Kamis, 26 November 2015

Penyembahan dan Kemuliaan Allah

Penyembahan dan Kemuliaan Allah

Penyembahan tidak dapat dipisahkan dari kemuliaan Allah karena penyembahan berdasarkan pada kemuliaan Allah. Tanpa menghasilkan kemuliaan Allah, kegiatan penyembahan tidak mencapai sasarannya. Oleh karena itu penyembahan dapat diidentikkan dengan kemuliaan Allah. Dengan kata lain menyembah Allah adalah memuliakan-Nya, yaitu memuliakan nama-Nya dan Pribadi-Nya. Konsep ini harus tertanam dalam hati setiap orang percaya. Dengan cara pembahasan pada sisi ini, konsep penyembahan mulai berkembang secara luas, bahwa penyembahan menyangkut Pribadi dan nama Allah yang semakin ditinggikan dan orang-orang yang menyembah-Nya semakin merendahkan diri.

1.      Kemuliaan Allah
Sesungguhnya kemuliaan Allah tidak dapat digambarkan dengan bahasa dan ungkapan apapun. Juga tidak dapat diumpamakan dengan bentuk apapun karena kemuliaan adalah salah satu sifat hakiki Allah. Sejauh yang dapat diterima dan ditangkap oleh indera manusia, Allah sering menyatakan kemuliaan-Nya kepada umat Perjanjian Lama dengan berbagai-bagai cara. Dalam perjalanan keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan, Allah menyatakan kemuliaan-Nya melalui tiang awan dan tiang api. Akan tetapi kemuliaan yang dinyatakan itu belum sepenuhnya dicurahkan kepada manusia, sebab mustahil manusia dapat menangkap/menerima kepenuhan kemuliaan Allah. Allah tinggal “bersemayam dalam terang yang tak terhampiri,” tidak ada manusia yang dapat melihat Dia (1 Tim. 6:16).
Istilah Ibrani yang dipakai untuk kata “kemuliaan” adalah “kavod,” biasanya diterjemahkan “kemuliaan” atau “kehormatan,” yang mengacu pada bobot atau nilai.[1] Dalam Perjanjian Baru, kemuliaan diterjemahkan dari kata “doxa” yang berarti reputasi. Sekalipun kata ini terkadang mengacu pada kehormatan manusia, namun penggunaan utamanya menggambarkan penyataan sifat dan kehadiran Allah dalam diri dan Pekerjaan Yesus Kristus. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah (Ibr. 1:3).
Artikel Penuntun Sabda mengemukakan berbagai pengertian frase “Kemuliaan Allah” dalam Alkitab yaitu[2]:
1.      Kadang-kadang istilah ini melukiskan kemegahan dan keagungan Allah (band. 1 Taw. 29:11; Hab 3:3-5), suatu kemuliaan yang demikian cemerlang sehingga tidak ada manusia yang dapat melihatnya dan tetap hidup (lih. Kel. 33:18-23). Paling banyak seorang dapat melihat hanyalah “gambar kemuliaan Tuhan” (bd. penglihatan Yehezkiel tentang takhta Allah, Yeh 1:26-28). Dalam arti ini, kemuliaan Allah menunjuk keunikan, kekudusan-Nya (bd. Yes 6:1-3) dan kemahatinggian-Nya (band. Rm. 11:36; Ibr. 13:21). Petrus menggunakan istilah “Yang Mahamulia” sebagai nama Allah (2 Ptr. 1:17).
  1. Kemuliaan Allah juga mengacu kepada kehadiran Allah yang tampak di antara umat-Nya, yang kemudian oleh para rabi disebut kemuliaan “shekinah.” “Shekinah” adalah kata Ibrani yang artinya "tempat tinggal (Allah)," dipakai untuk melukiskan perwujudan kehadiran dan kemuliaan Allah yang tampak. Musa melihat kemuliaan shekinah Allah di dalam tiang awan dan tiang api (Kel. 13:21); dan dalam Keluaran 29:43 shekinah disebut "kemuliaan-Ku" (band. Yes 60:2). Kemuliaan ini menyelimuti Gunung Sinai ketika Allah memberi hukum Taurat memenuhi Kemah Suci (Kel. 40:34), menuntun Israel di padang gurun (Kel. 40:36-38) dan kemudian memenuhi Bait Suci Salomo (2 Taw. 7:1; 1 Raj. 8:11-13). Secara lebih khusus, Allah tinggal di antara para kerub di Tempat Mahakudus (1 Sam. 4:4; 2 Sam. 6:2; Maz. 80:2). Yehezkiel melihat kemuliaan Allah naik dan meninggalkan Bait Suci akibat penyembahan berhala yang sudah keterlaluan (Yeh 10:4,18-19). Padanan kemuliaan shekinah dalam Perjanjian Baru ialah Yesus Kristus, yang sebagai kemuliaan Allah dalam tubuh manusiawi datang untuk tinggal di antara kita (Yoh. 1:14). Para gembala Betlehem menyaksikan kemuliaan Tuhan pada saat kelahiran Yesus (Luk. 2:9), para murid melihatnya ketika Kristus dimuliakan (Mat. 17:2; 2 Ptr. 1:16-18), dan Stefanus melihatnya ketika dirajam sampai mati (Kis. 7:55).
  2. Aspek ketiga dari kemuliaan Allah ialah kehadiran dan kuasa rohani-Nya. Sekalipun langit menceritakan kemuliaan Allah (Maz. 19:2; band. Rm. 1:19-20) dan seluruh bumi penuh dengan kemuliaan-Nya (Yes. 6:3; band. Hab. 2:14), kecemerlangan keagungan-Nya belum tampak dengan jelas saat ini dan sering terabaikan. Akan tetapi, orang percaya mengalami kemuliaan dan kehadiran Allah di dalam persekutuan, kasih, kebenaran dan manifestasi Allah melalui kuasa Roh Kudus
  3. Akhirnya, Perjanjian Lama memperingatkan bahwa semua bentuk penyembahan berhala menghina kemuliaan Allah dan mencela nama Allah. Manakala Allah menyatakan diri-Nya selaku Penebus kita, nama-Nya dimuliakan (lih. Maz. 79:9; Yer. 14:21). Seluruh pelayanan Kristus di bumi memuliakan Allah kita (Yoh. 14:13; 17:1,4-5).
Perjanjian Baru berkali-kali menghubungkan Yesus Kristus dengan kemuliaan Allah. Mukjizat-mukjizat-Nya menyatakan kemuliaan Allah (Yoh. 2:11; 11:40-44). Kristus dimuliakan di dalam "awan yang terang" (Mat 17:5) ketika Ia menerima kemuliaan (band. 2 Ptr. 1:16-19). Saat kematian Kristus merupakan saat pemuliaan-Nya (Yoh. 12:23-24; band. Yoh. 17:2-5). Ia naik ke sorga dalam kemuliaan (band. Kis 1:9; 1 Tim. 3:16), kini ditinggikan di dalam kemuliaan (Why. 5:12-13), dan pada suatu hari akan datang kembali “Di atas awan-awan di langit dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya” (Mat. 24:30; 25:31; Mrk. 14:62; 1 Tes. 4:17).
Sebagai implikasinya, kemuliaan Allah dialami, diterima dan dipancarkan oleh orang percaya melalui kuasa Roh Kudus. Kemuliaan Allah yang asali tidak mungkin dapat diterima oleh manusia pada masa kini. Akan tetapi kemuliaan itu diterima melalui kehadiran Kristus ke dalam dunia. Roh Kudus membawa kehadiran Allah dan Kristus kepada orang percaya (2 Kor. 3:17; 1 Ptr. 4:14). Pengalaman akan kemuliaan Allah ini merupakan perasaan mempesona akan kehadiran Allah, sama seperti yang dialami oleh para gembala di padang Betlehem (Luk. 2:8-20). Selanjutnya orang percaya memanifestasikan kemuliaan Allah yaitu kehadiran Allah itu melalui kegiatan penyembahan.

2.      Penyembahan untuk Kemuliaan Allah
Pengalaman akan kemuliaan dan kehadiran Allah yang dialami oleh orang percaya bukan untuk kemegahan manusia, bukan juga untuk membuktikan bahwa orang percaya lebih superior dari pada orang-orang yang belum percaya. Sesungguhnya kemuliaan Allah yang dipancarkan oleh orang percaya pada akhirnya harus dipersembahkan untuk kemuliaan Allah. Rasul Paulus mengungkapkan tujuan tertinggi dari seluruh pekerjaan Allah, juga semua aktifitas ciptaan-Nya yaitu untuk kemuliaan Allah, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36).
Surat Roma dikenal sebagai Surat yang sarat dengan doktrin Kristen, bahkan Marthin Luther menganggapnya sebagai pusat doktrin Perjanjian Baru. Dari pasal pertama sampai pasal sebelas, Paulus menjelaskan konsep teologia yang sesensial. Allah telah menunjukkan kasihnya melalui pembenaran dan penebusan dalam karya pengorbanan, kematian dan kebangkitan Kristus sehingga setiap orang percaya memperoleh keselamatan. Pada bagian akhir penjelasan itu, Paulus menyatakan bahwa semua itu harus dikembalikan kepada Allah. Kemudian pernyataan ini dilanjutkan dengan nasihat supaya umat Tuhan mempersembahkan tubuhnya sebagai persembahan yang hidup, dan kudus, dan yang berkenan kepada Allah” (Rm. 12:1). Dengan cara demikian maka itu adalah ibadah (penyembahan) yang sejati.
Semua perintah maupun larangan dalam Alkitab diarahkan untuk kemuliaan Allah. Bahkan semua karya Allah termasuk penciptaan dan rencana keselamatan bertujuan untuk kemuliaan Allah. 1 Tawarikh 16:23-28 mengemukakan penyembahan untuk kemuliaan Allah:
“Bernyanyilah bagi TUHAN, hai segenap bumi, kabarkanlah keselamatan yang dari pada-Nya dari hari ke hari. Ceritakanlah kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib di antara segala suku bangsa. Sebab besar TUHAN dan terpuji sangat, dan lebih dahsyat Ia dari pada segala allah. Sebab segala allah bangsa-bangsa adalah berhala, tetapi Tuhanlah yang menjadikan langit. Keagungan dan semarak ada di hadapan-Nya, kekuatan dan sukacita ada di tempat-Nya. Kepada TUHAN, hai suku-suku bangsa, kepada TUHAN sajalah kemuliaan dan kekuatan!”
Dalam Perjanjian Baru, terungkap dengan jelas bahwa Inkarnasi Kristus ke dunia bertujuan untuk kemuliaan Allah:
“Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Fil. 2:9-11).
Karya kematian dan kebangkitan Kristus, untuk menyelamatkan manusia diperuntukkan bagi kemuliaan Allah. Allah berhak menuntut penyembahan yang memuliakan-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya. Orang-orang yang belum selamat memilih untuk tidak memuliakan Allah, dan oleh karenanya Allah menghukum mereka. Tidak demikian dengan kita yang sudah diselamatkan, Allah menuntut supaya kita menyembah dan memuliakan-Nya dan itu harus kita lakukan. Untuk orang tebusan, Allah menuntut penyembahan yang hanya memuliakan Pribadi dan nama-Nya.
Sama dengan kekudusan, kemuliaan adalah sifat hakiki Allah. Kemuliaan itu adalah milik-Nya, dan oleh karenanya kemuliaan harus ditujukan kepada-Nya. Semua kegemilangan atau kemuliaan dari makhluk hanyalah bayangan dari kemuliaan Allah. Dengan demikian, maka semua usaha untuk mendapatkan, pujian atau hal-hal yang serupa dengan itu dapat dianggap sebagai tindakan mencuri kemuliaan Allah. Dalam Yesaya 14:12-15 dilukiskan gambaran tentang Iblis yang hendak mencuri kemuliaan Allah:
“Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi  Sebaliknya, ke dalam dunia orang mati engkau diturunkan, ke tempat yang paling dalam di liang kubur.”
 Karena keinginan hatinya untuk mencuri kemuliaan Allah, yaitu dengan berbagai-bagai kehendak untuk menyamai Yang Mahatinggi, maka Allah menghukumnya, dan melemparkan ke dalam dunia orang mati. Perbuatan mencuri kemuliaan Allam merupakan perbuatan keji di mata Allah. Hukuman untuk perbuatan mencapai puncaknya dengan hukuman kekal, yaitu neraka untuk selama-lamanya.
Kebenaran firman ini merupakan peringatan keras bagi semua makhluk, bahkan semua ciptaan Tuhan. Allah tidak mengizinkan siapapun mengambil alih kemuliaan-Nya. Orang-orang percaya harus memahami bahwa tujuan penyembahan yang sejati adalah memuliakan Allah. Seseorang yang mengaku menyembah Allah, harus memprioriataskan kemuliaan Allah. Dalam penyembahan yang paling murni, kemuliaan Allah merupakan tujuan satu-satunya.
Seorang jemaat, pelayan, atau hamba-hamba Tuhan full-timer harus menghindari diri dari “memperoleh kemuliaan” dalam penyembahan. Memang ada tren yang menunjukkan bahwa para Pendeta, Pengkhotbah, Worship Leader, Singers, atau pelayan-pelayan lainnya mengklaim diri sebagai golongan ekslusif lebih dari jemaat-jemaat biasa. Tren ini biasanya diikuti dengan perasaan bahwa mereka lebih rohani dari pada orang-orang Kristen biasa. Akibatnya mereka berharap memperoleh pujian dari jemaat atau pengagungan dari fans. Tanpa disadari mereka telah mencuri kemuliaan Allah. Harus diingat bahwa mereka telah mendapat upahnya, yaitu mendapat pujian dari manusia, sehingga mereka kehilangan upah di hadapan Allah.
Mencuri kemuliaan Allah bukanlah berasal dari ajaran iman Kristen. Itu bukan kehendak Allah. Mengambil bagian yang hanya pantas didapatkan oleh Allah merupakan perbuatan yang berasal dari Iblis. Maka tidak heran bahwa banyak di antara para Penginjil atau Pengkhotbah yang dijuluki sebagai hamba Tuhan sekaliber dunia., atau para penyanyi rohani yang pada hakikatnya bukan penyembah Allah melainkan para penyembah Iblis. Kualitas penyembahan tidak ditentukan oleh ketenaran, kemampuan atau bakat seseorang.
Dalam konteks ini, penyembahan yang benar adalah apabila manusia yang menyembah Allah semakin merendahkan diri untuk memuliakan Allah. Sejak zaman Rasul-rasul, Bapak-bapak Gereja, sampai pada zaman sekarang, banyak para penyembah sejati telah mengorbankan jiwa raga mereka untuk kemuliaan Allah. Kesaksian dari sejarah menunjukkan bahwa beribu-ribu bahkan jutaan Penginjil dan orang percaya telah mati syahid untuk kemuliaan Allah. Penyembah dengan pemahaman yang benar akan mengorbankan segalanya, harga diri bahkan nyawanya untuk kemuliaan Allah.
Dalam Yesaya 48:11, Allah mengemukakan bahwa Ia tidak memberikan kemuliaan-Nya kepada yang lain. Latar belakang ayat itu berhubungan dengan rencana Allah bagi umat-Nya. Ia melakukannya bukan karena kebaikan umat Israel, melainkan untuk menunjukkan kemuliaan-Nya. Ia yang berjanji, dan Ia sendiri yang melakukannya. Oleh karena itu hanyalah Dia yang patut dimuliakan. Allah tidak memberikan ruang sedikit pun bagi makhluk ciptaan-Nya untuk memperoleh kemuliaan. Memang orang percaya dapat memanifestasikan kemuliaan Allah dalam dunia, akan tetapi kemuliaan yang hakiki hanya dimiliki oleh Allah sendiri. Karena hanya Dia yang memiliki kemuliaan hakiki, maka hanya kepada Dia saja kemuliaan itu diberikan. Artinya hanya Dia yang patut dimuliakan.
Allah dimuliakan dalam penyembahan, dan oleh karenanya penyembahan harus diatur sedemikian untuk ditujukan bagi kemuliaan Allah. Kebaktian-kebaktian Rohani atau even-even ibadah besar lainnya terkadang mengharapkan kesuksesan dengan harapan panitia atau pihak penyelenggara mendapatkan pujian. Itu bukan tujuan penyembahan. Tujuan penyembahan  hanya satu yaitu memuliakan Allah. Sebisa mungkin, liturgi atau tata ibadah harus diupayakan supaya tidak memberikan ruang kepada pihak manapun memperoleh pujian atau penghormatan. Dengan hanya berfokus pada kemuliaan Allah, sebuah Gereja akan terarah untuk memuliakan Allah ketika mengadakan kebaktian. Demikian juga orang percaya dalam kesehariannya, harus menjalani kehidupan yang senantiasa hidup dalam kasih dan interaksi yang baik, sehingga orang lain yang melihat perbuatan itu memuliakan Allah. Inilah penyembahan yang benar, yang menghasilkan kemuliaan Allah.



[1] REM/JMP/HAO dalam J.D.Douglas (ed.) Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, JIlid II, M-Z (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2008), 98.