Penyembahan
dan Kemuliaan Allah
Penyembahan tidak dapat dipisahkan dari kemuliaan Allah karena penyembahan
berdasarkan pada kemuliaan Allah. Tanpa menghasilkan kemuliaan Allah, kegiatan
penyembahan tidak mencapai sasarannya. Oleh karena itu penyembahan dapat
diidentikkan dengan kemuliaan Allah. Dengan kata lain menyembah Allah adalah
memuliakan-Nya, yaitu memuliakan nama-Nya dan Pribadi-Nya. Konsep ini harus
tertanam dalam hati setiap orang percaya. Dengan cara pembahasan pada sisi ini,
konsep penyembahan mulai berkembang secara luas, bahwa penyembahan menyangkut
Pribadi dan nama Allah yang semakin ditinggikan dan orang-orang yang
menyembah-Nya semakin merendahkan diri.
1.
Kemuliaan Allah
Sesungguhnya
kemuliaan Allah tidak dapat digambarkan dengan bahasa dan ungkapan apapun. Juga
tidak dapat diumpamakan dengan bentuk apapun karena kemuliaan adalah salah satu
sifat hakiki Allah. Sejauh yang dapat diterima dan ditangkap oleh indera
manusia, Allah sering menyatakan kemuliaan-Nya kepada umat Perjanjian Lama
dengan berbagai-bagai cara. Dalam perjalanan keluar dari Mesir menuju tanah
Kanaan, Allah menyatakan kemuliaan-Nya melalui tiang awan dan tiang api. Akan
tetapi kemuliaan yang dinyatakan itu belum sepenuhnya dicurahkan kepada
manusia, sebab mustahil manusia dapat menangkap/menerima kepenuhan kemuliaan
Allah. Allah tinggal “bersemayam dalam terang yang tak terhampiri,”
tidak ada manusia yang dapat melihat Dia (1 Tim. 6:16).
Istilah
Ibrani yang dipakai untuk kata “kemuliaan” adalah “kavod,” biasanya diterjemahkan “kemuliaan” atau “kehormatan,” yang
mengacu pada bobot atau nilai.[1]
Dalam Perjanjian Baru, kemuliaan diterjemahkan dari kata “doxa” yang berarti reputasi. Sekalipun kata ini terkadang mengacu
pada kehormatan manusia, namun penggunaan utamanya menggambarkan penyataan
sifat dan kehadiran Allah dalam diri dan Pekerjaan Yesus Kristus. Ia adalah
cahaya kemuliaan Allah (Ibr. 1:3).
Artikel Penuntun Sabda mengemukakan berbagai pengertian frase “Kemuliaan Allah”
dalam Alkitab yaitu[2]:
1. Kadang-kadang
istilah ini melukiskan kemegahan dan keagungan Allah (band. 1 Taw. 29:11;
Hab 3:3-5),
suatu kemuliaan yang demikian cemerlang sehingga tidak ada manusia yang dapat
melihatnya dan tetap hidup (lih. Kel. 33:18-23).
Paling banyak seorang dapat melihat hanyalah “gambar kemuliaan Tuhan” (bd.
penglihatan Yehezkiel tentang takhta Allah, Yeh 1:26-28).
Dalam arti ini, kemuliaan Allah menunjuk keunikan, kekudusan-Nya (bd. Yes 6:1-3)
dan kemahatinggian-Nya (band. Rm. 11:36;
Ibr. 13:21).
Petrus menggunakan istilah “Yang Mahamulia” sebagai nama Allah (2 Ptr. 1:17).
- Kemuliaan Allah juga mengacu
kepada kehadiran Allah yang tampak di antara umat-Nya, yang kemudian oleh
para rabi disebut kemuliaan “shekinah.” “Shekinah” adalah kata Ibrani yang
artinya "tempat tinggal (Allah)," dipakai untuk melukiskan
perwujudan kehadiran dan kemuliaan Allah yang tampak. Musa melihat
kemuliaan shekinah Allah di dalam tiang awan dan tiang api (Kel. 13:21);
dan dalam Keluaran 29:43
shekinah disebut "kemuliaan-Ku" (band. Yes 60:2).
Kemuliaan ini menyelimuti Gunung Sinai ketika Allah memberi hukum Taurat
memenuhi Kemah Suci (Kel. 40:34),
menuntun Israel di padang gurun (Kel. 40:36-38)
dan kemudian memenuhi Bait Suci Salomo (2 Taw. 7:1;
1 Raj. 8:11-13).
Secara lebih khusus, Allah tinggal di antara para kerub di Tempat
Mahakudus (1 Sam. 4:4;
2 Sam. 6:2;
Maz. 80:2).
Yehezkiel melihat kemuliaan Allah naik dan meninggalkan Bait Suci akibat
penyembahan berhala yang sudah keterlaluan (Yeh 10:4,18-19).
Padanan kemuliaan shekinah dalam Perjanjian Baru ialah Yesus Kristus, yang
sebagai kemuliaan Allah dalam tubuh manusiawi datang untuk tinggal di
antara kita (Yoh. 1:14).
Para gembala Betlehem menyaksikan kemuliaan Tuhan pada saat kelahiran
Yesus (Luk. 2:9),
para murid melihatnya ketika Kristus dimuliakan (Mat. 17:2;
2 Ptr. 1:16-18),
dan Stefanus melihatnya ketika dirajam sampai mati (Kis. 7:55).
- Aspek ketiga dari kemuliaan
Allah ialah kehadiran dan kuasa rohani-Nya. Sekalipun langit menceritakan
kemuliaan Allah (Maz. 19:2;
band. Rm. 1:19-20)
dan seluruh bumi penuh dengan kemuliaan-Nya (Yes. 6:3;
band. Hab. 2:14),
kecemerlangan keagungan-Nya belum tampak dengan jelas saat ini dan sering
terabaikan. Akan tetapi, orang percaya mengalami kemuliaan dan kehadiran
Allah di dalam persekutuan, kasih, kebenaran dan manifestasi Allah melalui
kuasa Roh Kudus
- Akhirnya,
Perjanjian Lama memperingatkan bahwa semua bentuk penyembahan berhala
menghina kemuliaan Allah dan mencela nama Allah. Manakala Allah menyatakan
diri-Nya selaku Penebus kita, nama-Nya dimuliakan (lih. Maz. 79:9;
Yer. 14:21).
Seluruh pelayanan Kristus di bumi memuliakan Allah kita (Yoh. 14:13;
17:1,4-5).
Perjanjian Baru berkali-kali
menghubungkan Yesus Kristus dengan kemuliaan Allah. Mukjizat-mukjizat-Nya
menyatakan kemuliaan Allah (Yoh. 2:11; 11:40-44).
Kristus dimuliakan di dalam "awan yang terang" (Mat 17:5)
ketika Ia menerima kemuliaan (band. 2 Ptr. 1:16-19).
Saat kematian Kristus merupakan saat pemuliaan-Nya (Yoh. 12:23-24;
band. Yoh. 17:2-5).
Ia naik ke sorga dalam kemuliaan (band. Kis 1:9;
1 Tim. 3:16),
kini ditinggikan di dalam kemuliaan (Why. 5:12-13),
dan pada suatu hari akan datang kembali “Di atas awan-awan di langit dengan
segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya” (Mat. 24:30;
25:31;
Mrk. 14:62;
1 Tes. 4:17).
Sebagai implikasinya, kemuliaan Allah
dialami, diterima dan dipancarkan oleh orang percaya melalui kuasa Roh Kudus.
Kemuliaan Allah yang asali tidak mungkin dapat diterima oleh manusia pada masa
kini. Akan tetapi kemuliaan itu diterima melalui kehadiran Kristus ke dalam
dunia. Roh Kudus membawa kehadiran Allah dan Kristus kepada orang percaya (2 Kor. 3:17;
1 Ptr. 4:14).
Pengalaman akan kemuliaan Allah ini merupakan perasaan mempesona akan kehadiran
Allah, sama seperti yang dialami oleh para gembala di padang Betlehem (Luk. 2:8-20).
Selanjutnya orang percaya memanifestasikan kemuliaan Allah yaitu kehadiran
Allah itu melalui kegiatan penyembahan.
2.
Penyembahan untuk Kemuliaan Allah
Pengalaman akan kemuliaan dan kehadiran Allah yang
dialami oleh orang percaya bukan untuk kemegahan manusia, bukan juga untuk
membuktikan bahwa orang percaya lebih superior dari pada orang-orang yang belum
percaya. Sesungguhnya kemuliaan Allah yang dipancarkan oleh orang percaya pada
akhirnya harus dipersembahkan untuk kemuliaan Allah. Rasul Paulus mengungkapkan
tujuan tertinggi dari seluruh pekerjaan Allah, juga semua aktifitas ciptaan-Nya
yaitu untuk kemuliaan Allah, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh
Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36).
Surat Roma dikenal sebagai Surat yang sarat dengan
doktrin Kristen, bahkan Marthin Luther menganggapnya sebagai pusat doktrin
Perjanjian Baru. Dari pasal pertama sampai pasal sebelas, Paulus menjelaskan
konsep teologia yang sesensial. Allah telah menunjukkan kasihnya melalui pembenaran
dan penebusan dalam karya pengorbanan, kematian dan kebangkitan Kristus
sehingga setiap orang percaya memperoleh keselamatan. Pada bagian akhir
penjelasan itu, Paulus menyatakan bahwa semua itu harus dikembalikan kepada
Allah. Kemudian pernyataan ini dilanjutkan dengan nasihat supaya umat Tuhan
mempersembahkan tubuhnya sebagai persembahan yang hidup, dan kudus, dan yang
berkenan kepada Allah” (Rm. 12:1). Dengan cara demikian maka itu adalah ibadah
(penyembahan) yang sejati.
Semua perintah maupun larangan dalam Alkitab diarahkan untuk kemuliaan
Allah. Bahkan semua karya Allah termasuk penciptaan dan rencana keselamatan
bertujuan untuk kemuliaan Allah. 1 Tawarikh 16:23-28 mengemukakan penyembahan
untuk kemuliaan Allah:
“Bernyanyilah bagi TUHAN, hai segenap bumi, kabarkanlah
keselamatan yang dari pada-Nya dari hari ke hari. Ceritakanlah kemuliaan-Nya di
antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib di antara segala
suku bangsa. Sebab besar TUHAN dan terpuji sangat, dan lebih dahsyat Ia dari pada
segala allah. Sebab segala allah bangsa-bangsa adalah berhala, tetapi Tuhanlah
yang menjadikan langit. Keagungan dan semarak ada di hadapan-Nya, kekuatan dan
sukacita ada di tempat-Nya. Kepada TUHAN, hai suku-suku bangsa, kepada TUHAN
sajalah kemuliaan dan kekuatan!”
Dalam Perjanjian Baru, terungkap dengan jelas bahwa
Inkarnasi Kristus ke dunia bertujuan untuk kemuliaan Allah:
“Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan
diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah
sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas
segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit
dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku:
"Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Fil.
2:9-11).
Karya kematian dan kebangkitan Kristus, untuk
menyelamatkan manusia diperuntukkan bagi kemuliaan Allah. Allah berhak menuntut
penyembahan yang memuliakan-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya. Orang-orang yang
belum selamat memilih untuk tidak memuliakan Allah, dan oleh karenanya Allah
menghukum mereka. Tidak demikian dengan kita yang sudah diselamatkan, Allah
menuntut supaya kita menyembah dan memuliakan-Nya dan itu harus kita lakukan.
Untuk orang tebusan, Allah menuntut penyembahan yang hanya memuliakan Pribadi
dan nama-Nya.
Sama dengan kekudusan, kemuliaan adalah sifat hakiki
Allah. Kemuliaan itu adalah milik-Nya, dan oleh karenanya kemuliaan harus
ditujukan kepada-Nya. Semua kegemilangan atau kemuliaan dari makhluk hanyalah
bayangan dari kemuliaan Allah. Dengan demikian, maka semua usaha untuk
mendapatkan, pujian atau hal-hal yang serupa dengan itu dapat dianggap sebagai
tindakan mencuri kemuliaan Allah. Dalam Yesaya 14:12-15 dilukiskan gambaran
tentang Iblis yang hendak mencuri kemuliaan Allah:
“Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur,
putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan
bangsa-bangsa! Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke
langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku
hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik
mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi Sebaliknya, ke dalam dunia orang mati engkau
diturunkan, ke tempat yang paling dalam di liang kubur.”
Karena keinginan
hatinya untuk mencuri kemuliaan Allah, yaitu dengan berbagai-bagai kehendak
untuk menyamai Yang Mahatinggi, maka Allah menghukumnya, dan melemparkan ke
dalam dunia orang mati. Perbuatan mencuri kemuliaan Allam merupakan perbuatan
keji di mata Allah. Hukuman untuk perbuatan mencapai puncaknya dengan hukuman
kekal, yaitu neraka untuk selama-lamanya.
Kebenaran firman ini merupakan peringatan keras bagi
semua makhluk, bahkan semua ciptaan Tuhan. Allah tidak mengizinkan siapapun
mengambil alih kemuliaan-Nya. Orang-orang percaya harus memahami bahwa tujuan
penyembahan yang sejati adalah memuliakan Allah. Seseorang yang mengaku
menyembah Allah, harus memprioriataskan kemuliaan Allah. Dalam penyembahan yang
paling murni, kemuliaan Allah merupakan tujuan satu-satunya.
Seorang jemaat, pelayan, atau hamba-hamba Tuhan
full-timer harus menghindari diri dari “memperoleh kemuliaan” dalam
penyembahan. Memang ada tren yang menunjukkan bahwa para Pendeta, Pengkhotbah,
Worship Leader, Singers, atau pelayan-pelayan lainnya mengklaim diri sebagai
golongan ekslusif lebih dari jemaat-jemaat biasa. Tren ini biasanya diikuti
dengan perasaan bahwa mereka lebih rohani dari pada orang-orang Kristen biasa.
Akibatnya mereka berharap memperoleh pujian dari jemaat atau pengagungan dari
fans. Tanpa disadari mereka telah mencuri kemuliaan Allah. Harus diingat bahwa
mereka telah mendapat upahnya, yaitu mendapat pujian dari manusia, sehingga
mereka kehilangan upah di hadapan Allah.
Mencuri kemuliaan Allah bukanlah berasal dari ajaran iman
Kristen. Itu bukan kehendak Allah. Mengambil bagian yang hanya pantas
didapatkan oleh Allah merupakan perbuatan yang berasal dari Iblis. Maka tidak
heran bahwa banyak di antara para Penginjil atau Pengkhotbah yang dijuluki
sebagai hamba Tuhan sekaliber dunia., atau para penyanyi rohani yang pada
hakikatnya bukan penyembah Allah melainkan para penyembah Iblis. Kualitas
penyembahan tidak ditentukan oleh ketenaran, kemampuan atau bakat seseorang.
Dalam konteks ini, penyembahan yang benar adalah apabila
manusia yang menyembah Allah semakin merendahkan diri untuk memuliakan Allah.
Sejak zaman Rasul-rasul, Bapak-bapak Gereja, sampai pada zaman sekarang, banyak
para penyembah sejati telah mengorbankan jiwa raga mereka untuk kemuliaan
Allah. Kesaksian dari sejarah menunjukkan bahwa beribu-ribu bahkan jutaan
Penginjil dan orang percaya telah mati syahid untuk kemuliaan Allah. Penyembah
dengan pemahaman yang benar akan mengorbankan segalanya, harga diri bahkan
nyawanya untuk kemuliaan Allah.
Dalam Yesaya 48:11, Allah mengemukakan bahwa Ia tidak
memberikan kemuliaan-Nya kepada yang lain. Latar belakang ayat itu berhubungan
dengan rencana Allah bagi umat-Nya. Ia melakukannya bukan karena kebaikan umat
Israel, melainkan untuk menunjukkan kemuliaan-Nya. Ia yang berjanji, dan Ia
sendiri yang melakukannya. Oleh karena itu hanyalah Dia yang patut dimuliakan.
Allah tidak memberikan ruang sedikit pun bagi makhluk ciptaan-Nya untuk
memperoleh kemuliaan. Memang orang percaya dapat memanifestasikan kemuliaan
Allah dalam dunia, akan tetapi kemuliaan yang hakiki hanya dimiliki oleh Allah
sendiri. Karena hanya Dia yang memiliki kemuliaan hakiki, maka hanya kepada Dia
saja kemuliaan itu diberikan. Artinya hanya Dia yang patut dimuliakan.
Allah dimuliakan dalam penyembahan, dan oleh karenanya
penyembahan harus diatur sedemikian untuk ditujukan bagi kemuliaan Allah.
Kebaktian-kebaktian Rohani atau even-even ibadah besar lainnya terkadang
mengharapkan kesuksesan dengan harapan panitia atau pihak penyelenggara
mendapatkan pujian. Itu bukan tujuan penyembahan. Tujuan penyembahan hanya satu yaitu memuliakan Allah. Sebisa
mungkin, liturgi atau tata ibadah harus diupayakan supaya tidak memberikan
ruang kepada pihak manapun memperoleh pujian atau penghormatan. Dengan hanya
berfokus pada kemuliaan Allah, sebuah Gereja akan terarah untuk memuliakan
Allah ketika mengadakan kebaktian. Demikian juga orang percaya dalam
kesehariannya, harus menjalani kehidupan yang senantiasa hidup dalam kasih dan
interaksi yang baik, sehingga orang lain yang melihat perbuatan itu memuliakan
Allah. Inilah penyembahan yang benar, yang menghasilkan kemuliaan Allah.
[1] REM/JMP/HAO dalam J.D.Douglas
(ed.) Ensiklopedi Alkitab Masa Kini,
JIlid II, M-Z (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2008), 98.