Sabtu, 23 September 2017

Efektifitas Penyembahan yang Benar

Penyembahan yang benar adalah penyembahan yang memuliakan Allah. Dengan melakukan penyembahan yang benar akan nyata dalam kehidupan orang yang melakukannya. Ada kenikmatan spiritual dalam kehidupan seorang penyembah Tuhan dan banyak menghasilkan efektifitas dalam kehidupan orang yang melakukannya. Dalam bagian ini penulis menemukan berbagai efektifitas penyembahan, di antaranya dalam kehidupan kerohanian, dalam urusan malawan kuasa gelap, dalam mendemonstrasikan mujizat Allah dan efektifitas dalam mendatangkan berkat-berkat Allah.

1.      Efektifitas dalam Kebangunan Rohani
Sebenarnya, isu penting dalam penyembahan adalah memuliakan Tuhan. Akan tetapi penyembahan itu juga menghasilkan kebangunan rohani bagi orang-orang percaya. Seseorang yang mengalami kasih Tuhan akan menyembah Tuhan dengan penuh ucapan syukur. Kemudian penyembahan itu akan menghasilkan kebangunan dan pertumbuhan rohani seseorang. Jadi seorang yang dengan konsisten menyembah Allah akan mengalami pertumbuhan kehidupan rohani.
Kegiatan penyembahan akan membawa seseorang semakin dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus. Dalam Efesus pasal 5, Paulus membicarakan tentang kehidupan yang penuh dengan Roh Kudus. Efesus 5:18-21 menguraikan cara penyembahan yang membuat seseorang semakin dipenuhi oleh kuasa Roh Kudus, ” Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” Khusus ayat 18, ada satu kalimat penting yaitu “Hendaklah kamu penuh dengan Roh.” Kalimat ini merupakan isu utama dari keseluruhan perikop itu. Paulus merefleksikan penyembahan dengan cara berkata-kata dengan pujian, mengucap syukur dan merendahkan diri. Dengan melakukan penyembahan itu, maka seseorang akan semakin dipenuhi dengan Roh Kudus.
Penuh dengan Roh bukan masalah kuantitas, yang seolah-oleh Roh Kudus bertambah, melainkan soal kualitas. Artinya kehidupan seseorang yang terus menyembah Allah akan semakin dikuasai, dikendalikan dan dipimpin sepenuhnya oleh Roh Kudus. Penyembahan yang benar akan mengesampingkan hal-hal lain dan tiada yang lebih penting dari pada penyembahan itu sendiri. Isi hati yang penuh dengan unek-unek, kepahitan dan semua perasaan hati, akan digantikan dengan kesukaan dan kenikmatan bersama Allah karena kuasa Roh Kudus. Dengan demikian maka kehidupan rohani kita akan semakin meningkat.
Penyembahan juga akan memberikan kelegaan dan semakin menguatkan iman kita. Maka dalam konseling Kristen, kita diajak untuk datang kepada Allah tatkala kita mengalami permasalahan. kita harus datang dan menyembah Allah, dan dengan demikian maka iman kita akan semakin diteguhkan. Memang ada banyak orang Kristen yang tidak datang ke gereja, juga tidak mengikuti pertemuan ibadah lainnya dengan alasan permasalahan. Jadi ketika mereka bermasalah, mereka makin jauh dari Tuhan. Itu adalah konsep yang salah. Justru ketika mengalami masalah, kita harus datang menyembah Tuhan, dan Ia akan memberikan kelegaan. Itulah yang dimaksudkan Yesus ketika Ia berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28).
Penyembahan dimulai dari keselamatan, dan pemahaman akan penebusan membuat seseorang menyembah Allah. Penyembahan yang konsisten akan membawa seseorang pada kehidupan rohani yang bertumbuh dan pertumbuhan rohani itu sendiri akan membuat kita lebih menyembah Tuhan. Jadi ada semacam kerjasama ilahi dalam urusan kebangunan dan pertumbuahan rohani kita.

2.      Efektifitas dalam Melawan Kuasa Gelap
Berdasarkan kebenaran Allah, seorang yang telah memperoleh keselamatan telah didiami oleh Roh Kudus. Karena didiami Roh Kudus, maka kita akan mampu mengalahkan kuasa Iblis. Akan tetapi banyak orang Kristen pada masa kini kalah dan takut kepada Setan. Hal itu bisa terjadi karena mereka tidak sungguh-sunggh hidup sebagai penyembah Allah. Sebenaranya dengan cara hidup yang benar dan konsisten menyembah Allah, kita dapat mengalahkan kuasa Iblis.
Tanpa penyembahan, seseorang tidak dapat mengalahkan kuasa gelap, sebab kuasa gelap hanya dapat dikalahkan oleh kuasa Roh Kudus dan kuasa Roh Kudus itu efektif dalam penyembahan. Dalam salah satu kasus, Lukas melaporkan bahwa anak-anak Skewa pernah mencoba mengusir Setan dalam nama Yesus. Akan tetapi roh jahat itu berbalik menyerang mereka (band. Kis. 19:17). Tanpa Roh Kudus, mereka telah memberanikan diri melawan roh jahat. Akhirnya mereka sendiri yang kalah. Yang memiliki kemungkinan untuk mengalahkan si jahat adalah orang Kristen, dan itupun tidak semuanya. Hanya orang Kristen yang sungguh-sungguh memiliki persekutuan dengan Allah yang dapat mengalahkan Setan.
Banyak orang-orang Kristen pada masa kini kalah oleh Setan. Tidak sedikit yang terpaksa menjual murah rumahnya hanya karena ada anggapan bahwa rumah mereka sedang “ada setannya.” Atau dengan kata lain bukannya mereka dapat mengusir Setan, malahan Setan mengusir mereka. Hal ini benar, bisa terjadi bagi orang yang tidak menyembah Allah. Mereka mungkin mengaku sebagai orang Kristen, akan tetapi mereka tidak memiliki persekutuan yang intim dengan Tuhan. Hanya dengan persekutaun yang intim dalam penyembahan yang memungkinkan kita dapat mengalahkan kuasa gelap.  Oleh sebab itu kita harus melakukan sebagaimana yang dinasihatkan oleh Yakobus: “Tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu!” (Yak. 4:7).
Dalam Efesus 6:10-20, Paulus membicarakan tentang peperangan Rohani. Dalam penjabaran itu Paulus mengungkapkan perlengkapan rohani sebagai senjata untuk melawan kuasa Iblis. Setidaknya ada tiga kata kunci untuk melawan kuasa Iblis yaitu firman (pemberitaan Injil), iman dan doa. Tiga kata kunci itu merupakan istilah-istilah yang menjabarkan penyembahan. Pada simpulannya, tanpa penyembahan kita tidak mungkin dapat mengalahkan kuasa Iblis.
Firman adalah salah satu senjata untuk mengalahkan kuas Iblis dan antek-anteknya. Orang-orang yang setia membaca firman Allah akan dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus. Ada kuasa dalam memperkatakan Firman. Ada kuasa dalam pemberitaan Injil.  Ada kuasa dalam kesaksian kebenaran, dan ada kuasa dalam nama Yesus. Kata-kata firman dan kebenaranlah yang diucapkan oleh orang-orang yang menyembah Tuhan, maka mereka dapat mengalahkan kuasa Iblis.
Senjata yang lain adalah iman. Iman timbul dari pendengaran dan perkataan Firman. Iman bertumbuh dalam penyembahan dan iman itulah yang mampu mengalahkan kuasa gelap. Bersamaan dengan kontinuitas penyembahan, seseorang akan dituntun ke dalam iman yang kuat. Iman bukanlah hal yang dipaksakan, ala kata-kata sugesti. Iman harus dimulai dengan kebenaran firman dan penyembahan. Iman dan penyembahan itulah yang membawa kita pada pemenuhan kuasa Roh Kudus. Bersamaan dengan kuasa Roh Kudus, kita tidak akan gentar menghadapi siasat Iblis. Sebab Roh yang ada di dalam kita, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia ini (Band. 1 Yoh. 4:4).
Selain firman dan iman, doa juga merupakan perlengkapan senjata melawan kuasa kegelapan. Paulus menasihatkan kita untuk berdoa senantiasa, dengan permohonan yang tak putus-putusnya. Jikalau firman sering diibaratkan sebagai makanan rohani, maka doa juga sering diibaratkan sebagai nafas orang percaya. Tanpa bernafas, kita akan mati, demikian juga tanpa doa, rohani kita akan mati. Bagaimana kita dapat melawan kuasa Iblis jikalau rohani kita mati. Doa adalah bagian dari penyembahan, maka itu harus senantiasa kita lakukan.
Dalam usaha-usaha untuk menolong orang yang terikat oleh kuasa gelap, banyak kelompok-kelompok pelayanan tertentu melakukan puasa dan doa. Hal itu memang perlu untuk mengusir Setan. Dalam Markus 9:29, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa ada jenis roh yang hanya dapat diusir dengan doa dan puasa. Artinya dapat disimpulkan dalam satu kata “Penyembahan.” Dengan kehidupan yang penuh dengan penyembahan, kita dapat mengalahkan kuasa kegelapan. Penyembahan juga menyingkapkan kebenaran, membongkar kedustaan dan akan menjauhkan seseorang dari hal-hal yang tidak benar. Iblis tidak tahan mendekati orang-orang yang hidup dalam penyembahan karena Roh Allah ada pada kita.

3.      Efektifitas dalam Mendemonstrasikan Kuasa Allah
Orang yang sungguh-sungguh menyembah akan hidup dalam mujizat Allah, atau dengan kata lain penyembahan dapat mendemonstrasikan mujizat jikalau Allah menghendakinya. Nabi-nabi dalam Perjanjian Lama maupun Rasul-rasul dan orang-orang Kudus dalam Perjanjian Baru bukan hidup dari pekerjaan sekuler, melainkan hidup oleh mujizat Allah. Bahkan untuk kepentingan pelayanan khusus, Allah memakai para penyembah-Nya untuk melakukan mujizat.
Dalam usaha untuk menduduki tanah Kanaan, bangsa Israel mengalami pergumulan untuk menduduki kota Yerikho. Dalam kehidupannya sebagai abdi Allah, Yosua mendapat kasih setia dan janji Allah bahwa ia akan menyerahkan kota Yerikho ke dalam tangan bangsanya. Allah memerintahkan mereka untuk mengelilingi kota itu sambil meniup sangkakala tiap-tiap hari. Dan pada hari yang ketujuh mereka berkeliling tujuh kali sesuai dengan perintah Tuhan. Dengan taat mereka melakukan semuanya itu. Mereka bernyanyi, bersorak, meniup sangkakala sebagai cara ketaatan dan penyembahan sebagaimana petunjuk Tuhan. Hasilnya adalah tembok Yerikho runtuh. Mujizat itu hanya terjadi ketika mereka taat dan menyembah Tuhan.
Dalam Kisah Para Rasul 3:6-10, penulis melaporkan bahwa Petrus mendemonstrasikan kuasa Allah dengan menyembuhkan orang yang lumpuh. Kita tidak dapat menolak kenyataan bahwa Petrus dan Yohanes adalah seorang yang hidup dalam penyembahan. Dalam keberadaan mereka sebagai Rasul, mereka mungkin tidak memiliki uang yang banyak untuk diberikan kepada orang lumpuh itu. Akan tetapi dengan kehidupan penyembahan mereka, Petrus dan Yohanes melakukan hal yang lebih, yaitu menyembuhkan orang lumpuh itu.
Kasus lain yang cukup signifikan adalah terbukanya pintu penjara bagi Paulus dan Silas (Kis 16:25-26), “Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka. Akan tetapi terjadilah gempa bumi yang hebat, sehingga sendi-sendi penjara itu goyah; dan seketika itu juga terbukalah semua pintu dan terlepaslah belenggu mereka semua.” Hanya dengan doa dan penyembahan saja, mujizat Allah terjadi. Hasilnya bukan hanya penjara terbuka dan Paulus maupun Silas dibebaskan, melainkan kepala penjara itu dan seluruh anggota keluarganya menerima kasih keselamatan.
Tiga kisah di atas menegaskan kepada kita bahwa penyembahan yang benar menghasilkan mujizat Allah. Mujizat Allah itu bukan untuk kemuliaan manusia melainkan supaya menghasilkan kemuliaan nama Tuhan. Mujizat itupun bukan tujuan utama penyembahan, itu hanya efektifitasnya. Apapun mujizatnya, penyembahan harus dilakukan sebagai cara atau gaya hidup kita. Allah bisa saja melakukan mujizat supranatural melalui penyembahan kita, akan tetapi Allah berhak secara perogratif untuk tidak melakukan mujizat-Nya.
Isu yang lebih penting adalah penyembahan yang menyenangkan dan memuliakan nama Allah. Banyak orang Kristen tidak mengalami mujizat Allah karena mereka tidak sungguh-sungguh menyembah Allah. Tanpa penyembahan yang benar, tidak akan terjadi mujizat ilahi. Kalaupun mujizat supranatural yang kita harapkan tidak terjadi, kita harus tetap hidup dalam penyembahan. Kesungguhan kita untuk menyembah Allah akan menggugah hati Allah untuk memakai kita berdasarkan kehendak-Nya.

4.      Efektifitas dalam Mendatangkan Berkat-berkat Allah
Sekalipun penyembahan pada dasarnya memberikan sesuatu kepada Allah, namun pada kenyataannya penyembahan dapat efektif dalam kehidupan keseharian kita. Dengan kata lain, orang yang menyembah Allah akan diberkati oleh Allah sendiri, diberikan pertolongan tepat pada waktunya. Banyak ayat dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang menegaskan bahwa orang yang mengasihi Tuhan tidak akan berkekurangan. Allah memelihara orang-orang yang menyembah Dia dengan sungguh-sungguh.
Penulis bukanlah penganut Teologi Sukses, malahan penulis salah satu orang yang sangat ekstrim menolak jenis teologi ini. Akan tetapi penulis tidak dapat memungkiri bahwa orang-orang yang menyembah Allah pasti diberkati. Dalam pemahaman teologia yang lebih lengkap, berkat tidak hanya dipahami sebagai kelimpahan materi atau kesuksesan sebagaimana yang dipahami oleh penganut Teologi Sukses. Berkat yang diterima oleh orang-orang yang hidup menyembah Allah lebih bersifat spiritual berupa pemeliharaan, damai sejahtera, pemulihan, dan kenikmatan hidup dalam persekutuan dengan Allah.
Nuh dikenal sebagai seorang yang bergaul dengan Allah, artinya hidup taat pada perintah Allah dan menyembah-Nya. Ia mendapatkan pemeliharaan Allah pada saat terjadi air bah (Kej. 7). Elia dalam pelayanannya mendapatkan makanan dan minuman melalui janda Sarfat. Ini adalah cara pemeliharaan Allah kepada orang-orang yang berketetapan hati untuk menyembah Allah. Pemazmur menyatakan bahwa orang yang takut akan Allah tidak akan berkekurangan (Maz 34:1--11).
Dalam Perjanjian Lama, ada kisah yang sangat mendebarkan sebagaimana yang sudah disinggung dalam pembehasan sebelumnya, yatu tatkala Sadrakh, Mesakh dan Abednego berketetapan hati untuk tidak menyembah patung emas yang didirikan Raja Nebukadnezar. Mereka menyatakan tetap menyembah Allah (Yahweh) walau apapun yang terjadi. Jelas dengan ketetapan itu mereka terancam dicampakkan ke dalam perapian yang menyala. Oleh komitmen mereka tetap menyembah Allah, maka Allah sanggup melepaskan mereka dari perapian yang menyala itu. Mereka tidak terbakar, mereka baik-baik saja (baca Daniel 3:-30). Allah sungguh memelihara orang-orang yang berketetapan hati untuk menyembah Dia.
Sekalipun orang-orang percaya yang sungguh-sungguh menyembah Allah mungkin tidak memiliki harta yang melimpah namun ada satu berkat yang mereka peroleh yaitu kelimpahan damai sejahtera Allah. Orang yang mencintai Tuhan akan mengarahkan seluruh hasrat hidupnya untuk memuliakan Allah. Dengan demikian maka ia akan terhindar dari berbagai pemikiran ketamakan dan berbagai-bagai keterikatan lain. Dalam komitmennya untuk memuliakan Allah, ia akan memperoleh damai sejahtera Allah.
Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus menasihatkan kita semua supaya senantiasa bersukacita, menunjukkan kebaikan, terus berdoa dalam permohonan dan ucapan syukur (Fil. 4:4-7). Artinya kita terus menyembah Allah. Maka damai sejahtera Allah akan memenuhi hati dan pikiran kita. Inilah berkat yang diperoleh orang yang setia menyembah Allah. Berkat damai sejahtera ini tidak dapat diukur atau dibeli dengan ukuran duniawi. Takarannya akan dinikmati oleh orang yang kepadanya Allah berkenan mengaruniakannya.
Beberapa tahun yang lalu dunia dihebohkan oleh salah satu berita bahwa seorang pengusaha ternama ditemukan bunuh diri dengan menjatuhkan dari dari apatemennya. Dia adalah satu orang terkaya di negaranya, memiliki banyak aset, utang perusahaannya relatif dapat dicicil, semua serba ada, serba lengkap, dengan gaya hidup kemewahan. Akan tetapi orang yang seperti ini tidak dapat menikmati damai sejahtera Allah, karena berkat ini tidak ditemukan dalam kekayaan atau kelimpahan harta. Damai sejahtera Allah hanya akan ditemukan di dalam ketaatan, kesetiaan, dan komitmen penyembahan kepada Allah.

Orang yang hidup dalam penyembahan bukan tidak mungkin jatuh dalam berbagai-keadaan, termasuk segala kekurangan dan dosa-dosa pribadi. Akan tetapi jika ia kembali, bertobat dan hidup dalam penyembahan, maka Tuhan akan memberikan pemulihan, yang takarannya jauh lebih baik dari orang-orang yang memiliki harta melimpah dan mencari pemulihan lewat dokter, filsuf, psikiater atau konselor sekuler lainnya.
Ayo, menyembah Tuhan!!!!


Oleh: Hasrat P. Nazara, S. Th


Jumat, 22 September 2017

Ekspresi-ekspresi dalam Penyembahan

Ekspresi-ekspresi Dalam Penyembahan

Pada umumnya, kegiatan penyembahan diekspresikan dengan berbagai-bagai cara. Ada orang yang dengan sungguh-sungguh tersungkur dari tempat ia berdiri untuk memohon ampun atas dosa-dasanya. Ada orang yang dengan sukacita melonjak kegirangan untuk menikmati hadirat Tuhan. Bahkan ada orang yang tertawa, berteriak, dan sebagainya untuk mengekspresikan penyembahannya. Pada dasarnya ekspresi-ekspresi ini dapat dilihat dalam batas-batas kewajaran dan juga dapat dipandang sebagai kegiatan yang berlebihan. Pembahasan berkut ini akan membawa kita pada pemahaman yang benar akan ekspresi seseorang dalam penyembahan. Dengan demikian, maka sesama anggota jemaat tidak dengan tergesa-gesa mencela cara seseorang mengekspresikan penyembahnnya, juga tidak dengan gampang menerima cara mengekspresikan penyembahan yang kelihatannya luar biasa, sepertinya dilawat Allah.

1.      Ekspresi-ekspresi Primer
Di awal telah dibahas pengertian penyembahan baik dari sisi terminologis (peristilahan) maupun dari sisi konsepsi. Pada prinsipnya, penyembahan dilakukan dengan segala kerendahan hati untuk memberikan pemujaan kepada pihak yang disembah. Dari pemujaan itu, tercermin berbagai ekspresi-eskpresi yang patut dan layak di hadapan Allah. Inilah yang disebut sebagai ekspresi primer atau sikap-sikap utama yang patut dipertunjukkan dalam penyembahan.
Tokoh-tokoh Alkitab memberikan teladan dalam mengekspresikan penyembahan yang benar. Setiap kali mempersembahkan korban kepada Allah, mereka sujud dengan muka sampai ke tanah (band. Kej. 24:26; Kel. 4:31; Neh. 8:7; Mat. 8:2; Why. 15:4, dst). Gerakan tubuh yang sujud saat menyembah mengandung makna ketaatan kerendahan hati. Orang Kristen yang sungguh-sungguh menyembah Allah harus memiliki sikap rendah hati. Apabila ia datang menyembah kepada Tuhan dalam kebaktian, ia dengan sopan dan tertib mengikuti semua liturgi ibadah. Kemudian dalam kesehariannya, orang yang rendah hati bersedia memberikan penghormatan kepada orang lain sebagai wujud penghormatan kepada Tuhan. Kata utama penyembahan dalam Perjanjian Baru diterjemahkan dari kata Yunani proskuneo, yang memiliki arti dasar, membungkuk; mencium ke arah,  yang dalam pengertian rohani sangat erat dengan kerendahan hati.
Dalam Mazmur 100, pemazmur mengajak kita untuk bersorak-sorai saat memuji-muji Tuhan. Unsur rohani yang terpenting dalam hal ini adalah kesukaan. Ekspresi wajah yang bersukacita, tanpa dendam atau sakit hati, juga tanpa membeda-bedakan orang merupakan ekspresi yang patut dipertunjukkan oleh seorang penyembah Allah. Alkitab memang memberikan informasi orang-orang yang hancur hati, berpuasa atau menangis untuk mengekspresikan penyesalan dan pengakuan dosanya, tetapi Alkitab tidak sekalipun memberikan kesempatan untuk berlaku murung. Seorang penyembah Allah harus mempertunjukkan sikap yang ramah terhadap semua orang. Itu adalah bagian dari kesukaan dalam penyembahan.
Ada banyak ekspresi maupun manifestasi yang terjadi pada saat seorang menyembah Allah, tetapi semuanya berlangsung secara normal, sesuai dengan gaya hidup anak-anak Allah. Pada prinsipnya, bernyanyi atau bermazmur, mengucapkan kata-kata pujian terhadap Allah, berdoa dan mengucap syukur, dan sebagainya merupakan ekspresi primer bagi para penyembah Allah.




2.      Ekspresi-ekspresi Sekunder
Ekspresi-ekspresi sekunder adalah manifestasi yang bisa saja muncul pada seseorang yang menyembah Allah, namun hal itu bukan merupakan kemutlakan, karena bisa saja terjadi pada seseorang tetapi tidak pada orang lain. Ada kalanya seseorang menyembah Allah sambil menangis karena penyesalan dan pengakuan dosanya. Atau seseorang bisa saja kelihatan seperti tertawa karena menikmati hadirat Allah yang begitu nikmat. Semuanya itu berlangsung berdasarkan pengalaman seseorang secara pribadi, bukan suatu keharusan.

Menangis
Ada sebagian denominasi Gereja yang menganggap tangisan sebagai bukti penyembahan dan kerohanian yang baik. Dalam pandangan ini, jika seseorang belum sampai menangis, maka ia dianggap belum menyembah Allah secara intim. Dengan kata lain jika seseorang tidak menangis  pada saat ibadah, maka orang itu dianggap kurang rohani, tidak sungguh-sungguh beribadah.
Ketika masih berstatus sebagai mahasiswa praktek, penulis pernah mengikuti suatu ibadah yang dilakukan oleh salah satu kelompok atau denominasi Gereja. Sama seperti biasanya, ada semacam acara atau liturgi penyembahan yang dilakukan setelah selesai melantunkan lagu-lagu melankolis. Seperti kebiasaan mereka, pada saat inilah mereka mulai berseru-seru, mengucapkan kata-kata “tidak beraturan” yang mereka sebut sebagai “penyembahan” dan puncaknya diakhiri dengan menangis.
Pada kesempatan yang sama, penulis berdoa, mengucapkan puji-pujian dan ucapan syukur, tetapi tidak sampai menangis. Kemudian seorang pelayan mendekat, lalu marah sambil berkata: “Kamu tidak sungguh-sungguh menyembah, itu terbukti dengan wajahmu yang sampai saat ini belum menangis!”  Perkataan itu membuat penulis bersedih karena diklaim tidak sungguh-sungguh. Akhirnya penulis pun menangis, bukan karena penyembahan, tetapi karena klaim mereka bahwa penulis belum menyembah. Setelah mereka melihat penulis menangis, mereka kemudian menganggap bahwa penulis sudah sungguh-sungguh menyembah.
Sesungguhnya menangis atau tidak menangis bukanlah tanda kerohanian yang baik, bukan juga bukti bahwa seseorang sudah bersekutu lebih intim dengan Tuhan. Ada orang yang memang menangis pada saat ibadah, tetapi tangisannya tidak berhubungan dengan ibadahnya. Apakah itu bisa dikatakan penyembahan yang sudah mencapai puncaknya? Tentu saja tidak. Jadi menagis atau tidak menangis tidak dapat dijadikan patokan kerohanian atau bukti penyembahan seseorang. Ini hanyalah ekspresi sekunder, dan memang tidak dapat dijadikan sebagai tanda penyembahan yang benar.

Berkata-kata dalam Bahasa Roh
Persoalan lain yang terjadi sebagai kesalahpahaman adalah bahasa lidah atau bahasa roh. Bagi kelompok atau denominasi Gereja tertentu, bahasa roh dijadikan sebagai bukti kepenuhan Roh Kudus. Dalam pandangan ini, seseorang yang dipenuhi Roh Kudus mutlak harus berkata-kata dalam bahasa roh. Jika belum sampai berkata-kata dalam bahasa roh, maka seseorang dianggap belum dipenuhi dengan Roh Kudus. Bagi kelompok ini, alasan utama pemutlakkan bahasa roh adalah supaya iblis tidak mengetahui apa yang diperbincangkan dengan Allah. Alasan lainnya adalah karena Allah adalah Roh, maka untuk berkomunikasi dengan-Nya harus dengan bahasa roh.
Bagi mereka, penyembahan hanya akan mencapai puncaknya apabila seluruh jemaat sudah mengucapkan kata-kata dalam bahasa roh. Mereka memaksa jemaat dan semua yang mengikuti kebaktian untuk berbicara dalam bahasa roh. Orang-orang yang tidak memiliki karunia bahasa roh terpaksa mengucapkan kata-kata tanpa arti supaya mereka juga kelihatan berbicara dalam bahasa roh. Akibatnya, banyak kepura-puraan yang dilakukan dalam ibadah, termasuk pura-pura berbahasa roh itu. Kepura-puraan itulah yang disebut kepalsuan, dan kepalsuan tidak berkenan kepada Allah. Jadi, penyembahan dengan kepalsuan tidak berkenan kepada Allah, dan justru kegiatan yang semacam ini adalah penyembahn kepada Setan.
Pada sisi lain, ada sebagian kelompok atau denominasi Gereja yang terlalu ekstrim menolak penggunaan karunia bahasa roh. Bagi kelompok ini, penggunaan bahasa roh tidak lagi relevan pada zaman ini dan karunia itu tidak lagi diberikan kepada orang percaya. Akibatnya, jika ada orang yang mendapat karunia berkata-kata dalam bahasa roh dan mempergunakannya, mereka merasa tidak nyaman dan segera meminta orang itu berhenti berbicara. Dipastikan dalam kelompok itu tidak satupun yang berkata-kata dalam bahasa roh, dan demikian juga dengan karunia-karunia yang lain. Ini juga bukan penyembahan yang berkenan kepada Allah.
Alkitab memang tidak melarang seseorang berbicara dalam bahasa roh. Tetapi Alkitab juga tidak pernah mengintruksikan bahwa penyembahan yang benar harus ditandai dengan bahasa roh. Kedua persoalan ini harus dilihat berdasarkan terang firman Allah. Jika seseorang tidak menggunakan bahasa roh saat ibadah atau penyembahan karena memang tidak memiliki karunia itu, itu bukan berarti bahwa ia belum menyembah Allah dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya apabila seseorang menggunakan karunia bahasa roh dalam ibadah atau penyembahannya, maka itu adalah sesuatu yang baik, tidak boleh dilarang. Yang dilarang adalah berkata-kata tanpa arti, alias bahasa roh palsu.
Bahasa roh adalah salah satu karunia Roh Kudus. Itu diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Roh Kudus, tetapi tidak untuk semua orang. Jamaat di Korintus telah salah paham tentang kebenaran ini. Maka Paulus memberikan penjelasan yang memadai, bahwa kepada masing-masing orang diberikan karunia yang berbeda-beda, supaya anggota jemaat saling membangun, saling menguatkan dan bertumbuh secara bersama-sama. Hendaknya kita perlu memperhatikan apa yang dikatakan dalam Kitab Suci ini:
“Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya. Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh. Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, atau untuk menyembuhkan, atau untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh?” (1 Kor. 12:27-30).
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan retorik, yang tidak memerlukan jawaban. Kebenarannya adalah bahwa tidak semua jemaat melakukan fungsi yang sama. Masing-masing menjalankan tugas dan pelayanannya sesuai dengan karunia yang diberikan oleh Roh Kudus. Jadi tidaklah benar pemutlakan bahasa roh sebagai tanda penyembahan yang sungguh-sungguh, atau sebagai tanda lawatan Roh Kudus sebagaimana yang banyak dipahami oleh gereja-gereja beraliran Pentakosta atau Kharismatik.
Mengingat bahwa bahasa roh adalah karunia, maka tidak selayaknya gereja-gereja beraliran Protestan alergi terhadapnya. Mereka mengakui bahwa Roh Kudus masih terus memberikan karunia-karunia rohani kepada jemaat, tetapi mengapa untuk bahasa roh tidak diberikan? Inilah cara pandang yang lebih bersifat doktrin dari pada keterbukaan menerima kebenaran firman Allah. Sampai akhir zaman, Allah akan terus mengruniakan karunia-karunia rohani kepada jemaat untuk pelayanan, maka karunia bahasa roh pun harus diakui bahwa masih diberikan kepada jamaat pada masa kini.
Dalam penyembahan, ada kalanya seseorang berkata-kata dalam bahasa roh sesuai dengan karunia yang diberikan Roh Kudus kepadanya. Maka bahasa roh itu berguna untuk membangun diri orang yang bersangkutan, dan jikalau ada orang yang diberi karunia untuk menafsirkannya, maka jemaat yang lain akan dibangun. Berdasarkan kebenaran firman, maka gereja maupun kelompok orang-orang yang anti bahasa roh tidak berhak melarang seseorang mempergunakan karunia bahasa roh. Tetapi jika memang tidak ada yang memiliki karunia itu, maka tidak boleh dipaksakan dengan mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat. Kalau hal itu terjadi maka penyembahan tidak lebih dari sebuah sandiwara.




Bernubuat
Satu lagi ekspresi yang biasa dimanifestasikan pada saat penyembahan yaitu nubuat. Pada umumnnya, manifestasi ini berlangsung pada saat ibadah sedang berlangsung, yaitu saat berdoa, atau saat menyanyikan puji-pujian. Pada saat penyembahan, tiba-tiba ada seorang atau lebih mulai mengucapkan kata-kata “nubuat” baik tentang seseorang, tentang gereja, tentang dunia atau tentang hal yang lain. Dalam aliran Gereja tertentu ini dianggap sebagai “nubuatan” dan orang gang melakukannya disebut sebagai “nabi,” akan tetapi bagi gereja lainnya, ini disebut sebagai “kata-kata profetik” yang biasanya dilakukan oleh para pendoa, atau yang menyatakan diri sebagai pasukan doa. Maka tidak heran bahwa bagi beberapa gereja ada yang dianggap sebagai nabi, pendoa garis depan, atau orang-orang yang paling rohani.
Jika kita perhatikan kebenaran Alkitab secara menyeluruh, nubuat adalah salah satu karunia Roh Kudus, sama seperti karunia bahasa roh. Maka prinsipnya pun sama, tidak harus semua orang bernubuat, dan juga tidak memaksakan seolah-olah menubuatkan sesuatu padahal bukan gerakan Roh Kudus.
Dalam teologi Injili Konservatif, nubuatan ada dua macam. Nubuatan yang pertama adalah nubuat yang bersifat pewahyuan, yaitu pengungkapan hal-hal yang akan datang berdasarkan kehendak Allah. Nubuatan ini terjadi pada masa Perjanjian Lama, sebelum Yesus lahir ke dunia. Allah memakai sarana pewahyuan ini karena Tuhan Yesus belum datang ke dunia, dan Alkitab belum selesai ditulis. Maka Allah mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada manusia melalui nubuatan para Nabi. Setelah Yesus datang ke dunia, maka Allah berbicara kepada manusia melalui Yesus Kristus (Ibr. 1:1-2). Melalui Yesus Kristus, Allah menyatakan kehendak-Nya kepada manusia secara sempurna. Tidak ada lagi yang tidak disingkapkan. Semua kehendak Allah itu ditulis dalam Kitab Suci. Maka dengan demikian tidak ada lagi wahyu baru. Tuhan Yesus memperingatkan kita: “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: ‘Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini” (Why. 22:18).
Dengan tidak adanya wahyu baru, maka nubuatan dalam karunia nubuatan lebih bersifat  pencerahan atau penjelasan. Inilah nubuatan yang kedua, bukan wahyu baru, melainkan menjelaskan maksud Allah dalam Kitab Suci, di mana tidak semua orang dapat memahaminya. Dengan ditiadakannya nubuat yang bersifat pewahyuan, maka tidak ada lagi nabi. Yang dimaksud dalam Efesus 4:11 maupun 1 Korintus 12:28 bahwa Allah yang memberi baik Nabi-nabi maupun Rasul-rasul tidak tepat jika dianggap sebagai jabatan, melainkan karunia. Terjemahan yang tepat bukanlah “memberikan” melainkan “mengaruniakan” Nabi-nabi.
Berdasarkan prinsipnya, nabi adalah penyambung lidah Allah dalam masa Perjanjian Lama dan Rasul adalah penyambung lidah Allah pada masa Perjanjian Baru di mana Alkitab belum selesai ditulis. Rasul Paulus  mengungkapkan kebenaran bahwa Gereja didirikan di atas dasar para Rasul dan para nabi dengan Yesus Kristus sebagai batu penjurunya (Ef. 2:20). Nabi dan Rasul adalah fondasi Gereja yang telah didirikan, maka tidak ada tempat lagi bagi nabi-nabi maupun rasul-rasul modern pada masa kini. Yang ada adalah karunia jabatan kenabian dan karunia jabatan kerasulan. Tugas mereka bukan menubuatkan wahyu baru, melainkan menjelaskan makna nubuat dalam Kitab Suci. Harus diingat bahwa karunia jabatan ini berhubungan dengan pendiriaan dan perkembangan Gereja.
Karena ini adalah karunia, maka tidaklah benar apabila nubuatan dijadikan patokan utama penyembahan yang benar-benar dilawat Tuhan. Tanpa manifestasi karunia inipun penyembahan dapat berlangsung dengan baik dan benar. Ini hanya salah satu manifestasi yang bisa saja terjadi pada saat penyembahan. Jadi, eskpresi penyembahan berupa manifestasi karunia nubuatan bersifat relatif, tidak menentukan kualitas penyembahan kita kepada Allah.
Selain menangis dan demontrasi karunia-karunia Roh Kudus, banyak ekspresi yang dapat dipertunjukkan dalam penyembahan. Pada saat ibadah, bisa saja ada yang orang yang mengucapkan kata-kata pujian kepada Allah dengan suara keras, atau menyanyikan puji-pujian dengan gerakan badan seperti bertepuk tangan, menari, melompat dan sebaginya. Itu pun sah-sah saja asalkan tidak melewati batas-batas kewajaran, dan tidak menjadi sandungan bagi orang lain.
Karena ekspresi ini sifatnya sekunder atau relatif, maka mungkin saja cara itu diterima dalam suatu Gereja tetapi bagi Gereja lain tidak. Pada umumnya, Gereja-gereja beraliran Protestan lebih menyukai ekspresi penyembahan dengan khidmat, duduk diam dan melantunkan puji-pujian yang diatur sedemikian rupa. Sebaliknya Gereja-gereja beraliran kharismatik lebih menyukai ekspresi penyembahan dengan berbagai manifestasi karunia Roh Kudus. Kedua hal ini sah-sah saja dan dapat diterima.
Pemazmur memberikan informasi ekspresi penyembahan yang bervariasi. Terkadang pemazmur mengajak jemaat untuk bernyanyi bersahut-sahutan, bersorak-sorak, menangis, atau berdiam diri. Demikian juga orang-orang percaya dapat mengekspresikan penyembahannya dengan berbagai-bagai cara, dapat disesuaikan dengan waktu maupun keadaan tertentu. Yang dituntut adalah kemurnian hati para penyembahnya.
Inilah ekspresi penyembahan yang bersifat sekunder, artinya bukan merupakan keharusan. Ekspresi yang diharuskan adalah hal-hal yang primer, yaitu gaya hidup yang benar, dan cara ibadah yang pantas. Setiap ekspresi atau manifestasi penyembahan harus diuji berdasarkan kebenaran Alkitab. Karunia bahasa roh, nubuat, maupun gerakan-gerakan tubuh yang aneh bukanlah tanda utama kerohanian yang baik, sebab tidak sedikit orang yang begitu luar biasa berkata-kata berbahasa roh atau bernubuat atau bernyanyi begitu semangat saat ibadah berlangsung tetapi kehidupan kesehariannya menjadi sandungan.
Peristiwa sejarah memberikan pelajaran penting bahwa pemutlakan dan salah paham terhadap manifestasi-manifestasi karunia roh Kudus menjadi sumber perpecahan dan perselisihan dalam jemaat Korintus. Fenomena masa kini juga menunjukkan bahwa dalam Gereja-gereja yang paling ekstrim memutlakkan manifestasi karunia Roh kudus terjadi banyak perpecahan. Roh yang benar menuntun jemaat pada kesatuan, bukan pada perpecahan. Maka ekspresi-ekspresi yang dipaksakan bukan berasal dari Roh Allah. Yang terpenting adalah esensi penyebahan itu, dilakukan dalam roh dan kebenaran, dan berhiaskan kekudusan.

3.      Ekspresi-ekspresi Fenomenal
Ketika penulis menelusuri apa yang terjadi dalam kekristenan pada masa kini, maka ada gejala atau fenomena ibadah yang begitu ekspresif, seperti halnya yang terjadi di Toronto – Kanada, yang dikenal dengan istilah “Toronto Blessing.”[1] Dikatakan sebagai ekspresi fenomenal karena memang merupakan fenomena baru, yang diklaim sebagai kegerakan Roh Allah untuk masa kini, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, ada formula-formula baru yang dianggap sebagai cara penyembahan terbaru seperti kejang-kejang, terjatuh-jatuh, berteriak histeris, tertawa dalam roh dan sebagainya. Bagi pengikutnya ini dianggap sebagai manifestasi kegerakan Roh Kudus.
Dengan tidak bermaksud menghakimi maupun membenarkan, penulis mengakui bahwa kegerakan ini menimbulkan kontraversi baik di antara orang-orang Kristen sendiri dan terlebih bagi orang-orang yang tidak percaya. Orang-orang yang mengikuti kebaktian itu, mengalami kejadian fenomenal. Awalnya mereka mengikuti ibadah secara normal, kemudian beberapa orang terjatuh, terbaring lalu menjerit-jerit, berteriak-teriak histeris selama kurang lebih dua jam, bahkan sampai keesokan harinya. Orang-orang lain mengalami tertawa tidak henti-henti selama beberapa jam. Beberapa orang yang jatuh ke belakang dipercaya oleh pengikutnya sebagai lawatan Roh Kudus, dan dikenal dalam bahasa Kharismatik sebagai “Tumbang dalam Roh.”
Ekspresi-ekspresi fenomenal ini tidak dapat dipastikan dengan tepat kapan terjadinya. Tetapi gejalanya mulai muncul bersamaan dengan lahirnya Gerakan Pentakosta dan Gereja Kharismatik (maksudnya bukan peristiwa Pentakosta yang dicatat dalam Kisah Para Rasul 2).[2] Gejala ini menjalar ke seluruh dunia, dan juga sampai ke di Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu. Maka tidak heran jika beberapa gereja di Indonesia menerapkan cara ini sebagai wujud penyembahan kepada Tuhan.
Sebenarnya, manifestasi ini tidak dapat dihakimi sebagai cara yang tidak benar, akan tetapi tidak boleh juga langsung diterima tanpa mengujinya terlebih dahulu. Bagaimanapun juga, ekspresi-ekspresi semacam ini bukan ekspresi primer, tanpa mengalami manifestasi semacam ini, seseorang dapat menjadi penyembah Allah yang benar. Alkitab memerintahkan supaya kita menguji setiap roh supaya kita jangan dengan mudah menerimanya dan pada akhirnya mempengaruhi hidup kita. ” Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yoh. 4:1).



[1] Toronto Blessing bermula di gereja Toronto Airport Vineyard, Kanada pada tahun 1994.  Bermula dari keinginan rohani, John Arnott berkunjung ke Argentnina pada bulan November 1993 untuk mendapatkan penyegaran baru. Di sanalah ia mendapatkan lawatan Roh Kudus yang luar biasa. Sementara itu ia mendengar tentang  seorang Gembala bernamaRandy Clark yang  juga telah mengalami Roh Kudus. Singkat cerita, Arnott mengundang Clark untuk berkhotbah di Toronto. Maka Clark menjadi pengkhotbah dalam kebangunan rohani selama berhari-hari tanggal 20-24 Januari 1994. Orang-orang yang hadir dalam KKR itu (kira-kira 120 orang) memperlihatkan manifestasi yang mengejutkan. Sejaki saat itu, setiap malam, kecuali hari Senin, diadakan pertemuan-pertemuan kebangunan rohani, dan orang-orang yang hadir  mendapatkan pengalaman yang mengejutkan. Gerakan ini kemudian menyebar luar ke seluruh daerah Toronto, Kanada, dan sampai ke seluruh dunia. Dilaporkan jutaan orang telah mengunjungi Gerakan kebangunan Rohani ini. Manifestasi-manifestasi luar biasa itu di antaranya adalah Holly laugther (tertawa-tawa karena urapan Roh Kudus); Slain in the Spirit (Terjatuh karena lawatan Roh Kudus); Dancing in Spirit (menari-nari karena kuasa Roh Kudus) dan manifestasi keluarnya suara-suara aneh seperti binatang tertentu dari mulut beberapa orang. Gerakan ini terjadi di Gereja Toronto Airport Vineyard (dekat bandara Toronto), yang mana orang-orang yang terlibat dalam Gerakan ini lebih senang menyebutnya sebagai Father’s Blessing. Akan tetapi kalangan luas mengenalnya sebagai Toronto Blessing. Sumber: Dhesi Ramadhani, Mungkinkan Karismatik Sungguh Katolik? (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 111-113.
[2] Gerakan Pentakosta Modern dimulai di Amerika, tepatnya di Sekolah Alkitab Bethel di Topeka, Kansas. Siswi bernama Agnes Ozman dibaptis dengan Roh Kudus dan berbahasa roh pada tanggal 1 Januari 1901. Gerakan ini berlanjut ke Azusa Street, Los Angeles Amerika Serikat pada tahun 1906, dibawa oleh William J. Seymour (murid Parham), Pengkhotbah kulit hitam bermata satu. Dari kamar hotel di jalan Azusa, gerakan ini melanda seluruh Amerika, bahkan ke seluruh dunia. Gerakan ini sampai ke Indonesai tahun 1921. Sumber: Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia, Pengajaran Dasar Gereja Bethel Indonesia (Jakarta: Departemen Teologia Gereja Bethel Indonesia, 2008), 13.



















No Pelagiat!!!!