Kamis, 30 Januari 2025

Bantuan Pembahasan Karya Tulis Teologi Kriten

Kami membuka bantuan pembahasan karya ilmiah khusus karya tulis teologi, pembahasan ayat-ayat Alkitab

Bantuan Tafsiran dan Analisa Alkitab dari Bahasa Ibrani dan Bahasa Yunani (Analisa Gramatikal, Pembuatan Diagram, dan Analisa Literal)

Hub: 081943619369

Konsep IMAN Menurut Alkitab

 Konsepsi "IMAN" Menurut Alkitab

 Dengan dikemukakannya kecenderungan kemunduran iman orang-orang percaya pada masa kini, maka pekerjaan untuk memperbaikinya merupakan tanggungjawab orang-orang percaya yang mengerti kebenaran. Fenomena ini dapat dimulai dengan melakukan penelitian dan mengidentifikasikan masalah konkrit yang terjadi pada salah satu gereja lokal. Bukan tidak mungkin bahwa kecenderungan kemunduran keadaan rohani ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman yang benar tentang ajaran Kitab Suci, khususnya kurangnya pemahaman tentang arti dan makna iman. Maka pada landasan teori ini akan dibahas pengertian iman, yang kemudian dilanjutkan dengan Analisa Ibrani 11:1, dan terakhir membahas kerangka berpikir dari karya ilmiah ini.

 

Pengertian Iman

Sebelum membahas tentang iman menurut Ibrani 11:1 maka terlebih dahulu diuraikan secara sederhana tentang pengertian iman itu sendiri. Iman merupakan inti dari kehidupan umat Allah baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Berkali-kali Kitab suci menyinggung tentang iman, bahwa dengan iman manusia memperoleh keselamatan (Kis. 26:18; Rm. 3:28; Gal. 3:6-11; Ef. 2:8-9; Ibr. 11), dengan  iman orang percaya memperoleh apa yang mereka minta/doakan (Mat. 9:29; 15:28; ) dan dengan iman orang percaya membangun seluruh hidupnya (2 Kor.  6:13; Gal. 2:20). Ketika Yesus Kristus hidup sebagai manusia di dunia, iman merupakan tuntutan mutlak yang dikehendaki-Nya (band. Luk. 18:8).

Pengertian Iman Menurut Perjanjian Lama

 Di dalam Perjanjian Lama, kata iman berasal dari kata kerja aman, yang berarti “memegang teguh.” Kata ini dapat muncul dalam bentuk yang bermacam-macam umpamanya dalam arti “memegang teguh kepada janji” seseorang karena janji itu dianggap teguh atau kuat, sehingga dapat diamini, dipercaya. Jika diterapkan kepada Tuhan Allah, maka kata “iman” berarti bahwa Allah harus dianggap sebagai yang teguh atau yang kuat. Orang harus percaya kepada-Nya, berarti bahwa ia harus mengamini bahwa Allah adalah teguh atau kuat.

Selain kata di atas, terdapat dua kata lagi yang umum dipakai dalam Perjanjian Lama untuk iman yaitu בּטַח (batach) dan חָשַׂך (chasah). Kata “batach” berarti “yakin akan, bersandar kepada, mempercayai”. Contoh penggunaannya dapat ditemukan dalam Mazmur 25:2, “Allahku, kepada-Mu aku percaya; janganlah kiranya aku mendapat malu”. Kata ketiga yang sering dipergunakan di dalam Perjanjian Lama untuk iman adalah חָסָה (chasah) yang berarti “mencari perlindungan.” Sebagai contohnya terdapat di dalam Mazmur 57:2: “Kasihanialah aku, ya Allah, kasihanilah aku, sebab kepada-Mulah jiwaku berlindung; dalam naungan  sayap-Mu aku akan berlindung, sampai berlalu penghancuran itu”.

Sebagaimana pengakuan banyak sarjana Perjanjian Lama, Warfield mengakui bahwa sikap iman dan percaya sangat jarang disebut ”iman” di dalam Perjanjian Lama walaupun sikap tersebut terimplikasi di sana dan sering diparafrasekan.[1] Sekalipun kata untuk “iman” baru muncul pada Kejadian 15:6, namun tindakan iman telah terlaksana oleh manusia sebelum Abraham, seperti yang dikemukakan oleh Anthony Hoekma:

Jika kita mengambil janji kepada Hawa di Kejadian 3:15 sebagai titik permulaan, maka kita segera melihat bahwa wahyu pertama dari kovenan anugerah ini menuntut tanggapan iman dari umat Allah. Kita diberitahukan di dalam Kitab Ibrani bahwa Habel memberikan persembahan yang lebih baik kepada Allah oleh iman (Ibr 11:4) “Oleh iman Henokh berjalan bersama Allah” (ayat 5); dan “oleh iman Nuh menjadi pewaris kebenaran” (ayat 7).[2]

 

Wiliam Dyrness juga mengemukakan gagasan yang sama tentang pengertian iman di dalam Perjanjian Lama yaitu dalam gagasan tentang iman ini tersirat pertobatan, atau seperti diungkapkan secara sederhana dalam Perjanjian Lama, “hal berbalik”.[3] Sekalipun gagasan tentang pertobatan ini tidak dikembangkan sepenuhnya sebagaimana halnya dalam Perjanjian Baru, gagasan tersebut sudah ada sepanjang Perjanjian Lama. Berbalik dari jalan sendiri lalu mengikut Tuhan dan hukum-hukum-Nya secara tidak langsung menyatakan bahwa cara hidup yang lalu itu tidak benar. Manusia juga tidak mempunyai gambaran tentang tindakan berbalik kepada Tuhan yang dilakukan satu kali untuk selama-lamanya. Lebih tepat jika diterjemahkan bahwa seseorang mengakui kegagalannya kepada Allah setiap kali manusia berbuat dosa, yaitu kapan saja ditemukan bahwa manusia telah berbalik ke jurusan yang salah.[4]

 

Pengertian Iman menurut Perjanjian Baru

Kata-kata yang paling sering digunakan dalam Perjanjian Baru adalah kata benda πίστις (pistis) dan kata kerja πιστευω (pisteuien). Pistis dapat dipergunakan dalam pengertian “iman yang dengannya manusia percaya”, untuk menyatakan suatu keyakinan atas kebenaran dari suatu hal. Dalam kaitannya dengan Allah, kata ini menunjukkan keyakinan dan eksistensi Allah, bahwa Dia adalah pencipta dan penguasa segala sesuatu dan pemberi keselamatan melalui Kristus”. Dalam kaitannya dengan Kristus kata ini berarti percaya bahwa Kristus adalah Mesias yang melaluinya manusia mendapatakan keselamatan. Inilah penggunaan yang paling umum dari kata benda πίστις (pistis). Akan tetapi kadang-kadang pistis dapat mendeskripsikan “iman yang diyakini” yaitu isi dari apa yang dipercayai. Penggunaan dalam arti yang demikian didapatkan dalam Yudas 3: “Tetapi berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus”.

Kata kerja pisteuien memiliki arti: yang pertama adalah berpikir bahwa sesuatu adalah benar (Mat. 24:23), dan yang kedua menerima pesan Allah yang disampaikan oleh mereka yang ditunjukkan oleh Allah (Kis. 24:14). Tetapi yang paling menonjol adalah yang ketiga yaitu menerima Yesus sebagai Mesias, sumber keselamatan kekal yang ditetapkan secara Ilahi (Yoh. 3:16). Dalam pengertian ini, iman lebih dari pada sekedar mempercayai kebenaran suatu pesan, iman di sini juga melibatkan kepercayaan kepada Kristus, berdiam di dalam-Nya dan bersandar kepada-Nya.

Secara spesifik, kata-kata ini juga dipakai dalam Injil-Injil Sinoptik yang sering dihubungkan dengan penyembahan.[5]  Dalam Matius 9:20, Yesus berkata kepada perempuan yang menjamah jubah-Nya: “Teguhkanlah hatimu, hai anak-ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Dari pengertian ini bisa saja iman Ayub dipahami sebagai imannya untuk memperoleh kesembuhan dari penyakitnya. Tetapi dalam pengertian yang lebih luas, dilukiskan juga dalam Injil-Injil ini. Markus mencatat perkataan Yesus “Tidak ada yang mustahil bagi orang percaya (Mrk. 9:23). Begitu juga Dia berkata bahwa seseorang akan melakukan pekerjaan besar, sekiranya manusia memiliki iman yang sejati yang walaupun hanya sebesar biji sesawi saja (Mat. 17:20; Luk. 17:6). Jelas Yesus menuntut iman yang tertuju kepada diri-Nya sendiri. Anthony Hoekma meringkaskan pengertian iman dalam Perjanjian Baru sebagai berikut:

Boleh kita katakan bahwa iman dalam pengertian Perjanjian Baru melibatkan penerimaan atas suatu rangkaian kebenaran yang didasarkan pada kesaksian para Rasul atau orang-orang lainnya yang menyebarkan kesaksian itu, dan suatu kepercayaan pribadi kepada Kristus sebagai juruselamat.[6]

 

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan pengertian iman baik menurut Perjanjian Lama maupun menurut Perjanjian Baru yaitu: Kehidupan yang mempercayai Allah dengan penuh penyerahan diri kepada Allah yang telah menyatakan diri dengan berbagai cara, yang pada puncaknya menyatakan diri melalui Yesus kristus. Kepada Allah yang menyatakan diri itu manusia menyandarkan seluruh kepercayaannya dan juga seluruh masa depannya, hidup berkarya dan melaksanankan ibadah di hadapan-Nya. Dalam hal ini termasuk di dalamnya kepercayaan atau kebersandaran (trust) dalam menghadapi masalah hidup.



[1] Benyamin B. Warfield, “Faith” dalam Samuel Craig, (ed), Biblical And Theologycal Studies, (Philadelphia: Presbitery and Reformed, 1952), 410-411.

[2] Anthony A. Hoekma, Diselamatkan oleh Anugerah, (Surabaya: Momentum, 2001), 190.

[3] William Dyrness, Tema-tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1999), 143.

[4] Ibid.

[5] J. D. Douglas, (peny.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1: A-L, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1999), 432.

[6] Anthony A. Hoekma, Diselamatkan Oleh Anugerah, 189.