadi kekayaan pandangan. Bimbingan
Masyarakat Kristen memiliki kewenangan untuk mengatur kebijakan-kebijakan untuk
kerja bersama dan melaksanakan taanggungjawab bersama seperti dalam hal peran
serta gereja dalam pembangunan. Namun demikian Dirjem Bimas Kristen tidak
mengintervensi ke dalam organisasi atau kebijakan Sinode. Hanya apabila ajaran
dalam suatu Gereja menyimpang dan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila, maka Direktorat Bimbingan Masyarakat Kristen berkewenangan untuk
meluruskannya. Inilah batasan moderasi beragama di kalangan internal masyarakat
kristen.
Dari penguatan moderasi Beragama ini maka masyarakat Kristen juga diarahkan dan
dibina untuk menjadi masyarakat Kristen yang Moderat. Memang tidak ada istilah
moderasi atqau moderat di dalam Alkitab, namun gagasannya terlihat jelas dalam
prinsip-prinsip kehidupan yang dajarkan sepanjang Alkitab. Gagasan mendasar
adalah bahwa orang Kristen diperintahkan untuk mengasihi sesama manusia. Di
atas telah disinggung apa yang tertulis dalam matius 22:39, yaitu perintah
supaya mengasihi sesama manusia. Sesama dalam hal ini bukan hanya sesama
pemeluk agama, melainkan semua orang. Kemudian Alkitab juga mengajarkan untuk
tunduk kepada pemerintah, yang dalam hal ini melaksanakan program pemerintah
(band. Rm. 13:1-5). Banyak ayat dalam Alkitab yang mengajarkan supaya berbuat
baik dan berlaku ramah terhadap semua orang. Bahkan Tuhan Yesus sendiri
mengajarkan supaya mengasihi musuh dan berbuat baik kepada mereka yang
menganiaya (band. Mat.5:44-45). Kasih yang diajarkan dalam kekristenan adalah
kasih yang sempurna. Kata “mengasihi” diterjemahkan dari kata “agapao” yang berarti mengasihi dengan
sempurna. Kasih
yang sempurna ini merupakan kasih yang dilakukan oleh Allah kepada manusia, dan
perintah Allah untuk mengasihi sesamanya. Dalam Gingrich Greek Lexicon, agapao merupakan kasih yang besar, kasih
Yesus yang sempurna kepada umat-Nya, kasih yang menyerahkan nayawa-Nya.
Dengan demikian dalam ajaran Kristen
tidak diberikan kemungkinan untuk berlaku kasar terhadap siapapun. Orang
Kristen harus ramah, artinya menerima semua orang dengan senang hati, dan berbuat baik kepada mereka. Demikian
juga orang Kristen tidak dibenarkan untuk menghakimi sesama manusia Ajaran
Kristen harus ditegakkan, dan sambil taat pada ajaran itu, orang Kristen tidak
boleh fanatik berlebihan. Inilah gagasan moderasi beragama dalam Kekristenan,
dan merupakan salah satu tema utama dan materi dalam Penyuluhan Agama Kristen.
2.
Prinsip
Dasar Moderasi Beragama
Negara Indonesia
yang berdasarkan Pancasila memiliki konsepsi yang mengakmodir semua kepentingan
bangsa dengan semboyan Bhineka tunggal Ika. Pancasila yang menjadi ideologi dan
dasar negara harus menjadi jiwa yang menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat
yang majemuk harus diakomodasi melalui kebinekaan sehingga memiliki satu visi
dan tuuan bersama, yang dimuat dalam konstitusi. Semboyan Bhineeka Tunggal Ika
ini, meskipun berbeda-beda, tetap satu jua, berusaha mencari titik temu dalam
segala kebhinekaan yang terkristalisasi dalam dasar negara (Pancasila) dan
Undang-Undang Dasar serta turunan perundang-undangan lainnya.Atas fakta inilah
Majelis Permusyawaratan Rakyat mengemukakakn Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan
yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam Sosialisasi ini ditegaskan:
Kemajemukan bangsa merupakan kekayaan kita, kekuatan kita, yang sekaligus
juga menejadi tantangan bagi kita bangsa Indonesia, baik kini maupun yang akan
datang. Oleh karena itu kemajemukan itu harus kita hargai, kita junjung tinggi,
kita terima dan kita hormati serta kita wujudkan dalam semboyan Bhineka Tunggal
Ika.
Dalam Sosialisasi itu ditegaskan bahwa Pancasila adalah
mutlak sebagai Ideologi dan dasar Negara; Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara dan Ketetapan MPR; Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara dan Bhineka Tunggal
Ika sebagai Semboyan Negara.
Dalam rangka
memperkuat dan mensosialisasikan ketetapan ini, maka pemerintah telah membentuk
badan-badan negara, organisasi-organisasi negara serta program-program negara.
Salah satu program yang saat ini sedang dilaksanakan pemerintah adalah Moderasi
Beragama melalui Program Kementrian Agama. Secara umum moderasi beragama
menolong setiap umat untuk tidak berpikiran sempit, berpendidikan secara baik
dan berwawasan luas. Bahkan tentang hal ini Ihromi mengajak setiap orang
belajar antropologi budaya supaya dapat megenal keanekaragaman, dan mengakui
bahwa ada nilai-nilai budaya yang berbeda dengannya. Ihromi
bermaksud supaya manusia jangan berpikiran terbatas pada nilai-nilai yang
dimilikinya, tidak menganggap bahwa nilai-nilai yang dimilikinya itu
satu-satunya nilai yang benar, melainkan mengakui akan adanya nilai-nilai yang
berbeda dengan yang dimiliki atau diyakininya sebagai nilai yang setara.Bahkan
dalam pikiran orang-orang primitif, yang tentunya dengan pikirannya yang
sempit, orang lain yang berada di luar batas-batas kesukaannya tidak
dianggapnya termasuk umat manusia.
Dalam zaman modern seperti sekarang ini, ada orang yang memiliki pandangan
bahwa orang yang berbeda agma dengan dirinya atau kelompoknya dianggapnya
sebagai orang kafir yang harus dimusuhi. Ada perasaan bahwa diri sendiri dan
kelompoknya yang paling benar
Dalam hal ini
moderasi beragama dimaksudkan supaya semua nilai maupun ajaran agama dan
kepercayaan diakui secara setara di hadapan konstitusi. Ajaran agama yang satu
diakui sebagai ajaran agama yang sah, dan ajaran agama yang lain juga sama
diakui sebagai ajaran agama yang sah. Konstitusi tidak memberikan adanya ruang
untuk mengabaikan atau mendiskriminasikan salah satu ajaran agama yang ada di
Indonesia. Sekali lagi Moderasi beragama tetap mempertahankan nilai agama
masing-masing secara internal. Namun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
umat beragama berwawasan luas, dan berjiwa kebangsaan. Prinsip dasarnya adalah menujaga
keseimbangan dan keadilan.
a.
Menjaga
Keseimbangan
Dalam Moderasi
Beragama, menjaga keseimbangan dimaksudkan sebagai cara untuk membimbing
masyarakat yang kokoh dalam keyakinan agamanya sekaligus terbuka dalam
berkebangsaan yang plural. Seseorang boleh menganggap keyakinan agamanya
sebagai kebenaran mutlak, namun pada sisi lain menghargai dan menerima
keyakinan orang yang berbeda, bahwa mereka juga memiliki keyakinan bahwa ajaran
agama mereka sebagai kebenaran mutlak. Namun demikian ini tidak boleh menjadi
alasasn untuk perpecahan, permusuhan atau alasan untuk saling membenci apalagi
menyebarkan provokasi.
Sila-sila dalam
Pancasila dimulai dengan ketuhanan dan disusul dengan kemanusiiaan. Ini
merupakan keseimbangan dalam falsafah bangsa Indonesia, yang secara
konstitusional juga diatur dalam Undang-Undang Dasar. Hal itu juga yang
ditegaskan dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaaan:
Atas dasar itu, setiap warga negara Indonesia dianjurkan untuk menjunjung
tinggi nilai-nilai ketuhanan menurut agama dan keyakinannya masing-masing.
Terdapat kepercayaan yang peositif bahwa meskipun terdapat berbagai macam agama
dan keyakinan, misi profetis agama-agama memiliki pertautan etis-religius dalam
memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan, yang
mendorong warga negara untuk mengembangkan nilai-nilai ketuhanan yang lapang
dan toleran.
Dalam hal ini, telah terang benderang dinyatakan bahwa
keyakinan agama tidak dileburkan melainkan masing-masing warga negara memiliki
kemerdekaan untuk mempercayai dan melaksanakan ajaran agamanya. Dalam ungkapan
Sukarno dinyatakan, “ Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan Tuhannya senidiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Islam menurut
petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan Ibadatnya menurut
Kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi masrilah kiga semuanya bertuhan. Hendaknya
negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat Hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,
yakni dengan tiada egoisme agama.”
Masih dalam penjabaran
ketuhanan ini, lebih lanjut MPR menuliskan bahwa negara harus menjamin tegaknya
toleransi beragama yang berkeadaban sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945
Pasal 29 ayat 1 dan 2, yang menjamin kemerdekaan untuk memeluk dan melaksanakan
agama apapun yang diyakinioleh setiap warga negara. Dnegan demikian negara
mendorong terjadinya dialog atau forum antar umat beragama sebagai langkah
konkret dari kewajiban negara.
Keseimbangan ini
lebih lanjut diuraikan dalam sila kedua yaitun Kemanusiaan yang adil dan
beradab. Artinya manusia Indonesia sejajar derajadnya dengan semua manusia di
dunia ini. Manusia Indonesia memiliki akal budi dan hati nurani yang setara
dengan semua manusia di dunia ini. Dengan pengamalan sila kedua ini maka semua
warga mengara memiliki kedudukan yang sama terhadap undang-undang, memiliki
hak dan kewajiban yang sama, juga
memiliki Hak Azasi Manusia secara setara. Kesadaran inilah yang hendak diperkuat
melalui Moderasi beragama. Maka dalam menjalankan kehidupan sebagai warga
negara, ada keseimbangan antara keyakinan agama dan keterbukaan terhadap semua
orang.
Moderasi beragama
diakselerasikan melalui pertemuan-pertemuan dan dialog bersama, dimuali dari
tokoh-tokoh Agama, kemudian disaksikan oleh para pemulug agama dan pada tingkat
yang paling bawah dilaksanakan ketukunan dan toleransi beragama. Hal ini
ditindak-nyatakan melalui kerja bersama, gotong royaong, saling memberi
selamat, saling mendukung dan menghormati Hari-hari Besar keagamaan.
Secara khusus, di
kalangan masyarakat Kristen, moderasi beragama juga harus diimplementasikan.
Pertama-tama pengkajian dasar alkitbiah moderasi beragama ini. Sebelumnya telah
dipastikan bahwa moderasi Beragama tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Alkitab, dan sebalinya Moderasi Beragama merupakan kehendak Allah bagi
umat-Nya. Dasar alkitabnya tidak ditemukn secara eksplisit, namun gagasabn ini
terdapat dalam ajaran Tuhan Yesus dan dimuat dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru. Perintah untuk mengasihi sesama merupakan dasar yang
sangat kuat untuk Moderasi Beragama.
Namun demikian
dalam pelaksanaannya, penguatan moderasi beragama dalam kalangan kristen bukan
tanapa tantangan. Tentu saja terdapat beragam pandangan yang menewrima maupun
menolaknya. Ada saja golongan Kristen fanatik, yang juga merasa diri paling
benar dan orang lain tidak benar. Ada golongan Kristen yang tidak mau
bekerjasama dengan sesama Kristen yang berbeda doktrin, apalagi orang yang
beragama lain. Pada keadaan lain ada golongan Kristen liberal yang salah paham,
kemudian bersikab liberal dengan meleburkan inklusifitas dan finalitas ajaran
iman Kristen. Golongan Kristen liberal ini berupaya memasukkan nilai-nilai
agama lain dalam ajaran Kristen. Ini juga tidak sesuai dengan Moderasi Beragama.
John Stott telah
mengemukakan adanya dua ekstrimis yang saling berlawanan dalam kekristenan.
Ekstrim yang pertama adalah mereka yang terlalu memaksakan dan memberikan
tekanan kepada orang lain yang berbeda dengan mereka. Estrim yang kedua adalah
mereka yang terkesan “tidak mau campur tangan.”
Tentu kedua ekstrim ini bertentangan dengan sikap moderasi beragama yang sedang
dikuatkan dalam kekristenan sendiri. Inilah yang menjadi tanggungjawab Moderasi
Beragama di kalangan Kristen yang harus dibenarkan. Dalam konsepnya, ajaran
Kristen harus ditegakkan, dengan tidak mengurangi sedikitpun dari nilai-nilai
Alkitab, namun tidak dibenarkan untuk menghakimi kepercayaan agama lain.
Beberapa kalangan
orang Kristen dengan fanatismenya yang berlebihan merasa keberatan dengan
Moderasi Beragama di kalangan Kristen.
Mereka beranggapan bahwa Iman Kristen adalah final dan dituntut untuk
melaksanakan penginjilan dengan menjadikan semua bangsa Murid Kristus. Hal ini
dianggap bertentangan dengan Moderasi beragama. Untuk menjawab hal ini, perlu
dibahasa dengan mengungkap masalah lain. Misalkan saja kita akui akan adanya
orang-orang yang memiliki kelainan seperti banci, bencong, Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender (LGBT). Mereka memang memiliki kelainan, namun tidak
berarti uumat kristen harus membnci menjauhi dan mengesampingkaan mereka.
Menurut Alkitab mereka memang tidak dibenarkan, namun orang kristen harus merangkul
mereka. Hal yang sama juga diterapkan dalam Moderasi Beragama. Sesuai dengan
ajaran Alkitab, di luar Kristus tidak ada keselamatan, namun orang Kristen
harus pergi menjangkau orang lain, terbuka terhadap mereka dan mengasihi
mereka.
Dari kenyataan ini
Stott mengemukakan suatu jalan tengah yaitu persuasi dengan mengembangkan sikap
tenggang rasa lagi, bahkan dilakukan dengan lebih sungguh. Terutama di
negara-negara yang minoritas Kristen, dituntut mampu berargumentasi melalui
perbuatan nyata.
Inilah sikap pluralis yang alkitabiah, tidak terlalu fanatik dalam beragama dan
juga tidak liberal dengan sikap membiarkan sesama. Dapat dikatakan bahwa
moderasi beragama dalam kekristenan bukanlah ide baru melainkan merupakan
ajaran Alkitab. Oleh karena itu Gereja perlu terbuka, bersedia berdialog dan
bekerjasama dengan penganut Agama lain. Dengan demikian ada prinsip keseimbangan
antara keimanan dengan kebangsaan.
b.
Prinsip
Keadilan
Selain menjaga
keseimbangan, prinsip Moderasi Beragama juga mengutamakan prinsip keadilan.
Berdasarkan pandangan umum, keadilan adalah pengakuan dan perlakukan yang
seimbang antara hak dan kewajiban.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata adil berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak ataupun tidak
sewenang-wenang.
Dalam pandangan Ilmu Budaya Dasar, keadilan mengandung pengertian sebagai suatu
hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, atau sewenang-wenang.
Keadilan dalam ideologi
Pancasila dituangkan dalam sila kelima yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.”Prinsip keadilan ini adalah bahwa negara (pemerintah)
bertanggungjawab mengatur hal-hal yang dianggap vital untuk kepentingan para
anggotanya, sedangkan selebihnya diserahkan kepada kreatifitas masing-masing
individu dengan catatan tidak merugikan pihak lain. Satu-satunya perbedaan yang
cukup mencolok adalah sumber dari ideologi tersebut, di mana Ideologi Sosialis
terinspirasi dari Ideologi Komunis –Atheis, sedangkan ideologi Pancasila
terinspirasi dari budaya Indonesia sendiri dengan paham politeismenya. Menurut
filsafat Pancasila, pengertian keadilan secara khusus tertuang dalam sila
kelima Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Secara
definitif, Alhaj dan Surya Patria mendefinisikan keadilan menurut Pancasila
yaitu keadilan sosial sebagai “keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala
bidang kehidupan baik material maupun spiritual.”
Menurut Harry Priyono, keadilan sosial berkaitan dengan soal demokrasi dan hak
azasi manusia.
Keadilan berarti juga bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil
dalam bidang hukum, politik sosial, ekonomi dan kebudayaan. Sesuai dengan
Undang-Undang Daa 1945, maka keadilan sosial mencakup pula pengertian adil dan
makmur.
Bung Hatta dalam uraiannya menuliskan bahwa keadilan sosial adalah langkah yang
menentuakan untuk melaksanakan Indonesia adil dan makmur. Cita-cita keadilan
sosial dalam bidang ekonomi ialah dapat mencapai kemakmuran yang merata.
Langkah-langkah
menuju kemakmuran yang merata diuraikan secara terinci. Panitia ad hoc Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1966 memberikan perumusan sebagai
berikut: “Sila Keadilan Sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di
Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik ekonomi
dan kebudayaan.” Menurut perumusan ini, keadilan diartikan sebagai “mendapat
perlakuan yang adil.” Dalam ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), dicantumka
ketentuan sebagai berikut: “Dengan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk
mnciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia.”
Selanjutnya, untuk
mewujudkn keadilan sosial itu, dirinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk
sebagai butir-butir Pancasila yaitu: pertama, perbuatan luhur yang mencerminkan
sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan. Kedua, sikap adil terhadap
sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak
oang lain. Ketiga, sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan.
Keempat, sikap suka bekerja keras. Keenam, sikap menghargai hasil karya orang
lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Dari pihak
pemerintahan, langkah dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai keadilan
sosial itu adalah melalui delapan jalur pemerataan yaitu: pertama, pemerataan
pemenuhan kbutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang dan perumahan;
kedua, pemerataan mmperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; ketiga,
pemerataan pembagian pendapatan; keempat, pemerataan kesempatan kerja; kelima,
pemerataan kesempatan berusaha; keenam, pemerataan kesempatan berpartisipasi
dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; ketujuh,
pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan kedelapan
pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Sama seperti dalam
ideologi lain, pengertian akan kasih (atau perbuatan kasih) dalam filsafat
Pancasila lebih banyak diatur dalam konsepsi agama dan kepercayaan, yang
tertuang dalam sila pertama. Perbuatan kasih dianggap hanya merupakan refleksi
dari keadilan sosial seperti “suka menolong orang lain” dan “kerjasama.” Jadi,
dalam ideologi Pancasila, keadilan dan kasih berhubungan dengan hak-hak dan
kewajiban para anggota masyarakat (warga negara) yang disalurkan secara merata.
Dan untuk menegakkan keadialan itu, dirumuskan hukum positif, sebagaimana yang
terkandung dalam Sumber-sumber Hukum di Indonesia (seperti UUD 1945, KUHP,
dll). Prinsip-prinsip keadilan ini yang dikuatkan dan disosialisasikan dalam
Moderasi Beragama. Pada satu pihak pemeerintah bertanggungjawab memenuhi semua
hak-hak warga negara, dan pada sisi lain warga negara memuni kewajibannya
dengan mengembangkan prinsip keadilan di antara sesama warga negara.
Prinsip keadilan
ini tidak bertentangan dengan ajaran Alkitab. Sekalipun prinsip keadilan dalam
ajaran Kristen diwariskan dari sifat keadilan Allah, namun dalam penerapannya prinsip
keadilan ini dinyatakan dalam cara hidup orang yang telah dibenarkan. Secara
teologis, orang Kristen dituntut untuk berlaku adil terhadap semua orang.
Sebagai manusia yang mewariskan gambar dan rupa Allah, manusia harus bersikap
dan bertindak adil. Keadilan dalam konsep Kristen diidentikkan dengan
kebenaran, yang berarti masyarakat Kristen harus memiliki gaya hidup benar, dan
kebenaran ini ditunjukkan kepada semua orang.
Dalam Perjanjian
Lama, keadilan yang diterjemahkan dari kata ibrani Myspat selain membicarakan keadilan hukum, juga membicarakan cara
seseorang membawakan diri terhadap sesama, yaitu dengan berlaku benar.
Prinsip keadilan juga berbicara mengenai kataatan dan kepatuhan terhadap
undang-undang atau hukum yang telah ditetapkan. Dalam Perjanjian Baru, umat
Kristen diistruksikan untuk menjadi garam dunia dan terang dunia (Mat. 5:13-15).
Ajaran ini diterjemahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahwa
orang-orang Kristen wajib menaati hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah. Maka dengan tegas Paulus telah menasihatkan umat Kristen supaya
taat dan tunduk pada pemerintah yang ada, sebab pemerintah ditetapkan oleh
Allah untuk mengatur kehidupan warga negara (band. Rm. 13:1-7). Di sini juga
setiap orang dinstruksikan untuk melaksanakan kewajibannya terhadap pemerintah.
Mengingat bahwa Ideologi Pancasila mengakomodir ajaran Kristen, maka tepat
bahwa Moderasi Beragama meningkatkan kesadaran sikap nasionalis di kalangan
umat Kristen.
Untuk memastikan
keadilan ini, Dirjem Bimas Kristen telah membuat kebijakan terhadap para
Penyuluh Agama dengan fungsinya yang advodkatif, yaitu memberikan pendampingan
kepada warga binaan untuk mendapatkan hak-haknya. Fungsi advokatif ialah
Penyuluh Agama Kristen memiliki tanggungjawab moral dan sosial untuk melakukan
kegiatan pembelaan terhadap umat/masyarakat dari berbagai ancaman, gangguan,
hambatan dan tantangan terhadap permasalahan-permasalahan keadilan sosial,
penanganan aliran-aliran sempalan, masalah-masalah yang berkaitan dengan
kerukunan umat baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara
umat beragama dengan pemerintah yang selama ini dirasa belum mampu terakomodir
dengan dan belum mendapat penangan sebagaimana semestinya. Tugas ini juga
diamanatkan kepada pemimpin-pemimpin Kristen dan mereka yang memiliki pengaruh
untuk memberikan pendampingan kepada warga jemaat dalam mendapatkan keadilan.
Moderasi Beragama melaksanakan pendampingan ini. Maka jemaat-jemaat Kristen
didorong untuk terbuka terhadap semua orang, dan bahkan melaksanakan
pertemuan-pertemuan lintas agama mulai dari pertemuan-pertemuan tingkat
pemimpin sampai pertemuan-pertemuan di masyarakat umum. Dari forum dan
pertemuan ini dapat disampaikan berbagai kendala dalam menegakkan prinsip
keadilan dan kemudian diusahakan solusi yang terbaik. Maka dengan cara ini,
rencana Pembangunan Nasional dapat diwujudkan.
3.
Karakter
Moderasi Beragama
Sesungguhnya,
Moderasi Beragama memiliki karakteristik yang baik, membawa kesejukan dalam
masyarakat. Memang bagi kaum penganut paham ekstrimis, Moderasi beragama
merupakan ancaman, namun bagi kepentingan bangsa dan negara, Program ini
merupakan terobosan yang bersifat ramah. Dikatakan ramah karena mengakomodir
semua kepentinghan secara berkeadilan dan merangkul semua golongan untuk
mendapatkan hak-haknya. Moderasi beragama tidak memaksa dan tidak
mengintervensi, melainkan menguatkan toleransi dan meniadakan kekerasan.
a.
Penguatan
Toleransi Aktif
Karakteristik
Modeasi Beragama (MB) berpedoman pada dalsafah Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara, bahwa kehidupan yang rukun dan damai harus ditegakkana dan terus
dipertahankan. Sesuai dengan konstitusi, telah dibuat kesepakatan bahwa bentuk
negara Indponesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
didasari pertimbangan bahwa negara kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak
awal berdirinya negara Indonesia dan dipandang paling tepat untuk mewadahi
persatuan dari negara Indonesia yang terdiri dari berbagai latar belakang.
Dalam usaha mempertahankan kesatuan itu Moderasi Beragama meperkuatnya dengan pendekatan
penguatan intensitas toleransi, khususnya toleransi beragama. Persatuan dan
kesatuan Negara harus tetap dipertahankan dengan cara yang toleran tanpa adanya
kkerasan, Dalam kekristenan, pendekatan yang semacam inin didasarkan pada
karakteristik kasih. Pemaksaana dan kekerasan harus dihindari. Tidak diberikan
ruang sedikitpun terhadap diskriminasi, pemaksaan, apalagi kekerasan.
Sebagai langkah
konkritnya, telah diadakan kesepakatan pemuka agama di Indonesia pada tahun
2018. Salah satu hasil kesepakatan yang telah dibuat adalah sebagai berikut:
“Pemuka Agama di Indonesia memandang perlunya memperkuat sikap inklusif
demi keutuhan bansa Indonesia yang majemuk. Untuk itu perlu dikembangkan budaya
kerjasama sehingga dapat hidup berdampingan secara damai, toleran dan saling
menghormati/menghargai satu dengan yang lainnya.”
Kehidupan yang damai senantiasa dikedepankan dalam
kesepakatan ini, dan tidak ada sama sekali usaha untuk memaksakan kehendak
kepada pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat. Hak-hak warga negara untuk
hidup dengan tenang harus dipenuhi. Oleh karena itu para pemuka agama sepakat
untuk menyiarkan kepada masing-masing umat bahwa pemeluk agama lain harus
dipandang sebagai saudara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut disepakati bahwa para pemuka
agama hendaknya menyiarkan agama dalam semangat menghormati dan menhargai agama
lain, serta menghindari berbagai cara yang dapat menimbulkan prasangka saling
merebut umat agama lain, dan tidak menggunakan simbol-simbol khas agama lain
dalam penyiaran agama.
Hal ini merupakan
amanat konstitusi untuk memenuhi Hak Azasi Manusia yang telah dirumuskan dalam
Perubahan Undang-Undang, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
Maka disepakati bahwa pemuka agama tidak menggunakan kekerasan dan ancaman
dalam menciptakan kerukunan umat beragama. Ada optimisme yang besar bahwa
dengan cara ini, tidak mengganggu kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Usaha-usaha Moderasi
Beragama dengan pendekatan ini kemudian diistilahkan oleh Lukma Hakim Saifuddin
sebagai “persuasi” yaitu pendekatan yang bersifat merangkul, mengakomodasi,
tanpa harus ada pemaksaan dan kekerasan. Cara
ini dinilai menghindari timbulnya permasalahan baru seperti perlawanan atau
respon yang tidak baik. Sebaliknya moderasi beragama merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari
keekstreman dalam praktik beragama. Ini adalah sikap
dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan
perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan selalu mencari jalan tengah yang
menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat,
bernegara, dan berbangsa Indonesia.
Dengan
karakteristiknya yang merangkul, mengedepankan persuasi, menghindari pemaksaan
dan kekerasan maka niscaya Indonesia mewujudkan masyarakat yang damai, aman dan
makmur. Sebaliknya untuk intra umat beragama, salah satu hasil kesepakatan yang
telah diambil adalah bahwa setiap pemeluk agama wajib berkontribusi positif
dalam menciptakan kerukunan intra agama maupun antara agama.
Dalam kesepakatan ini juga diakui bahwa permasalah intra agama maupun antara
agama disebabkan oleh ketidaksediaan menerima pluralitas yang ada. Dalam hal
inilah Moderasi Beragama diperkuat.
Dalam
internal kekristenan, kesepakatan pemuka agama diterima sebagai kesepakatan
yang baik, dan merupakan pelaksanaan
kehendak Allah dalam kepatuhan kepada pemerintah. Ajaran tentang kasih
dalam kekristenan begitu kuat. Dengan demikian, maka Moderasi Beragama yang
dilaksanakan di kalangan internal kristen harus dilandaskan pada kasih, dimulai
dengan kasih kepada Allah kemudian kasih kepada sesama manusia. Karakteristik
kasih ini juga dijadikan dasar dalam pelaksanaan Modrasi Beragama tehadap
pemeluk agama lain. Dengan mengajarkan kasih dan keterbukaan terhadap semua
orang, maka Kekristenan, yang dalam hal ini diwakili oleh Gereja, mendorong
umat Kristen untuk terlibat secara akif dalam forum-forum atau
pertemuan-pertemuan baik dalam lingkungan agama Kristen maupun dengan umat
beragama lain. Kekristenan wajib
memproklamasikan karakter kasih dalam peningkatan Moderasi Beragama sekaligus
sebagai pelopornya.
b.
Beragama
untuk Nir Kekerasan
Telah dikemukakan
di atas bahwa Deklarasi dan penguatan Moderasi Beragama dilatarbelakangi oleh
mmunculnnya tantangan-tantangan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
terutama munculnya ajaran-ajaran yang ekstrim, maka Modeerasi beragama memberi
perhatian pada usaha untuk meminimalisir kekerasan. Ajaran Agama yang benar di
Indonesia tidak sedikitpun mengajarkan kekerasan apalagi untuk memaksakan
kehendak kepada pemeluk agama lain. Ajaran-ajaran kekerasan atas nama agama
merupakan ajaran baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam sila pertama
Pancasila. Sekalipun mengatasnamakan agama, namun secara resmi perilaku
kekerasa atas nama agama tidak diakui di Indonesia. Untuk melawan ajaran ini,
tidak dilakukan dengan kekerasan melainkan mempertahankan Moderasi Beragama
yang persuasif dan berbagai pendekatan yang bersifat dewasa, dan nir kekerasan.
Senarnya istilah
“kekerasan” mengandung pengertian yang luas. Dalam Kamus Bahasa Indonesia,
kekerasan memiliki pengertian sebagai perihal (yang
bersifat, berciri)
keras, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya
orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Menurut Definisi Undang-undang, “Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik
dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan
bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang
pingsan atau tidak berdaya.” Kekerasan memiliki banayak tafsir baik dari
pelaku, sasaran maupun caranya. Ada kekerasan oleh seseorang, ada kekeran oleh
kelompok ada yang sasarannya perseorangan ada yang sasarannya kelompok. Ada
yang dilakukan secara terstruktur ada yang dilakukan secara terstruktur. Untuk
pembahasan ini, Moderasi Beragama berfokus pada usaha meredam perilaku
kekerasan atas nama Agama.
Kekerasan atas nama
agama pada masa kini telah bermunculan dan sebagian lagi sengaja dimunculkan
dengan kepentingan yang lain seperti politik dan ekonomi. Munculnya kaum literal dan menguaknya tindakan kekerasan atas
nama agama merupakan tantangan bagi persatuan Indonesia. Isu agama yang digunakan pribadi tertentu kini telah masuk ke
dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Mentri Agama sendiri mengakui munculnya kekerasan atas
nama Agama: “Kabar peristiwa
kekerasan yang mengatasnamakan agama memang sering tersiar.”
Munculnya
kekerasa atas nama Agama ini sesungguhnya tidak ddibenarkan baik menurut
konstitusi maupun kearifan lokal bangsa Indonesia. Sesungguhnya hal ini terjadi
karena perkembangan zaman dan kesalahan dalam mengikutinya. Menurut Fachrul, pelaku kekerasan yang
membawa-bawa agama sebenarnya tidak memahami soal ajaran mulia itu. Agama tidak pernah mengajarkan dan menuntun pemeluknya untuk
merugikan diri sendiri, orang lain, atau pun makhluk Tuhan lainnya. Perilaku
buruk apapun yang mengatasnamakan perintah agama, sebenarnya perlu dikaji
ulang. Sehingga agama tidak selalu dijadikan dalih dan alasan untuk menjadikan
pihak lain menderita. Kekerasan dalam perilaku dan tindakan mencerminkan
keyakinan dan watak pelakunya. Hal ini muncul didasarkan pemahaman atas doktrin
dan keyakinan dalam diri. Upaya memberangus pihak lain atas alasan kesalahan
dan kemaksiatan, bukan cara yang mesti dilalui. Kesalahan dan kemaksiatan
mestinya didekati melalui cara hikmah dan toleransi. Perbedaan cara pandang
terhadap sesuatu tidak boleh menjadi dasar perilaku kekerasan. Di indonesia masih berlaku Undang-undang
yang melindungi semua warga negara dari ancaman kekerasan di mana negara
berkewajiban memenuhi hak-hak ini.
Dalam
konteks dan fenomena inilah Moderasi Beragama diperkuat. Selain tugasnya yang
menuntun pada jalan tengah, Moderasi beragama juga berjuang keras meredam
kekerasan atas nama Agama. Atas usahanya yang begitu kuat, Moderasi Beragama
sering dianggap sebagai lawan dari kekerasan atas nama Agama. Memang hal ini
ada benarnya, sebab, dengan pendekatan yang persuasif, Moderasi Beragama telah
menunjukkan hsil yang baik. Banyak masyarakat yang berubah, pada akhirnya
mereka bersedia terbuka terhadap perbedaan. Bahkan melalui kerjasama dengan
semua pihak, beberapa orang-orang yang dulunya menjadi pelaku kekerasan atas
nama agama, kini menjadi pelopor kerukunan. Yang awalnya anti pemerintah, kini
menjadi pendukung pemerintah. Moderasi Beragama terus diperkuat sehingga
Indonesia menghasilkan nir kekerasan, Inilah konsep yang ditekankan dalam Moderasi
Beragama di Indonesia.
Dalam
ajaran iman Kristen, Pengikut Kritus dilarang melakukan kekerasan apapun
keadaannya. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa dalam pembelaan diri yang dilakukan
tetap tidak boleh melakukan kekerasan. Bahkan secara lebih kuat, Alkitab
mengajarkan supaya tetap mengasihi dan berlaku baik terhadap orang yang
melakukan kekerasan (band.Mat. 5:44). Hal ini telah ditegaskan oleh Tuhan Yesus
dan disampaikan kembali Rasul Paulus dengan menuliskan: “Berkatilah siapa yang
menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!’ (Rm. 12:14). Dalam hal ini
ajran Kristen hanya memberikan cara pembelaan diri dengan menghindar atau
melarikan diri apabila mengalami ancaman atau kekerasan. Bahkan dalam tulisan
Rasul Paulus, orang-orang Kristen yang dianiaya harus tetap memberkati. Konsep
ini merupakan ajaran di kalangan internal Kristen, namun dapat diterapkan dalam
Moderasi lintas Agama. Apalagi dalam internal kekristenan, sikap nir kekerasan
ini harus diterapkan. Makadengan demikian Agama Kristen berkontribusi besar
dalam meningkatkan Moderasi Beragama dan berperan serta dalam program
pemerintah.
B.
KEDEWASAAN
ROHANI
Secara umum, pelstarian tolerasnsi beragama dikaitkan dengan masalah
kedewasaan dalam beragama. Itu juga yang senantiasa dikemukakan dalam
peningkatan Moderasi Beragama bahwa tingkat pemahaman akan satu dengan yang
lain berkaitan dengan tingkat kedewasaan. Dikatakan bahwa sikap toleransi
tumbuh dari kedewazaan menerima perbedaan yang di tengah masyarakat yang
plural. Sikap
dewasa itu yang harus ditanamkan dan dilestarikan dalam perjuangan seluruh
elemen bangsa. Dengan kata lain ada kesadaran dari masyarakat pada umumnya
bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beragam perbedaan, sehingga harus diakui
adanya perbedaan yang dijunjung tingga sebagai kekayaan bangsa. Maka dalam hal
ini ada semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang konsep dasarnya adalah berbeda-beda
tetapi tetap satu jua.
Dalam kalangan Kristen, permasalahan toleransi juga diduga dipengaruhi oleh
kedewasaan rohani baik perseorangan maupun kelompok. Konsepsi kedewasaan dalam
kekristenan berhubungan dengan tingkat pertumbuhan iman yang telah dicapai. Kedewasaan
yang dimaksud pertama-tama diartikan sebagai lawan dari sifak kanak-kanak.
Itulah yang dimaksudkan Paulus ketika ia membedakan antara yang masih
kanak-kanak dengan yang sudah dewasa secara rohani (band, Rm. 2:17-20). Dalam Surat
Korintus disinggung tentang kekanak-kanakan “Ketika aku kanak-kanak, aku
berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir
seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan
sifat kanak-kanak itu” (1 Kor. 13:11). Ada sifat dalam diri orang Kristen yang
seperti kanak-kanak atau seperti orang dewasa. Pada bagian lain, kedewasaan
dikaitkan dengan pengajaran atau hal-hal kerohanian atau cara berpikir dan cara
bertindak.
Kedewasaan iman secara eksplisit dikemukakan sebagai “kedewasaan penuh”
sebagaimana yang dituliskan dalam Efesus 4:13 “sampai kita semua telah mencapai
kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh,
dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.” Dari konteks
ayat itu, kedewasaan berhubungan dengan perlengkapan pelayanan dan rupa-rupa
pengajaran. Pada umumnya kedewasaan yang dimaksud diafsirkan dalam analogi
pertumbuhan manusia, yaitu mencapai tingkat kedewasaan, setelah melaluia masa
kanak-kanak, remaja, dan sampai menjadi sewasa: “Maksud Paulus ialah hendak
mengatakan, bahwa dengan mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang
Anak Allah, mereka tiba kepada “anerteleios” (=orang/laki-laki dewasa atau
sempurna,1 Kor. 2:6; 14:20; Ibr. 5:14).
Kedewasaan ini bukan hanya terjadi secara individu melainkan terjadi secara
komunal, sebagaimana yang dikatakan “Kita semua.” Abineno mengungkapkan bahwa
memang ada yang menfsirkan seperti ini: “Sampai mereka semua bertumbuh menjadi
orang (laki-laki) yang penuh/sempurna bukan secara individual, tetapi secara
kolektif.”
Dalam urusan keluar (masyarakat umum) pengetahuan akan Anak Allah ditujukan
dengan keterbukaan terhadap semua orang. Dengan demikian sikap toleransi
beragama bukan formula yang dipaksakan kepada jemaat kristen melainkan tumbuh
secara alamiah karena pengenalan yang semakin sempurna akan Kristus.
Dalam teks bahasa Yunani, kata yang dipakai untuk “Kedewasaan” adalah
“elikias” kata benda dengan kasus genetif.
Kata ini berasal dari kata dasar Yunani yaitu elikia yang arti dasarnya adalah usia (penuh) atau fisik (penuh).
Memang secara etimologi, kata ini menjelaskan kedewasaan dari segi usia atau
dari segi pertumbuhan fisik, namun pengertian ini juga bisa mengacu pada
tingkatan pertumbuhan rohani orang-orang Kristen. Menurut Friberg Greek Lexicon, kata elikia
(kedweasaan) merupakan figurasi dari kematangan, atau kedewasaan dalam hal
rohani. Kta
kedewasaan dijelaskan dengan kata “penuh’ dari kata Yunani pleromata dengan
kata dasar pleroma.
Artinya adalah penuh, atau mencapai titik tertinggi dalam hal pertumbuhan
rohani. Secara konsep teologis kedewasaan penuh mengacu pada pengenalan dan
pengetahuan, serta iman sampai serupa dengan Kristus. Maka dalam Alkitab Terjemahan Bahasa Indonesia
Sehari-hari diterjemahkan: “Dengan
demikian kita semua menjadi satu oleh iman yang sama dan pengertian yang sama
mengenai Anak Allah. Dan kita menjadi orang-orang yang dewasa yang makin lama
makin bertambah sempurna seperti Kristus.”
Kedewasaan iman ini terjadi dalam komunitas, bukan terjadi secara
bersama-sama, yang kemudian sampai kepada Kristus. Beberapa penfsir menyatakan
bahwa “Kita, dalam gerak menuju kepada kesatuan iman dan pengetahun yang benar,
tiba kepada Kristus yang adalah kepala.” Dalam
kepenuhan Kristus ini, orang-orang percaya (Kristen) memiliki wawasan yang
luas, pertama-tama tidak menganggap diri sebagai golongan yang paling inklusif,
melainkan memandang semua orang dalam derajad yang sama di hadapan Tuhan. Oleh
karenanya jemaat secara kolektif harus memiliki sikap yang ramah, baik dan
mengasihi.
Ada juga ajaran-ajaran fanatik
berlebihan, yang inklusif dalam menjalankan kehidupan agama kristennya.
Gereja-gereja Kristen semacam ini menolak bekerjasama dengan pihak lain mulai
dari kalangan Gereja sendiri dan terlebih lagi umat beragama lain. Mereka juga
umumnya tidak mempedulikan program pemerintah dan bahkan menolak kebudayaan
nasional seperti tidak menghormati bendera, tidak melaksanakan protokol
kesehatan, dan lain sebagainya. Sejatinya roleransi beragama secara internal di
kalangan Kristen sendiri harus dibangun terlebih dahulu melalui pendewasaan
rohani jemaat. Nantinya dapat diketahui seberapa besar pengaruh Kedewasaan iman
itu dalam melaksanakan toleransi beragama di kalangan Kristen suatu wilayah.
Dari uraian di atas, kedewasaan rohani
dikonsepsikan sebagai tingkat pertumbuhan rohani yang mapan, pertama-tama
dikaitkan dengan pengenalan akan Tuhan, iman yang bertumbuh, dan pada akhirnya
kesaksian hidup yang mempngauhi orang lain. Dalam urusan keluar, kedewasaan
rohani ditunjukkan dengan cara pandang, sikap maupun tindakan terhadap orang
yang berbeda dengan diri atau kelompoknya. Rudy Sirait mengemukakan istilah “paradigma”
dalam hal kehidupan rohani, yang mana paradigma ini sangat mempengaruhi
perilaku seseorang. Bila paradigma seseorang baik, maka ia akan berlaku baik,
tetapi bila paradigma seseorang tidak baik, maka ia tidak berlaku baik.
Selayaknya paradigma yang benar mebuat seseorang bercahaya (menjadi terang) di
tengah-tengah masyarakat umum.
Kedewasaan rohani dibuktikan dengan pardigma yang benar dan menyeluruh.
Dalam urutannya, kedewasaan rohani dimulai dengan pertumbuhan iman,
kemudian perilaku melalui kasih dan kemudian menjadi karakter yang mempelopori
orang lain. Para pengajar ataupun pemimpn Kristen beranggungjawb memberikan
pemahaman kepada jemaat pertama-tama tentang penanaman iman yang kokoh dalam
diri mereka, kemudian cara hidup dalam masyarakat umum, dan bahkan menjadi
pelopor-pelopor kehidupan yang rukun melalui toleransi beragama. Gereja harus
mampu mejawab korelasi kedewasaan rohani kristen dengan toleransi beragama
sehingga berperan-serta dalam menciptakan kehidupan yang damai dan rukun dalam
masyarakat.
1.
Bertumbuh
dalam iman
Kedewasaan iman
pertama-tama dimulai dan dimanifestasikan melalui pertumbuhan iman. Pertumbuhan
iman dalam kekristenan memiliki pengertian yang unik, yang tidak selalu sama
dengan pengertian pertumbuhan iman secara umum. Hal ini disebabkan oleh karena
dasar atau iman Kristen terletak pada Pribadi Tuhan Yesus Kristus sebagaimana
diungkapkan dalam Alkitab. Pemahaman tentang pertumbuhan iman yang benar sangat
penting karena akan mempengaruhi kehidupan rohani mereka sendiri. Tanpa
pengertian yang benar, bukan tidak mungkin banyak orang menganggap dirinya
bertumbuh, padahal bisa saja tidak sesuai dengan kehendak Allah. “Ukuran
pertumbuhan iman bukanlah berdasarkan perasaan atau pendapatnya sendiri bahwa
dirinya bertumbuh, melainkan sebuah pertumbuhan yang sesuai dengan maksud dan
ukuran firman Allah.”
Pemahaman ini juga akan menuntun orang-orang percaya pada pertumbuhan iman yang
sehat dan sempurna, memiliki
paradigama yang benar tentang program pemerintah, mengasihi semua orang tanpa
membeda-bedakan serta melaksanakan toleransi beragama baik secara internal
maupun eksternal.
Istilah pertumbuhan iman dalam
konteks pembahasan toleransi beragama terdiri dari dua kata yaitu “pertumbuhan”
dan “iman.” Istilah “pertumbuhan” berasal dari kata dasar “tumbuh” yang Menurut
Kamus Bahasa Indonesia, tumbuh
berarti “(1) timbul (hidup) dan bertambah besar
atau sempurna; (2) sedang berkembang (menjadi besar, sempurna, dsb); dan (3) timbul; terbit; terjadi (sesuatu).” Dalam kaitannya dengan konsepsi Alkitab,”pertumbuhan”
terutama berarti pertumbuhan alami dari hasil panen, yang senantiasa di bawah
pengaturan dan pengawasan Allah (Im. 26:4; Bil. 7:13; Maz. 67:5).
Kiasan tentang pertumbuhan ini biasanya dipakai untuk
menggambarkan hubungan Israel dengan Allah (Yer. 2:3) dan berkat-berkat
kerohanian yang diberikan Allah (Yes. 29:19; 40:29), teristimewa pada kedatangan
Mesias (Yes. 9:4,8).
Dalam masa Perjanjian Lama, pertumbuhan dipahami sebagai peningkatan
kepercayaan umat pada perintah dan janji-janji Allah, seperti halnya yang telah
ditunjukkan oleh Abraham (band. Kej. 15:6). Dalam Perjanjian Baru istilah
“pertumbuhan” ini dipakai sebagai kiasan untuk menggambarkan perkembangan
gereja (1 Kor 3:6; Ef. 2:21; 4:16; Kol. 2:19).
Dalam konsepsi kekristenan pada masa kini, pertumbuhan dikaitkan dengan
perkembangan gereja (yaitu penambahan jumlah anggota jemaat) dan peningkatan
iman orang-orang yang percaya kepada Kristus. Kata yang kedua adalah “iman,” yang merupakan padanan dari
istilah “pertumbuhan” di atas. Pengertian iman telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya yaing pada
intinya diartikan sebagai kepercayaan (yang berkenaan dengan agama); keyakinan dan
kepercayaan kepada Allah.
Artinya orang Kristen dalam konteks toleransi, tetap percaya kepada Allah dalam
Yesus Kristus.
Ketika
dua istilah ini digabungkan (yaitu “pertumbuhan” dan “iman”) maka diperoleh
pengertian pertumbuhan iman adalah peningkatan, kemajuan atau intensifikasi
kepercayaan, keteguhan hati kepada Allah dalam Yesus Kristus. Hal ini
berlangsung secara progresif dan berkesinambungan sampai menuju menyerupai
Kristus. Bagi Yusuf Eko Basuki, pertumbuhan iman yang sehat dan sempurna
terwujud ketika seorang Kristen hidup untuk melayani Allah, mencapai kesatuan
iman, mencapai pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, mencapai kedewasaan
penuh, dan teguh berpegang pada kebenaran di dalam kasih, bertumbuh dalam
segala hal kepada Dia, Kristus, yang adalah Kepala.
Sementara itu, Woo Young Kim mendefenisikan pertumbuhan iman secara praktis
yaitu: “Bertumbuh berarti: (1) ada perubahan dalam pikiran; (2) mengumpulkan
kekuatan yang dapat mengalahkan ujian yang sulit; (3) perlu berubah di dalam
dan dimensi iman; (4) berubah keadaan, menjadi giat mengikuti kebaktian; dan
(5) berubah pendapat tentang pemakaian waktu dan materi.
Dari dua pandangan ini, ditemukan adanya peran-peran Allah dan manusia dalam
pertumbuhan rohani. Itulah yang dimaksud sebagai kerjasama ilahi (tetapi bukan
dalam hal supaya selamat). Pada satu pihak orang percaya berusaha dan berjuang
untuk melakukan kehendak Allah, dan pada pihak lain Roh Kudus memberikan
kekuatan rohani atau pertumbuhan. Dengan demikian maka ada perubahan hidup
seseorang menjadi lebih baik.
Konsepsi
tentang pertumbuhan iman serta
tahapan-tahapannya dikemukakan oleh Rasul Petrus dengan menuliskan:
“Justru
karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada
imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan
penguasaan diri, dan kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan
kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih
akan saudara-saudara kasih akan semua orang. Sebab apabila itu ada padamu
dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam
pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita.”
“Rasul Petrus mendorong
orang-orang yang baru percaya untuk maju terus selangkah demi selangkah di
dalam kasih karunia ilahi.”
Titik tolak pertumbuhan rohani ini dimulai dari iman kepada Kristus, yaitu
ketika orang percaya menyerahkan hidup sepenuhnya kepada-Nya. Kemudian
dilanjutkan pada tahapan kebajikan, yaitu kehidupan yang melaksanakan
tuntutan-tuntutan kehidupan yang sesuai dengan panggilan Allah, melaksanakan
ibadah, berbuat baik, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa. Pada tahap selanjutnya
ditambahkan pengetahuan yang pada kebajikan dan pada pengetahuan ditambahkan
penguasaan diri. Seseorang akan semakin mengenal Tuhan melalui pendengaran akan
firman Allah dan pembacaan Alkitab. Dan
seterusnya sampai pada tingkat memiliki kasih kepada semua orang. Pada tingkat yang tinggi ini toleransi beragama dapat
dilakukan.
Dengan
demikian maka dapat dikemukakan secara lengkap bahwa pertumbuhan iman yang
dibahas dalam bagian ini adalah kehidupan yang semakin mempercayai
dan taat dengan
penuh penyerahan diri kepada Allah yang telah menyatakan diri melalui Yesus
Kristus. Dalam menjalani kehidupan sebagai milik Kristus, orang percaya terus
menerus mengalami ujian kehidupan yang bertujuan untuk menumbuhkan imannya.
Pertumbuhan iman dapat juga dipahami sebagai pertumbuhan kehidupan rohani atau
kedewasaan rohani orang percaya.
Jadi bertumbuh dalam iman harus menjadi dasar yang kokoh sebelum seseorang
menjalankan toleransi beragama sehingga pada akhirnya menjadi Kristen yang
pluralis tanpa pluralisme dalam beragama.
a.
Pengenalan
akan Firman
Bertoleransi
beragama tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa didasari dengan pengajaran
agama yang benar. Seorang Kristen dimungkinkan melaksanakan tolerasi beragama
secara proposional dengan memiliki pengenalan akan Firman Tuhan secara benar. Ada
hal-hal yang sangat esensi dalam ajaran Kristen, dan hal itu tidak dapat
dikompromikan. Namun ada hal-hal yang dituntut untuk melakukan secara umum, dan
dalam hal inilah dimungkinkan orang-orang Kristen melaksanakan toleransi.
Ajaran Kristen harus menyampaikan hal ini secara tuntas. Maka untuk bagian
awal, seorang Kristen harus memiliki pengenalan yang memadai terhadap firman
Allah.
Sesungguhnya, orang
Kristen wajib mengenal Firman Allah dengan benar. Dalam 2
Timotius 3:16-17 Rasul Paulus menyatakan bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah
yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan rohani orang percaya: “Segala tulisan
yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.
Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap
perbuatan baik.”
Paulus mengungkapkan bahwa karena Alkitab
adalah firman Allah, maka Alkitab memiliki kuasa, otoritas, dan manfaat yang
luar biasa bagi manusia. Seperti pernyataan Paulus, Wallis menyatakan bahwa
Alkitab sampai kepada kita dengan kewenangan ilahi sepenuhnya sebab merupakan
kebenaran mutlak dan karena itu bermanfaat.
Manfaatnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, khususnya orang-orang
percaya, yaitu mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan
mendidik orang dalam kebenaran. Ini yang
dimaksud dengan mengubah seseorang bertunmbuh dalam iman sampai mencapai
kedewasaan penuh.
Alkitab
penuh petunjuk yang memadai, tepat dan mampu membuat orang menjadi bijaksana,
membawa seseorang pada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus (Luk.
16:29, 31; Ams.
6:23; II Tim.
3:15).
Janji-janji atau firman itu murni dan benar (Mzm.
12:7; 119:160), sempurna (Mzm.
19:8), sangat
berharga (Mzm.
19:11), hidup
atau nyata dan kuat (Ibr.
4:12). Firman
Tuhan dimaksudkan untuk membawa kelahiran baru (Yak.
1:18),
menghidupkan (Mzm.
119:50, 93), memberi terang (Mzm.
119:130),
menyegarkan jiwa (Mzm.
19:8),
menguduskan (Yoh.
17:17; Ef.
5:26). Firman
Tuhan menimbulkan iman (Yoh.
20:31),
harapan (Mzm.
119:49; Rm.
15:4),
menimbulkan ketaatan, memberi hikmat kepada orang tak berpengalaman (Ul.
17:19, 20),
membersihkan hati dan mempertobatkan jiwa (Yoh.
15:3).
Tulisan-tulisan itu harus menjadi pedoman atau standar pengajaran (I Ptr.
4:11), harus
dipercayai (Yoh.
2:22),
merupakan ajakan atau teguran (I Kor.
1:31), harus
dibaca dan dikenal (II Tim.
3:15), harus
dibacakan kepada orang banyak di hadapan umum (Ul.
17:19). Dalam
Santapan Harian dituliskan “Segala
tulisan itu menolong orang-orang percaya untuk mendapatkan pengajaran yang
benar, menghardik ajaran sesat, mengoreksi kehidupan moral yang keliru, dan
menolong orang untuk hidup dalam kesalehan.” Orang-orang Kristen dalam petr
Dengan mencintai Firman Allah, maka
orang percaya memiliki standar yangn memadai dalam
menjalankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat yang plural. Suatu
kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, bahwa mencitai Firman Allah memiliki kuasa
untuk memperbaharui kehidupan seseorang dari hari ke hari. Melalui Alkitab
manusia dapat mengetahui kedalaman kasih Allah kepada seluruh ciptaan-Nya. Melalui
firman-Nya yang disampaikan kepada Nabi-nabi (Perjanjian Lama) dan yang
diilhamkan kepada Rasul-rasul (Perjanjian Baru) untuk dituliskan dalam Alkitab,
orang percaya dapat belajar tentang Tuhan dan rancangan-Nya. Bagi orang percaya
disingkapkan tentang penciptaan, dosa, kematian, pengampunan, keselamatan,
iman, pertolongan semasa hidup, dan lain-lain. Firman Tuhan yang ajaib itu
memberikan tuntunan dan petunnjuk untuk menghidupi
kehidupan yang baik dan yang berkenan kepada Tuhan.
Ungkapan
rasa cinta yang begitu mendalam dikemukakan oleh Daud di setiap mazmurnya. Ada begitu banyak ayat yang menyatakan kecintaan sang Daud terhadap firman Tuhan, salah satunya dalam Mazmur pasal 119 yang sangat panjang itu. ini. Di sana Daud melukiskan dengan indah
mengenai rasa cintanya dan apa yang ia peroleh dari taurat Tuhan yang sangat ia
cintai itu. Dengan lantang Daud berseru: “Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari” (Mazmur 119:97). Pada bagian lain dikemukakan betapa bahagianya orang yang merenungkan
Taurat Tuhan setiap hari (band Maz. 1:2).
Tokoh-tokoh
dalam Alkitab menunjukkan rasa cinta terhadap Firman Tuhan, sehingga mereka
telah mengalami pertumbuhan iman yang luar biasa, dan tidak jarang mereka
dipakai Tuhan dengan luar biasa. Ezra
adalah seorang tokoh yang dikenal dengan kecintaannya akan firman Allah. Ezra
adalah seorang ahli Taurat, yang dalam Ezra 7:11,12,21 disebut sebagai "imam dan ahli Taurat Allah
semesta langit." Dalam Kitab Ezra, diceritakan bahwa Ezra memandang umat Allah,
termasuk imam-imam dan orang Lewi, telah mengabaikan firman Allah melalui
perkawinan campur dengan perempuan dari etnis lain. Ezra mengajarkan kembali
firman Allah dan mendorong umat Allah untuk menaatinya dengan sepenuh hati.
Rasa cintanya kepada firman Allah mendorong Ezra untuk mengadakan reformasi di
tengah-tengah umat Israel, yaitu penegasan kembali untuk melakukan firman Allah
dalam kehidupan mereka sebagai umat Allah. Dengan tekun, Ezra menunjukkan
bagaimana menghidupi firman Allah dan mendorong umat Allah untuk meneladani
dia. Gaya hidup rohani seperti inilah yang perlu dimiliki oleh setiap pelayan
Tuhan. Mari kita bersama-sama belajar dari Ezra, tentang hidup seorang pelayan
Tuhan yang mencintai firman-Nya. Ezra mampu
mengambil keputusan di tengah-tengah masyarakat yang plural.
Jemaat
mula-mula dan orang-orang
dalam masa Perjanjian Baru juga menunjukkan rasa cinta mereka pada firman Allah dengan menyelidiki Kitab
Suci: “Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang
Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan
hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah
semuanya itu benar demikian” (Kis. 17:11). Kecintaan akan Firman Allah
merupakan salah satu kriteria orang yang akan bertumbuh dalam kehidupan rohani,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Young Kim: “Orang yang merenungkan,
menyelidiki kebenaran yang diwahyukan dalam firman dan tidak meninggalkan Alkitab
adalah jemaat yang baik hati.”
Pengenalan
yang memadai akan Firman Tuhan dapat dipraktekkan dengan
melakukan pembacaan Alkitab setiap hari. Seorang yang benar-benar telah lahir
baru akan memiliki suatu kesukaan baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Kesukaan
ini merupakan suatu bukti perubahan dalam dirinya bahwa ia ingin mendekatkan
diri kepada Allah dan mendengarkan suara Allah, dan hal ini memberikan
kebahagiaan dan kedamaian dalam hatinya. Inilah perubahan yang dikerjakan oleh
Allah dalam diri seorang percaya. Secara alamiah ada kerinduan yang dalam untuk
membaca dan merenungkan Alkitab secara berkesinambungan setiap hari. “Kita
mesti sediakan waktu khusus untuk membicarakan dan merenungkan firman Tuhan
setiap hari.”
Pada umumnya Gereja setempat memberikan pedoman untuk pembacaan Alkitab setahun
dan hal itu dilakukan dengan setia.
Pengenlan
Alkitab juga dilakukan dengan mendalami Alkitab melalui
kegiatan-kegiatan Pendalaman Alkitab (PA), Seminari atau belajar teologi. Bagi
orang yang sungguh-sungguh mencintai Firman Allah, ia memiliki kerinduan yang
dalam untuk mempelajari kebenaran Firman Allah secara lebih dalam, baik melalui
Pendalaman Alkitab yang diselenggarakan oleh Gereja setempat, maupun dengan
belajar melalui-seminari-seminari Alkitab atau sekolah teologi. Ini adalah
salah satu penggenapan dari mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi, yaitu
belajar Firman Allah.
Orang Kristen juga perlu
mendengar khotbah atau pemberitaan firman Tuhan dengan sungguh-sungguh. Orang
yang mencintai Firman Tuhan tidak mungkin mengabaikan pemberitaan Firman Allah,
karena itu merupakan salah satu unsur penyembahan. Dalam Nehemia 8:6b dapat terlihat tanggapan dari seluruh
umat Israel ketika mendengar Firman Allah, “Kemudian mereka berlutut dan sujud
menyembah kepada Tuhan dengan muka sampai
ke tanah.” Mendengar firman Tuhan dengan rasa hormat, penuh minat dan
berkomitmen untuk melakukan kehendak Allah melalui khotbah itu.
Selain itu, harus ada
keinginan yang kuat untuk melakukan Firman Tuhan yang dipelajari itu, direnungkan dan dibagikannya kepada orang lain.
Allah memanggil umat-Nya untuk mencintai dan melakukan firman-Nya. Salah satu
kunci pertumbuhan jemaat mula-mula adalah adanya sharing firman Allah dan
pemberitaan Injil yang luar biasa. Orang yang mencintai Firman pasti memiliki
kerinduan untuk segera melaksanakannya dan mengabarkannya kepada orang lain.
Dengan demikian maka terjadi pertumbuhan rohani baik bagi orang yang bersangkutan maupun
kepada orang yang mendengarkan kesaksian Injil. Kecintaan pada firman Tuhan
adalah elemen penting dalam pertumbuhan rohani orang percaya. Pertumbuhahn rohani ini memberikan ruang bagi
pelaksanaan toleransi beragama.Dengan belajar
pada firman Allah, maka orang-orang Kristen dapat memiliki cara hidup yang
berakar dalam iman serta berbuah dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa belajar
firman, orang Kristen tidak mungkin dapat melaksanakan kehidupan dengan iman
yang teguh (kepada Kristus) sekaligus toleran secara seimbang (kepada semua
orang).
b.
Keyakinan
yang kokoh akan Tuhan
Pertumbuhan dan kedewasaan rohani ditunjukkan dengan
keyakinan yang kokoh dalam Tuhan. Dari sudur pandang iman kristen, keyakinan
yang kokoh diartikan sebagai ketetapan hati dalam iman dengan tidak bimbang
apalgi menjadi pengikut ajaran agama lain. Artinya seorang kristen yang
bertumbuh atau dewasa, sekalipun mejalankan moderasi beragama, namun tetap
mengakui kebenaran ajaran agama Kristen. Istilah lain yang sepadan dengan kokoh
adalah kukuh, teguh, kuat, tidak goyah dan sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata yang
dipakai adalah “kukuh” yang artinya adalah (1) kuat terpancang pada tempatnya; tidak mudah roboh
atau rusa;
dan kuat; (2) teguh (tentang pendirian, hati, dan sebagainya). Ketika dihubungkan dengan
iman, keyakinan yang kokoh berarti bahwa ada keyakinan atau kepercayaan yang
sungguh-sungguh, berpendirian tetap pada keyakinan itu dan tidak bimbang atau
ragu pada apa yang diyakini itu. Dalam pengertian agama, keyakinan yang kokoh
berarti tidak berpindah agama atau kepercayaan.
Alkitab mengungkapkan istilah keyakinan yang kokoh
sebagai iman seseorang terhadap Tuhan Yesus Kristus, dengan mengaku Dia sebagai
Tuhan dan juruselamat. Di luar itu tidak ada keselamatan. Keyakinan yang kokoh
dalam Tuhan diungkapkan oleh Paulus dalam Roma 1:16 “Aku mempunyaui keyakinan
yang kokoh dalam Injil.” Di sini Paulus menyatakan keyakinannya yang sangat
kuat tentang kebenaran Allah, yaitu bahwa keselamatan hanya ada di dalam
Kristus. Kata “ keyakinan yang kokoh” diterjemahkan dalam vrsi-versi bahasa
Inggris dengan “I am not ashamed of the Gospel” (saya tidak ragu tentang Injil)
dan dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari diterjemahkan “Saya percaya sekali
akan kabar baik.” Dengan memperhatikan tejemahan ini, Paulus mengungkapkan
betapa ia yakin sekali terhadap Injil, dan tidak merasa ragu atau malu
mengakuinya di depan umum. Hal ini yang hendaknya dimiliki oleh orang-orang
Kristen di tengah-tengah masyarakat yang memiliki keyakinan berbedfa dengan ajaran
Kristen. Orang Kristen harus percaya diri pada ajaran yang dianutnya sebagai
kebenaran final. Hal ini memang diakui sebagai ajaran agama dalam konstitusi
yang dianut di indonesia. Orang yang memiliki kedewasaan iman berpegang teguh
pada Kristus, bahkan bersedia memproklamirkan Ijil itu kepada semua orang. Ini
tidak disamakan sebagai kristenisasi melainnkan kesaksian Injil.
Dalam hal
memiliki keyakinan yang kuat tentang Injil, Paulus juga menginstrusikan supaya
umat Allah bertambah teguh dalam iman. Dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dituliskan: “Hendaklah kalian makin percaya kepada Kristus, menurut
apa yang sudah diajarkan kepadamu.” Tema besar utama
surat Kolose adalah: “Keutamaan Kristus.”
Surat ini ditujukan untuk menasihatkan jemaat supaya mengutamakan Kristus dalam
kehidupan mereka. “Paulus menunjukkan bahwa dalam Kristus Allah digambarkan
secara sempurna.”
Pada sisi lain Paulus mengistruksikan jemaat supaya lebih mengutamakan ajaran
sehat tentang keutamaa Kristus lebih dari ajaran-ajaran yang bertentangan
dengan pemberitaan Injil Kristus yang dinamai “filsafat” (2:8). Inilah salah satu konsepsi yang paling penting dalam
pertumbuhan iman orang Kristen, yaitu semakin percaya dan mengasihi Tuhan Yesus
Krtistus. Sebab itu dalam pasal 2:6 dikatakan:
“Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu
tetap di dalam Dia.” Ayat ini berisi nasihat supaya orang-orang yang sudah
menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya tidak lagi hidup semaunya
sendiri atau sekehendak hatinya, tetapi hidup dalam iman kepada Yesus Kristus.
Hidup dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus bertitik tolak mulai dari kelahiran
baru (sejak seseorang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi),
kemudian mengalami keintiman, pengenalan dan kasih akan Dia yang semakin hari
semakin meningkat. Inilah
progres pertumbuhan iman yang dikehendaki oleh Allah, suatu konsepsi
pertumbuhan dan kedewasaan iman
yang alkitabiah.
Keyakinan ini merupakan ajaran yang sah dari Agama Kristen
yang diakui oleh negara. Orang Kristen memperoleh hak untuk menganut dan
memegang teguh ajaran agamanya dengan bebas. Hal ini ditegaskan dalam
Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan oleh MPR RI seperti kutipan berikut:
Oleh karena itu, setiap
orang dapat menyembah Tuhannya sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Segenap rakyat Indonesia mengamalkan dan menjalankan agamanya dengan cara yang
berkeadaban yaitu hormat-menghormati satu sama lain, Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk
Ali Ramdani, Pentingnya Mewujudkan Moderasi Beragama di Lingkungan Kampus. Sumber: https://www.itb.ac.id/news/read/58549/home/pentingnya-mewujudkanr-moderasi-beragama-di-lingkungan-kampus
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tanhun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme menjadi Undang-Undang.